Bab 21

9K 836 11
                                        

Dulu, saat aku masih bersama dengan Theo. Ia tidak pernah memasakan jenis masakan apapun untukku. Jika mau makan bareng, makan siang atau makan malam maka kami akan pergi ke restoran. Atau kafe langganannya.

Bukannya tidak bisa memasak. Theo pernah kuliah di luar negeri. Dan saat kuliah di luar negeri, ia terbiasa mandiri. Karena gaji seorang ART atau juru masak sangat tinggi. Hingga ia terbiasa untuk melakukan pekerjaan rumah sendiri.

Dengan uang ayahnya, tentu saja tidak akan sulit baginya membayar gaji seorang pembantu rumah tangga. Tapi seperti penuturannya, karena pengaruh teman-temannya. Yang berasal dari berbagai belahan dunia. Theo terbawa arus menjadi mandiri.

Ia bisa memasak, itu pengakuannya. Namun saat kembali ke Indonesia. Ia kembali menjadi Tuan besar yang terbiasa dilayani. Hilang sudah sikap mandirinya yang ia pelajari selama di luar negeri.

Terkadang aku penasaran dengan pengakuannya, yang bilang ia bisa memasak. Ingin sekali mencicipi bagaimana rasa masakannya. Tapi sepertinya itu cuma angan-anganku saja untuk bisa mencicipi masakan Theo. Ia tidak akan mungkin dan tidak akan pernah mungkin memasak untukku.

Apakah Liana pernah mencoba masakan buatan Theo? Atau ia yang memasak untuk Theo?

Karena sepanjang ingatanku dengan Theo, aku juga tidak pernah memasak untuk Theo. Bukannya tidak mau, tapi karena Theo yang menolak.

"Aku tidak terbiasa dengan masakan seperti itu," kata Theo saat suatu hari ia datang ke rumahku. Dan aku memasak gulai nangka, ayam goreng, sambal goreng kentang dan kerupuk udang. "Kita pesan aja ya? Masakan kamu terlalu banyak bumbu rempah. Aku kurang suka."

Kalau sudah seperti itu, aku bisa bicara apa? Bahkan datang ke rumahku saja, bisa dihitung pakai jari. Tidak sampai jari kedua tangan untuk menghitungnya. Ia selalu memiliki seribu alasan untuk tidak datang ke rumahku.

"Gang rumahmu terlalu sempit, An. Tidak bisa buat parkir mobil. Terakhir kali aku ke rumahmu, mobilku tergores. Kamu tahu berapa biaya untuk mengecat ulang dan menghilangkan goresan di badan mobil? Jutaan! Apalagi untuk mobil sekelas Audi. Aku gak mau mobilku tergores lagi gara-gara parkir sembarangan."

Waktu itu aku cuma tersenyum sumir mendengar seribu satu alasan yang diucapkan Theo. Alasan tidak mau menyentuh masakanku. Alasan tidak mau datang ke rumahku. Hingga kami cuma kencan di kafe atau ia yang datang ke butik.

Namun lambat laun aku sadar, semua alasan itu hanya alasan yang ia buat-buat. Bukan karena rasa masakanku yang terlalu banyak bumbu dan berempah. Bukan karena ia tidak mau keluar uang untuk memperbaiki goresan di mobilnya.

Semua itu karena ia tidak pernah mencintaiku. Seharusnya aku sadar, saat seseorang yang kita cintai memiliki beribu alasan untuk melakukan sedikit saja keinginan kita. Itu tandanya ia tidak sungguh-sungguh mencintaimu.

Theo tidak pernah berusaha menyenangkanku dengan memamerkan keahlian memasaknya, tidak pernah ingin mencoba masakanku meski hanya untuk menghargaiku. Atau repot-repot datang ke rumahku sekedar ingin mengenal lingkungan tempat tinggal tunangannya.

Tidak, Theo tidak pernah melakukan itu semua. Ia bahkan tidak pernah peduli dengan suasana hatiku. Mau sedih, mau senang, ia tidak pernah peduli.

