Bab 4

9.6K 782 9
                                        

"Waktu Kak Theo ingin bertunangan dengan Kak An, sebenarnya aku gak setuju. Bukan karena aku gak suka sama kakak, tapi karena aku tahu Kak Theo selalu memandang Kak An sebagai Kak Liana. Karena kemiripan diantara kalian berdua. Tapi apa dayaku Kak An, aku cuma remaja yang baru berusia enam belas tahun waktu itu. Mau ngasih pendapat juga gak didengar."
Nita meremat gaunnya, ia seperti sulit untuk mengatakan kebenaran tentang Theo di depanku. Kebenaran yang baru aku tahu saat ini.

"Kamu dari tadi selalu bilang aku mirip dengan Liana. Tapi aku merasa aku gak mirip sama dia. Dia lebih cantik dari aku, Nit," kataku membantah perkataan Nita. Dan dia juga lebih kaya dariku, aku melanjutkan dalam hati.

"Apa Kak An gak sadar kalau kalian berdua itu mirip? Mungkin gak seratus persen. Hanya saja kalian memiliki bentuk mata dan dagu yang sangat mirip. Kak Liana memang cantik, tapi Kak An jauh lebih cantik dari dia. Kalau Kak Liana menurutku, dia cuma menang di make up." Nita mengerucutkan bibirnya. "Wajah Kak An lebih enak dipandang tanpa polesan make up berlebih. Dan aku iri sama kulit mulus Kak An. Apa kakak gak pernah punya masalah sama jerawat? Muka bisa mulus begini."

Aku tertawa kecil mendengar pujian Nita yang begitu polos. Ah, seandainya Nita adik kandungku. Aku pasti senang sekali. Kami berdua cocok, dan aku senang mengobrol dengannya.

"Terima kasih, baru kamu satu-satunya yang bilang kakak cantik, Nit."

"Kak An terlalu merendah, sampai gak sadar kalau punya wajah cantik," ucap Nita. Tiba-tiba ia menggenggam tanganku. "Meski aku selalu dianggap anak kecil. Tapi aku tahu keluarga kami tidak memperlakukan Kak An dengan baik. Mama, papa bahkan Kak Niken menganggap Kak An hanya ingin morotin uang Kak Theo. Hanya ingin menumpang hidup dengan keluarga kami, tapi aku tidak merasa Kak An seperti itu."

Ia melihat jam tangan dipergelangan tangan kiriku. "Lihat, jam tangan Kak An aja gak bermerk. Padahal kemarin Kak Theo ngebeliin jam tangan cartier buat Kak Liana. Perhiasan yang Kak An pakai cuma cincin pertunangan ini. Apanya yang morotin?"

Aku tersenyum miris mendengarnya. Ternyata seburuk itu imageku di mata keluarga Galinggih. Dan mungkin di mata kerabat dan teman-teman Theo. Apa karena aku yang berasal dari kalangan bawah? Apa karena status sosial diantara kami yang berbeda jauh? Apa karena aku yang hanya seorang gadis yatim piatu? Tinggal di rumah kecil yang terletak di gang sempit?

Tapi selama aku bersama dengan Theo, aku tidak pernah minta dibelikan macam-macam. Tidak pernah meminta uangnya, semua yang kukenakan hasil dari keringatku sendiri. Aku cukup tahu diri kok. Punya pacar kaya, bukan berarti aku bebas minta ini itu. Aku malah takut, takut dianggap memanfaatkan Theo. Takut dicap cewek matre. Perempuan gak tahu diri. Tapi ternyata cap itu sudah terlanjur melekat didiriku.

Tahukah mereka, meski sudah menjadi tunangan Theo. Aku masih naik busway kalau pergi bekerja. Naik taksi online kalau ada uang lebih. Aku masih suka beli nasi uduk yang dijual di pinggir jalan untuk sarapan. Masih membungkus pecel lele pinggir jalan kalau kebetulan lembur dan pulang malam. Dan aku gak sempat masak. Masih lebih memilih kopi sachetan buat teman lembur bikin sketsa pakaian daripada pesan kopi starbuck yang harganya mahal.

Menjadi kekasih dari keluarga kaya tidak seindah bayangan. Tidak seindah sinetron dan film. Tidak ada yang namanya antar jemput pakai mobil mewah. Tidak ada namanya hadiah perhiasan mewah dan berlian sekian karat berharga fantastis.

