Aku sebenarnya ingin cepat bertemu dengan Kak Mel begitu lolos dari cengkraman Theo. Dari berita yang dibawa Nita, setelah aku berhasil kabur dari apartemennya. Theo ngamuk.
Ia mencariku seperti orang gila. Kecurigaannya mengarah pada Nita. Hingga gadis itupun tidak berani pulang, ikut bersembunyi denganku.
Aku yang merasa ini sudah tidak lagi sehat, berinisiatif untuk lapor polisi. Tapi karena kurangnya bukti, Theo hanya mendapat peringatan verbal untuk menjauhiku.
Mungkin memang nasib baik sedang berpihak padaku, Denis memiliki om yang seorang wakapolda. Hingga bersedia menempatkan seorang anak buahnya untuk menjagaku.
Saat aku hendak pergi menemui Kak Mel, Nita memberi kabar ada seseorang yang ingin bertemu denganku.
Tanpa aku duga, seseorang itu adalah Liana.
Ia minta bertemu di tempat pribadi. Restoran mahal yang memiliki kamar private tersendiri. Hingga tidak bercampur baur dengan tamu-tamu yang lain.
Meski aku tidak tahu untuk apa ia ingin bertemu denganku, tapi aku tidak menolak permintaannya. Waktu aku tiba di restoran itu, ternyata Liana sudah menunggu di sana.
Ia masih terlihat cantik dan seanggun yang aku ingat. Tapi yang mengejutkanku, tubuhnya terlihat kurus dan ringkih. Matanya kuyu dan make up yang ia kenakan tidak mampu menutupi rona pucat di wajahnya.
"Anjani." Liana mengangguk kecil padaku. Senyumnya terlihat dipaksakan. "Terima kasih kamu sudah mau datang menemuiku. Gimana Milan?"
"Seglamour biasanya." Aku mengangguk. Ikut duduk di seberangnya. Berusaha bersikap sopan dengan wanita yang pernah menjadi saingan cintaku. "Kamu gimana kabarnya?"
"Kacau." Liana angkat bahu. "Kamu tambah cantik. Hampir tidak menyangka ini kamu."
Aku cuma tertawa kecil.
"Aku sudah tahu apa yang terjadi sama kamu dan Theo," ucap Liana tanpa basa basi lebih panjang lagi. "Dia memang masih mencintai kamu. Dan berharap kamu kembali sama dia."
"Tapi aku tidak ada niat untuk kembali dengannya. Meski Theo sudah bercerai dari kamu. Aku kembali karena Kak Mel."
"Yah...aku dengar, apa yang terjadi pada Melisa karena Theo. Tapi aku tidak tahu, berita itu benar atau tidak."
"Itu benar. Semua itu perbuatan Theo. Dia sudah mengakui hal itu."
"Kenapa dia berbuat kayak gitu?"
"Gimana menurut kamu? Kenapa dia ngelakuin itu?" Aku balik bertanya, menatap Liana. Apa itu lingkaran hitam di bawah matanya?
"Dia..ngelakuin itu untuk membuat kamu kembali padanya." Liana tersenyum pahit. "Aku sudah menduganya. Sejak hari pertama pernikahan kami. Dia memang tidak pernah berhenti memikirkanmu. Apalagi saat tahu kamu pergi ke Milan. Tahukah kamu, saat kami masih menikah dia pernah menyusulmu ke Milan? Dia ingin bertemu denganmu, tapi saat itu Theo melihatmu bersama seorang pria."
Aku terkejut. Theo pernah datang ke Milan? Melihatku bersama seorang pria? Lessandro?
"Saat dia kembali dari Milan, Theo berubah. Sikapnya menjadi kasar. Ia sering memukul dan menendang. Kerap melontarkan kata-kata kasar padaku. Ia menyalahkanku, karena aku, hubungan kalian berakhir. Karena aku, dia kehilangan kamu. " Air mata Liana mengalir deras.
"Apalagi sejak anakku lahir. Anak yang memang bukan darah dagingnya. Ia semakin ganas denganku. Tiap hari, tidak pernah absen memukul dan menendang. Saat aku hamil, dia pernah menendangku hingga aku nyaris abortus. Untung saja kandunganku selamat, tapi aku harus masuk rumah sakit cukup lama."
