"Tahukah kau, An. Theo sering pergi ke tempat-tempat yang bisa memuaskan hasrat sadisnya?"
"Kalau begitu Theo sakit, Liana!" Seruku. "Kenapa kau tidak melaporkan hal ini pada polisi? Atau pada orang tuamu? Bukankah ini sudah termasuk KDRT? Kenapa kau diam saja? Kenapa gak melawan? Menghindar?"
Liana menggeleng pelan. "Aku malu, An. Bukankah aku yang membuat semua ini terjadi pada diriku sendiri? Aku yang mengejar Theo, menjebaknya. Memaksa ia menikahiku. Bagaimana aku bisa melaporkan hal buruk yang dilakukan Theo padaku, bila pada awalnya akulah yang memaksanya? Mungkin ini pembalasan dosa yang kulakukan, karena sudah merebut Theo dari sisimu."
"Jangan berkata seperti itu, Li. Apa bakal ada jaminan Theo gak akan melakukan hal itu, bila perempuan yang dinikahinya bukan kamu? Itu artinya, siapapun perempuan yang dinikahi Theo, dia bakal melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya padamu," kataku membantah ucapannya. Sekaligus mencoba menghiburnya. Meski aku tidak tahu, apa kata-kata penghiburanku ini berguna untuknya.
"Terima kasih, An. Kamu baik sekali. Aku minta maaf sama kamu. Untuk semua perbuatan yang sudah aku lakukan padamu. Aku benar-benar menyesal..."
"Aku sudah melupakannya, Li. Sudah, gak perlu diungkit lagi. Sekarang yang penting, memulainya dari awal lagi. Kamu beruntung bisa bercerai dari Theo. Hingga tidak perlu mengalami siksaan darinya lebih lama lagi. Kamu masih muda, cantik, berpendidikan tinggi. Pasti bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari dia."
"Terima kasih untuk suportnya, An. Terus terang, sebenarnya aku masih mencintai Theo. Tapi aku tidak tahan dengan perbuatannya yang kerap menyakitiku. Apalagi bila kebenciannya pada anakku timbul, ia semakin sadis dan kejam memukulku. Makin lama, aku semakin tidak tahan. Hingga aku kabur dan minta cerai darinya."
Aku paham, perempuan mana yang mau terus-terusan menerima tindakan kekerasan dari suaminya? Dipukuli, ditendang, bahkan sampai dicambuk dan disayat pisau. Kecuali perempuan itu sudah tidak ada harga dirinya.
Bila Liana menuntut perceraian, bagiku itu hal yang wajar. Akupun akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun aku berdoa, semoga aku tidak dipertemukan dengan pria seperti Theo.
Setelah pertemuanku dengan Liana, aku kemudian menuju rumah Kak Melisa. Tentu saja dengan pengawalan polisi berbaju preman.
Bagaimanapun, setelah mendengar cerita Liana, kewaspadaanku terhadap Theo semakin meningkat.
Aku tidak mau Theo menemukanku, membawaku lagi dan mengurungnya di apartemennya. Aku tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan Liana.
Pertemuanku dengan Kak Melisa sangat mengharukan. Kami saling bertukar kabar dan bercerita pengalaman kami selama beberapa bulan tidak ada kontak.
Aku bercerita tentang Theo yang mengejarku ke Milan dan ancamannya padaku dengan menggunakan Kak Mel, agar aku mau kembali padanya. Juga tidak lupa peristiwa yang dialami Liana selama kehidupan pernikahannya dengan Theo.
Seperti reaksiku saat pertama kali mendengar cerita Liana, Kak Mel pun terlihat ngeri mendengarnya.
"Untung kamu gak jadi kawin sama dia, An. Kalau jadi...duh, aku gak bisa ngebayangin ngerinya."
"Tuhan masih sayang sama aku, kak. Aku dijauhin dari Theo. Hingga terhindar dari nasib buruk."
"Yah...kamu benar, An. Meski aku gak tahu meski berterima kasih pada Liana atau mengasihani dia. Bagaimanapun karena dia kamu putus sama Theo, tapi karena dia juga kamu terhindar dari nasib buruk menikahi Theo."
"Aku gak pernah membenci Liana, kak. Aku rasa ini memang jalan yang terbaik yang dipilihkan Tuhan buatku. Tuhan tidak mentakdirkan aku sama Theo, itu artinya dia memang bukan yang terbaik untuk aku kan?"
"Tentu, kan Lessandro yang terbaik buat kamu." Goda Kak Mel.
"Kak Mel..tahu?"
"Apa yang aku gak tahu? Simoneta yang cerita sama aku. Kamu lupa dia itu sahabatku? Tentu saja dia juga bakal cerita tentang hubunganmu dengan Lessandro, si bintang sepak bola itu."
"Maaf Kak Mel, aku gak cerita sama kakak. Karena..."
"Karena kamu masih ragu sama hubunganmu dengan Lessandro? Karena kamu merasa gak sepadan dengannya?" Kak Melisa memotong ucapanku. "An, kamu sekarang desainer terkenal. Kamu berhasil mengukir namamu sendiri dikancah internasional. Buang jauh-jauh rasa rendah dirimu itu. Kamu berhak dapat yang terbaik, kamu berhak bahagia."
"Kak Mel..."
"Mengenai bisnisku dan juga keluargaku, kamu gak usah khawatir. Orang tuaku sudah mendapatkan rekanan baru. Yang lebih kuat dan besar. Dan soal brand milikku, Simoneta juga mau membantuku. Kami pasti bisa bangkit lagi dan membangun bisnis kami seperti semula."
Oh, betapa beruntungnya aku. Betapa baiknya Tuhan padaku. Mataku basah tanpa aku sadari.
"Kembalilah ke Milan, An. Kamu masih memiliki karir di sana. Dan juga ada seseorang yang sedang menunggumu di sana kan?"
******
Tiga hari kemudian, aku kembali ke Milan. Dengan diantar Kak Mel dan keluarganya ke bandara.
Duduk sendiri di dalam pesawat, aku merenungkan banyak hal yang telah terjadi padaku hampir dua tahun ini.
Perpisahanku dengan Theo, kepergianku ke Milan dan juga pertemuanku dengan Lessandro.
Cintaku yang dulu, kini telah layu merana. Sesuatu yang dulu kuinginkan, kini tidak lagi kudamba. Cintaku pada Theo, perlahan namun pasti kini sudah pergi. Mati.
Perlahan aku menyentuh dadaku, di sini, ada cinta lain yang telah tumbuh. Yang semakin lama tumbuh dengan suburnya. Mengikis cinta lama yang sudah padam. Cintaku pada Theo sudah terkubur rapat dan dalam. Dan tidak akan pernah tumbuh lagi.
Aku memandang keluar jendela pesawat. Meski yang terlihat hanyalah kegelapan malam, namun di hatiku justru terasa terang benderang.
Selamat tinggal, Theo. Selamat berpisah. Dulu, kamu sangat berarti untukku. Kamulah tumpuan masa depanku. Harapan cintaku yang kugantungkan padamu. Tapi kini tidak lagi. Kamu bukan lagi matahari hidupku. Matahariku yang sekarang bukan lagi dirimu.
Ada sesuatu yang basah mengalir turun sepanjang kedua pipiku. Aku menangis. Tapi aku tahu, ini bukan tangis kesedihan. Tapi tangis kebahagiaanku.
Yah..aku berhak bahagia, seperti yang dikatakan Kak Mel padaku.
Dan saat ini, aku sedang menjemput kebahagiaanku. Kembali pulang, kembali kepelukan pria yang mencintaiku.
END*****
Teman-teman semua. Cerita ini akhirnya selesai juga. Tinggal epilog akhir yang akan menutup semua cerita ini.
*** Kalau yang kangen sama cerita saya yang lain. Silakan mampir ke Fizzo. Karena sebelum tahun baru, saya belum akan publish cerita baru lagi kayaknya.
Selamat tahun baru semuanya!!!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...