Liana hamil! Dan Theo harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Nyonya Galinggih memanggilku untuk menemui beliau. Dan ini untuk pertama kalinya, Nyonya besar yang satu ini berbicara dengan lembut padaku.
Tetapi di telingaku, ucapan lembut itu justru bagaikan sebilah pisau tajam yang mengiri-iris jantungku. Ia meminta pengertianku dan kesediaanku untuk melepaskan Theo. Membatalkan pertunangan kami, hingga Theo bisa menikah dengan Liana!
"Kami tidak bisa mempermalukan keluarga Hardinoto, karena itu sebelum perut Liana membesar. Keduanya harus dinikahkan, agar tidak ada omongan buruk yang tersiar."
"Tentu," kataku pahit. "Keluarga Hardinoto tidak boleh dipermalukan, tapi tidak masalah bila yang dipermalukan itu nama saya bukan?"
"Kamu jangan salah paham, An. Jika tidak ada kejadian ini, apa kami akan meminta kesediaanmu untuk mengakhiri pertunanganmu dan Theo? Tapi sekarang Liana hamil, Theo harus bertanggung jawab. Mumpung kalian belum menikah, kamu pasti bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari Theo."
"Pasti." Aku mengangguk mantap dengan hati yang berdarah. "Saya ingin bertemu Theo. Suruh putra ibu untuk menemui saya sendiri. Tidak perlu menyuruh orang tuanya untuk berbicara dengan saya."
"Anjani, kami bersedia memberi kompensasi atas masalah ini. Kami tidak ingin kamu menderita kerugian apapun," ucap Tuan Galinggih khas pengusaha besar. Aku hanya tersenyum getir mendengarnya.
"Terima kasih. Tapi saya tidak kekurangan uang. Suruh saja Theo menemui saya, saya ingin berbicara dengannya. Setelah itu baru saya akan mengambil keputusan."
Dua hari kemudian Theo menemuiku. Ia datang ke restoran yang dijanjikan. Ia terlihat lebih kurus dari terakhir kami bertemu, ada lingkaran hitam di matanya. Terlihat kuyu, tanpa kuduga, aku bisa melihat sinar bersalah di matanya.
Aku menatapnya, ada beragam perasaan berkecamuk di hatiku. Seharusnya aku bebas memakinya, memukulinya, atau menangis histeris di depannya untuk meluapkan semua emosiku.
Tapi aku tidak melakukannya. Keinginan itu menguap entah kemana. Yang ada di hatiku kini hanya rasa kecewa. Rasa kecewa yang sangat besar. Kecewa bahwa aku pernah mempercayai pria di hadapanku ini. Kecewa karena aku telah memberikan cinta dan hatiku untuknya.
"Maafkan aku, An. Aku berdosa padamu..." Suara Theo terdengar bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
"Kamu lebih baik minta maaf sama Tuhan, karena kamu sudah berbuat dosa di hadapanNya."
"Tapi aku bersalah padamu."
"Kenapa? Kenapa kamu tega ngelakuin itu?"
"Aku khilaf, An. Saat itu kami berdua tidak bisa menahan diri.."
"Kapan?"
"Saat di Maldive.."
"Oh, bahkan kalian berlibur berdua ke Maldive tanpa sepengetahuanku. Bali, kemudian Maldive. Perjalanan bisnis? Hingga kamu menghamili perempuan lain?"
"An.."
"Kamu menyuruh aku percaya padamu, dan itu sudah kulakukan. Tapi itu semua percuma kan? Kalian berdua sudah sama-sama dewasa. Berapa usiamu? Apa kamu tidak tahu atau pura-pura tidak mau tahu, pergi bersama perempuan lain yang bukan siapa-siapamu sangat berbahaya. Bisa menimbulkan perselingkuhan, seperti yang kamu lakukan saat ini."
"Kamu tidak menghubungiku berbulan-bulan, An."
"Oh, jadi sekarang itu semua salahku? Karena kita lost kontak maka kamu bebas pergi dengan Liana? Bebas bersenang-senang dengannya? Berapa kali kamu tidur dengannya? Tidak tahukah kamu dengan yang namanya pengaman?"
"Jujurlah Theo, sejak ia kembali kamu memang menginginkan hal ini terjadi bukan? Kamu ingin berpisah denganku, karena kamu masih mencintainya. Dari awal aku hanyalah seorang perempuan pengganti. Kamu bahkan berusaha agar aku mirip dengannya. Memiliki rambut panjang, memakai rok dan gaun. Semua itu yang ada di diri Liana. Tapi kamu lupa, Anjani bukanlah Liana. Aku memiliki pikiranku sendiri. Kejadian ini membuatku semakin sadar, kalau kamu memang tidak pernah mencintaiku.
"Kalau kamu berharap aku akan menangis, maka maaf mengecewakanmu. Sebenarnya aku sudah menduga bagaimana akhir dari hubungan kita berdua. Tidak ada akhir bahagia untuk kita."
Aku melepaskan cincin pertunangan di jari manisku, meletakkannya di atas meja. Di depan Theo. Theo hanya menatap cincin itu dengan tatapan kosong. Tapi aku tidak ingin tahu dan tidak peduli apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
"Aku kembalikan cincin ini sama kamu. Aku sudah merelakanmu untuk bersama Liana. Semoga kalian berdua bahagia. Dan mulai hari ini, kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi."
Lalu tanpa menunggu jawaban Theo atau mendengar apa yang ingin dia katakan, aku bergegas pergi dari sana. Sebelum air mataku tumpah di hadapan Theo.
Aku tidak ingin menangis di depannya. Aku tidak ingin menunjukan kelemahanku di hadapannya. Aku ingin dia melihatku sebagai seorang Anjani yang kuat, yang tegar, yang bisa hidup tanpa dirinya..

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...