Aku terkejut mendengarnya. Tidak menyangka Theo sesadis itu. Menendang wanita hamil dan membuatnya hampir abortus. Betapa kejamnya. Tapi untunglah Liana selamat, begitu pula dengan bayinya. Kalau tidak...
Aku bergidik ngeri. Kalau Liana sampai kehilangan bayinya, itu sama saja dengan Theo membunuhnya kan? Membunuh bayi yang bahkan belum lahir.
"Apa orang tuamu tahu masalah itu? Atau orang tua Theo? Masakan mereka tidak curiga?"
Liana menggeleng lemah. Ia menatapku sedih. Bibirnya digigit keras hingga aku khawatir itu akan berdarah. "Aku tidak memberitahu mereka. Dan meminta semua orang yang tahu merahasiakannya dari kedua orang tuaku. Juga dari orang tua Theo. Karena kupikir...ini memang salahku. Dosaku yang sudah menghancurkan hubungan kalian. Menjebak Theo untuk menikahiku."
Liana menunduk, air matanya kembali berlinang. Ia meremas-remas tangannya. Melihatnya seperti ini, aku sungguh tidak tega. Ia memang sudah menjebak Theo, menghancurkan hubungan kami, menggoreskan luka di hatiku. Tapi semua itu, tidak membenarkan tindakan sadis Theo padanya.
"Saat bayiku lahir...tentu saja dia tahu itu bukan bayinya. Karena fisik anak itu berbeda dengan Theo. Sejak hari itu, Theo semakin menjadi." Liana tiba-tiba membelakangiku. Menarik serot gaunnya. Memperlihatkan luka-luka dipunggungnya. Meski luka itu sudah mengering, tapi aku bisa melihat bekasnya yang mengerikan. Membuatku berseru ngeri.
"Ini..ini perbuatan Theo?" tanyaku ngeri, tak sanggup melihat bekas luka di belakang punggung Liana. "Dengan apa dia melukaimu?"
"Ikat pinggangnya, tapi tidak jarang dia juga menggunakan pisau."
"Pisau?" Seruku ngeri. "Dia..melukaimu dengan pisau?"
"Dia suka menyanyat kulitku dengan pisau hingga berdarah, setelah itu dijilatnya lukaku. Dipeluknya aku. Mungkin hal itu mendorongnya untuk berbuat lebih, ia juga membeli borgol dan cambuk. Diborgolnya tanganku, dicambuknya punggungku. Baru setelah itu dia...meniduriku."
Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar cerita Liana, napasku memburu, dadaku serasa nyeri. Tidak dapat membayangkan kesadisan seperti apalagi yang sudah dilakukan Theo pada Liana. Tapi bekas sayatan pisau itu, sudah menceritakan segalanya.
Sejak kapan Theo memiliki kecenderungan sadis seperti ini? Hatiku sulit sekali menerima ini sebagai kenyataan.
Lalu mengingat-ingat selama dua tahun kami bertunangan. Theo memang tidak pernah memperlakukanku dengan kasar.
Tapi pernah suatu kali, dia memukuli tukang parkir yang dianggapnya tidak becus. Orang itu dipukuli sampai gegar otak. Cuma berkat uang keluarganyalah, Theo bisa lolos dari tuntutan hukum.
Lalu ia pernah juga menghancurkan mobil orang yang sudah menyalib mobilnya. Masalah sepele, tidak sampai lecet. Tapi dengan kesetanan, Theo menghancurkan mobil orang itu. Sampai polisi turun tangan. Dan lagi-lagi kasusnya ditutup dengan uang.
Apa memang dari dulu Theo memiliki kecenderungan sadis seperti itu? Kenapa aku tidak tahu? Kenapa aku tidak menyadarinya?
Tapi mungkin di bawah alam sadarku, aku sudah tahu. Hanya mencoba mengelak kenyataan yang terpampang di depan mata!
Karena itulah, mungkin di bawah sadarku juga, yang membuat aku pergi ke Milan setelah putus dari Theo. Karena aku tahu, kejadian seperti ini, pasti akan kualami. Bila aku tidak segera pergi menjauh darinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...