Dan sekarang, di depanku. Seorang pria tampan dengan predikat pemain sepak bola terkenal. Sedang sibuk memasak untukku. Menguasai dapurku. Memasak dengan wajah berseri sambil bersiul menyenandungkan sebuah lagu dalam bahasa Italia.

Bukankah ia seharusnya lelah setelah latihan sepak bola? Bukankah lebih baik baginya untuk pulang dan beristirahat ketimbang datang ke sini dan memasakkan makanan untukku?

Kenapa ia harus bersusah payah seperti ini? Kenapa ia menganggapku istimewa dengan memasak untukku? Apa istimewanya aku?

"Amore mio, mau mencoba masakanku?" Lamunanku dibuyarkan suara Lessandro yang tiba-tiba menyodorkan sesendok spaghetti buatannya ke hadapanku. Aku tersentak kaget dan reflek memundurkan kepalaku ke belakang. Jarak kami begitu dekat.

"Eh, sudah matang?"

"Tidak perlu waktu lama untuk memasak spaghetti, mio caro." Lessandro masih menyodorkan sendok berisi spaghetti. "Cobalah."

Aku membuka mulut dan menerima sesendok spaghetti yang ia suapkan padaku. Tanpa kuduga rasanya ternyata enak. Aku tidak sadar posisi kami begitu dekat dan agak ambigu. Kalau dilihat orang, seakan posisi Lessandro hendak menciumku.

"Bagaimana?"

"Enak."Aku mengangguk dan mengacungkan jempol. "Tidak disangka seorang Lessandro Cannavaro bisa memasak spaghetti."

"Ini resep keluargaku. Bukan cuma spaghetti. Tapi aku juga bisa memasak rissoto, cottoleta dan juga polenta. Tapi favoritku adalah caponata. Kau tahu, mio caro. Caponata buatan nenekku yang paling enak diseluruh Sisilia."

Sambil bicara, Lessandro menuang spaghetti yang ia katakan resep keluarganya ke dalam dua piring keramik dan membawanya ke meja makan. Dapur dan meja makanku memang menjadi satu. Lalu mengisyaratkan aku untuk ikut duduk bersamanya. Anehnya, aku menurut saja.

"Sisilia?"

"Ya, kampung halamanku. Semua keluargaku ada di Sisilia. Dan aku berasal dari sana."

Aku baru tahu Lessandro berasal dari Sisilia. Pantas saja logat Italianya agak berbeda dengan orang-orang Italia pada umumnya. Entah kenapa mendengar nama Sisilia aku teringat dengan film Godfather yang dibintangi Marlon Brando dan Al pacino. Kalau dilihat-lihat, ketampanan yang dimiliki Lessandro mungkin ketampanan yang dimiliki oleh pria Sisilia.

Kulit zaitun, rambut hitam legam, rahang yang kokoh dan hidung mancung. Juga otot-otot di tubuhnya yang sangat lelaki sekali.

"Kenapa wajahmu seperti itu, mio caro? Saat aku bilang aku berasal dari Sisilia?"

"Ah, tidak. Aku cuma teringat dengan film Godfather."

"Kau terlalu banyak menonton film Amerika. Apa kau sedang berpikir Sisilia adalah tempat para mafia berasal?" Lessandro mendengus tak suka. "Sisilia jauh dari penggambaran film-film Hollywood itu, mio caro. Sisilia tempat yang indah, damai, dan selalu membuat rindu. Kelak aku akan membawamu ke sana. Bertemu keluargaku, nenekku tersayang. Akan kutunjukan betapa indahnya Sisilia, kampung halamanku. Hingga kau akan jatuh cinta pada Sisilia."

Aku tertawa mendengarnya. "Kalau kau mengajakku ke sana. Bertemu keluargamu, kurasa mereka akan pingsan. Apa kau tidak takut mereka akan menyuruhmu untuk menikahiku? Membawa gadis sembarangan."

"Kenapa tidak? Kalau kamu bersedia, mio caro. Aku bersedia melamarmu sekarang juga."

Aku nyaris tersedak mendengarnya. Ucapanku tadi hanya bercanda. Kenapa dia jadi ngomong kayak gitu?

Lessandro...dia juga cuma bercanda kan?

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang