Bab 42

8.1K 767 24
                                        

Karena nenek Lessandro akan berulang tahun, Lessandro mengajakku ke kota Catania untuk mencari hadiah.

Kami pergi berdua saja. Lessandro mengendarai maseratinya sendiri.

Acara pertandingan bola antar keluarga itu, tanpa disangka dimenangkan keluarga Paman Emmanuelle. Penyumbang gol terbanyak Giacomo. Hal itu membuat Giacomo berseri-seri dan tidak henti-hentinya meledek Lessandro.

"Untung saja di AC Milan kau tidak jadi kiper! Kalau Lessandro pegang posisi kiper, AC Milan pasti tidak akan menjadi juara piala champion tahun ini!"

"Itu karena kakak selalu memperhatikan cognata, hingga konsentrasinya terpecah," ucap Filippo cemberut. "Kakak, cognata memang cantik. Tapi jangan sampai membuat konsentrasimu buyar."

"Itu karena fratellomu sedang jatuh cinta, jadi ia tidak konsentrasi," ucap ayah Lessandro yang disambut tawa yang hadir.

Aku yang mendengar itu langsung memerah, tapi kulihat Lessandro cuma senyum-senyum tidak jelas.

"Sudah, sudah, jangan menggoda mereka lagi. Lessandro, cepat bersihkan dirimu. Semalam kau bilang akan mengajak Anjani ke kota kan. Mau mencari hadiah untuk nenek." Untunglah ibu Lessandro cepat menengahi. Hingga godaan itu tidak berlanjut.

"Ya, madre."

"Kakak, aku boleh ikut?" tanya Samuelle.

"Tidak. Anak kecil dilarang mengganggu orang dewasa pacaran!" Ucap Lessandro dengan entengnya.

"Ya, jangan mengganggu Samuelle. Nanti kau pergi saja denganku dan Filippo," kata Giacomo sambil merangkul bahu Samuelle. "Bukankah kau juga ingin memiliki keponakan dari kakakmu? Jadi jangan ganggu ya!"

Aku yang mendengarnya tidak bisa berkata-kata. Kenapa ucapan semua orang di rumah ini makin bertambah ngaco sih?

Dan akhirnya, aku dan Lessandro pergi berdua saja. Tanpa gangguan dari saudara-saudara Lessandro yang ia bilang konyol.

Catania ternyata tidak jauh berbeda dengan  Milan. Maksudnya sama-sama banyak bangunan tuanya, dan juga aneka butik dari brand ternama macam Louis Vuitton dan Dolce and Gabbana. Bahkan butik Monelo juga ada.

"Kamu tahu tesoro, bila nanti aku pensiun dari sepak bola, aku akan kembali ke sini. Aku akan menghabiskan masa tuaku di tanah kelahiranku ini. Tentu saja bersama anak dan istriku." Ucap Lessandro saat kami berdua sedang duduk-duduk di kafe outdoor di depan Elephant fountain yang ramai dengan orang-orang yang juga sedang bersantai.

Bahkan ada sepasang sejoli yang asyik memadu cinta, berciuman dengan mesranya. Pemandangan yang lumrah di Italia. Muda-mudi bebas pacaran di mana saja, tanpa takut diganggu.

"Usia masih muda sudah ngomongin pensiun.." ledekku. "Bukannya bulan depan mau ikut kualifikasi piala dunia?"

"Iya, dua minggu lagi pelatih akan mengumumkan pemain inti yang akan ikut kualifikasi piala dunia." Lessandro mengangguk. "Tapi memang, karir di sepak bola itu tidak lama, tesoro. Bila kondisi tubuh bagus, tidak rawan cedera, kami bisa merumput hingga usia empat puluhan. Tapi bila tidak, usia tiga puluh lima saja sudah harus gantung sepatu.

"Karena itu, selama aku masih bermain dan aktif merumput. Aku ingin berinvestasi untuk anak istri dan keluargaku kelak."

Aku tertegun mendengar kata-kata Lessandro. Usianya mungkin masih muda. Tapi tidak disangka ia memiliki pemikiran yang begitu dewasa. Bahkan diusia semuda ini, ia sudah bisa menetapkan tujuan hidupnya.

Terlepas dari reputasi play boynya, Lessandro benar-benar pemuda dengan pikiran ke depan.

"Wanita yang kelak menjadi istrimu pasti beruntung. Kau terlihat bertanggung jawab dan penyayang."

"Padre yang mendidikku untuk menjadi lelaki sejati. Lelaki yang bisa melindungi keluarga dan wanita yang dicintainya." Lessandro menatapku dengan sinar mata yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Ada perasaan ganjil yang timbul saat melihat sorot matanya itu. Perasaan yang perlahan tumbuh di hatiku.

"Memangnya kamu mau buka usaha apa kalau nanti pensiun?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya. Ditatap selembut itu sukses membuat jantungku deg-degan.

"Mungkin bisnis...restoran? Seperti Gordon Ramsay? Dia tidak bisa lagi bermain sepak bola seumur hidupnya karena cedera yang ia alami. Tapi lihat sekarang, ia malah terkenal sebagai seorang chef!"

"Seriusan mau jadi chef kalau sudah pensiun?"

"Kenapa? Kamu sudah merasakan masakanku kan? Gimana? Enak kan?"

"Enak." Aku mengangguk.

"Mau aku masakin lagi?"

"Beneran mau masakin aku lagi?"

"Boleh, kenapa nggak? Sekalian makan malam romantis. Dan mungkin..." ucapan Lessandro terhenti. Matanya menatap bibirku. "Aku bisa nyium kamu lagi."

Aku sontak teringat kejadian semalam, saat Lessandro menciumku. Ah, kenapa jadi teringat hal memalukan seperti itu?

"Tesoro, aku ada satu permintaan."

"Permintaan apa?"

"Janji mau mengabulkan?"

"Asal bukan permitaan yang aneh-aneh."

"Nggak aneh-aneh kok. Janji bakal setuju ya?"

"Bilang dulu, baru aku bisa setuju apa nggak."

"Pokoknya harus setuju."

"Kok maksa?"

"Kamu harus dipaksa biar mau. Ayo janji dulu, kamu harus setuju dengan permintaanku ini."

"Iya, iya. Cepat bilang, apa permintaanmu?"

Lessandro menarik napas panjang. Lalu menatapku lama.

"Tesoro, bila Italia menjadi juara piala dunia tahun depan. Kamu harus setuju menikah denganku."




*******

Hai, sayangku adakah yang masih menunggu cerita ini? Saya sibuk nulis di Fizzo sampai nyaris mengabaikan cerita ini. Maafkan saya ya.

Ternyata menulis di dua platform yang berbeda cukup melelahkan ya bestie, cukup bikin otak ngebul menjaga ritme cerita agar tidak tertukar.

Salut sama penulis yang bisa menulis di banyak platform. Acungan jempol untuk mereka.

Saya cuma takut tertukar nama tokoh cerita saja sih, karena selesai nulis di WP lanjut ke Fizzo. Begitu pula sebaliknya. Kan aneh, kalau tokoh ceritanya namanya bisa tertukar. Diketawain readers dong saya.

Terima kasih ya yang sudah sabar menunggu cerita ini up. Jangan khawatir tetap lanjut kok. Cuma kesibukannya teralih ke Fizzo. Jadi sabar ya bestie.

Salam sayang,

Eykabinaya

12 desember 2022

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang