Kak Mel mengajakku makan di restoran langganannya di lantai dua, yang juga terdapat di dalam mall ini. Kami berdua berdiskusi mengenai kompetisi perancang mode yang akan dilaksanakan empat bulan dari sekarang.
Ternyata Kak Mel sudah jauh-jauh hari mendaftarkan aku untuk ikut kompetisi itu tanpa sepengetahuanku.
"Maaf ya, An. Sudah daftarin kamu untuk ikut kompetisi tanpa sepengetahuan kamu. Soalnya tahun-tahun sebelumnya kamu selalu nolak ikut lomba. Padahal hadiahnya lumayan loh. Selain uang tunai sebesar seratus juta rupiah, juga berkesempatan belajar mode di Paris selama tiga bulan."
"Aku gak marah kok Kak Mel. Dari dulu aku memang kepengin ikut lomba ini, tapi..."
"Tapi dilarang sama Theo? Karena dia gak mau berpisah jauh-jauh dari kamu?" Lagi-lagi Kak Mel bisa menebak apa yang mau aku ucapkan. Ah, wanita ini. Kenapa selalu tahu dengan apa yang ada dalam pikiranku? Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan rahasia kecil di kepalaku. Apa ia seorang cenayang selain sebagai desainer pakaian?
"He eh, padahal juga belum tentu aku menang."
"Lalu sekarang, apa yang bikin kamu berubah pikiran? Kamu gak peduli lagi dengan larangan Theo? Gak takut dia marah sama kamu?"
Aku baru akan menjawab saat tiba-tiba mataku melihat siluet dua orang yang memasuki restoran. Aku sangat mengenal kedua orang itu. Theo dan Liana!
Tiga hari kami tidak bertemu, karena ia sibuk dengan Liana? Ia bahkan tidak menanyakan keberadaanku setelah aku pergi begitu saja dari pesta tempo hari. Atau menanyakan alasan kenapa aku meninggalkan pesta tanpa pamitan dengannya!
Kak Mel ikut melihat arah pandanganku. Ia mungkin sadar kenapa aku jadi diam terpaku dan tidak menjawab pertanyaannya barusan. Matanya ikut melihat kearah Theo dan Liana.
"Oh, shit.." gumannya pelan. "Itu Theo sama..."
"Liana. Perempuan yang dibilang mirip aku."
Kak Mel memandang Liana lalu menatapku. "Gak mirip ah. Kata siapa mirip? Jenis kelaminnya? Karena kalian sama-sama perempuan?"
Oh, aku lupa. Kak Mel memang kadang pedas mulutnya.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Kak Mel, kembali melihat pasangan itu yang sudah memilih meja dan sepertinya tidak menyadari kehadiranku dan Kak Mel.
"Apa yang kakak harapkan? Aku harus ngamuk? Marah? Dan bikin drama yang bakal jadi tontonan orang?"
Kak Mel terkekeh. "Kalau kamu mau bikin drama murahan kayak gitu, aku bisa bantuin. Bantuin teriak atau nyiram mereka pakai air. Atau ikut jambak rambut tuh cewek, kayaknya enak rambutnya buat dijambak."
Aku menggelengkan kepalaku dan ikut terkekeh. "Dramatis sekali. Maaf mengecewakan anda, kan Kak Mel yang dulu bilang. Ada perbedaan dengan menjadi seorang perempuan dan seorang Lady. Seorang perempuan itu jika melihat pacarnya jalan sama cewek lain atau ketahuan selingkuh, pasti ngamuk dan terus bilang 'kamu pilih aku atau dia?'
"Tapi seorang Lady gak melakukan hal itu, seorang Lady cuma senyum, kibas rambut dan langsung nendang tuh cowok begitu saja dari hidupnya. Karena seorang perempuan untuk menjadi Lady itu harus berkelas dan memiliki harga diri yang tinggi. Kan Kak Mel juga bilang, banyak pria lain diluar sana. Untuk apa berebut satu pria? Hanya menjatuhkan harga diri kita sebagai wanita. Kak Mel lupa?"
Kak Mel tertawa dan langsung mengacungkan jempolnya padaku. "Good girl. Ini yang aku suka. Jadi gak ada tontonan gratis nih? Ala-ala sinetron gitu?"
"Nggaklah. Ngapain juga." Aku angkat bahu.
"Ehm..tapi aku kok jadi kepengin bikin sedikit drama ya? Kamu udah selesai makan belum? Yuk kita cabut. Tapi sebelumnya, kita samperin tuh pasangan gak tahu diri itu."
Aku menyipitkan mataku. "Jangan bilang Kak Mel mau aku ngelabrak pasangan itu?"
"Siapa bilang? Buat Lady kayak kita, itu gak banget. Ayolah, ikut aja."
Kak Mel segera menyelesaikan pembayaran tagihan makanan. Lalu menarik tanganku untuk mendekati meja Theo yang sedang berbincang serius dengan Liana. Aku mengikuti dengan enggan.
"Selamat siang, Pak Theo Galinggih. Saya gak ganggu kan? Dari jauh tadi saya ngeliat Pak Theo, mau nyapa takut salah. Ternyata benar Pak Theo." Kak Mel mulai mengeluarkan jurus basa-basi andalannya yang benar-benar basi.
Theo melihat kearah kami. Matanya sekilas menatapku. "Selamat siang, Bu melisa." Sapa Theo sopan. Bagaimanapun yang ada dihadapannya seorang desainer terkenal. Ia tidak mungkin marah dan mengusir kami berdua kan, seperti yang ia lakukan pada adiknya, Nita.
"Sudah beberapa hari Pak Theo tidak pernah datang ke butik. Kebetulan sekali ya kita ketemu di sini. Kenapa Pak Theo gak sekalian mampir ke butik? Ada beberapa koleksi jas terbaru rancangan Anjani loh. Mungkin Pak Theo tertarik untuk melihat-lihat. Oh, ajak sekalian teman Pak Theo yang cantik ini. Kami juga memiliki koleksi gaun-gaun malam yang bagus."
"Ya, tentu. Nanti kami mampir." Lagi-lagi Theo hanya menjawab sopan. Dari matanya aku bisa melihat rasa tidak nyaman karena keberadaan kami berdua.
"Anjani desainer?" Tiba-tiba Liana bertanya.
"Ya, Anjani ini salah satu desainer muda berbakat yang bekerja di bawah naungan Mels clothing. Dan mungkin sebentar lagi namanya akan diperhitungkan dalam kancah nasional maupun internasional. Karena ia sedang mempersiapkan diri mengikuti lomba perancang muda berbakat yang diadakan oleh ikatan perancang busana Indonesia."
"Wow, hebat." Liana mengeluarkan pujian, terdengar tulus. Meski sinar di matanya terlihat biasa saja. Mungkin hanya pujian basa-basi. Di matanya yang lulusan S2 Stanford, aku mungkin bukan apa-apa.
"Lomba perancang busana muda berbakat?" Theo menatapku tajam. Ia terlihat tidak suka mendengarnya.
"Yap." Aku mengangguk tanpa ragu. "Hadiah utamanya belajar mode selama tiga bulan ke Paris dan juga uang tunai seratus juta rupiah. Menggiurkan bukan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...