Aku masih harus mengandalkan gajiku untuk membayar semua tagihan listrik, pam dan bahkan beli pulsa ponsel. Kapan aku morotin Theo? Ya Tuhan. Seburuk itukah aku di mata mereka?

"Kak Liana sudah kembali, semuanya tidak akan lagi sama seperti dulu Kak An. Apa yang akan kakak lakukan sekarang?"

Aku tertegun mendengar pertanyaan Nita. Kenapa dia bertanya seperti itu? Kenapa dia bertanya apa yang akan aku lakukan sekarang? Aku merasa heran dengan pertanyaannya yang terasa aneh menurutku.

Tapi sekarang aku paham kenapa. Sejak kemarin Theo tidak menghubungiku. Sejak kepergianku tanpa pamit dari pesta itu, tanpa menunggunya. Ia sama sekali belum menghubungiku. Belum menelponku sama sekali.

Mustahil ia tidak tahu kalau aku pergi dari pesta itu tanpanya. Nita bahkan tidak mencegah kepergianku, ia malah menemaniku menunggu pesanan taksi online datang. Wajahnya terlihat kesal, aku jamin ia bakal mengamuk ke Theo. Mereka berdua mungkin bertengkar karena aku.

Dan sampai hari ini, Theo tidak juga menghubungiku.

"Kamu itu memang cantik, An. Jadi gak perlu kacaan terus." Kak Mels tiba-tiba masuk keruangan ini. Aku tersipu malu mendengarnya.

Butik milik Kak Mels yang bernama Mels clothing terletak di pusat perbelanjaan elit daerah sudirman. Butik seluas tiga ratus meter persegi itu menyediakan berbagai gaun malam dan pesta dengan mode yang elegan, simple dan anggun. Semua gaun yang tersedia di sini sebagian besar rancangan Kak Mels dan aku. Kak Mels memang lulusan sekolah desainer di Paris.

Dulu, almarhumah ibu bekerja di rumah orang tua Kak Mels. Aku yang saat itu masih kecil, sering ikut ibu bekerja karena tidak bisa ditinggal di rumah sendirian.

Biasanya aku menemani ibu bekerja, yang saat itu sebagai ART di rumah orang tua Kak Mels sambil membawa peralatan menggambarku. Buku gambar, pensil dan crayon.

Aku tidak menggambar gunung atau pemandangan alam lainnya seperti yang dilakukan anak-anak lain seusiaku. Tapi yang aku gambar malah seorang princess yang mengenakan gaun pesta yang indah. Entah kenapa, dari dulu aku senang sekali menggambar pakaian. Menggambar seorang princess lengkap dengan gaun-gaun hasil rancanganku.

Saat itu usia Kak Mels baru lima belas tahun, dan aku delapan tahun. Aku dan Kak Mels menjadi dekat karena sama-sama hobbi gambar. Di kemudian hari aku tahu, ia bercita-cita menjadi perancang pakaian terkenal dan pergi ke Paris untuk mewujudkan mimpinya.

Kata Kak Mels aku berbakat. Aku terlahir dengan bakat alami yang aku miliki. Bakat merancang pakaian. Hingga saat ia kembali dari sekolahnya di Paris, ia menawariku untuk bekerja di butiknya yang saat itu baru dirintisnya.

Aku yang awalnya belum paham bagaimana membuat sketsa pakaian yang bagus untuk diaplikasikan menjadi sebuah gaun, di bawah bimbingannya menjadi semakin ahli. Kak Mels banyak membantuku, mengajariku dan tidak segan-segan menurunkan ilmunya padaku.

Aku yang lulusan D3 akuntansi, kini malah terjun sebagai perancang pakaian. Dan ternyata hasil rancanganku disukai para pelanggan butik Kak Mels.

Sejak itu aku mulai serius merancang pakaian, khususnya gaun dan jas pria. Dan terbukti dari penghasilanku sebagai perancang busana, aku bisa memugar rumah peninggalan orang tuaku yang sudah tua. Merenovasinya menjadi tempat tinggal dua lantai yang layak.

Dan aku juga mulai menabung, dengan satu impian jika suatu hari nanti. Aku akan pergi ke Paris untuk belajar mode, menjadi perancang kelas dunia seperti Dona Karan, Vera Wang ataupun Vivienne westwood.

Sampai kemudian aku bertemu dengan Theo..

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang