Bab 47

7.4K 588 5
                                    

"Aku mau ketemu Kak Mel, Theo. Please...biarkan aku ketemu Kak Mel." Entah sudah berapa puluh kali aku mengajukan permohonan yang sama dengan Theo.

Ini hari keduaku di Jakarta. Hari kedua aku berada di apartemen Theo. Tapi selama ini, aku belum bisa pergi kemana-mana.

Sejak kedatanganku, aku hanya berdiam diri di apartemen. Tidak diizinkan keluar, bahkan ada seorang pengawal yang mengikutiku kemanapun aku pergi.

Aku tidak bisa bergerak bebas, selalu diawasi, selalu diikuti. Theo memperlakukan aku seperti tawanan rumah.

Theo, yang sedang sibuk dengan laptop di depannya hanya melirikku sekilas. Tidak menggubris sama sekali permintaanku.

Dua hari di Jakarta, yang mengejutkanku, Theo juga tinggal di apartemen ini. Meski kami tidur di kamar terpisah. Dan cuma bila ia ada di sini, pengawalnya berhenti berkeliaran di depanku.

"Theo!"

"Untuk apa kamu ketemu sama dia?" Akhirnya Theo buka suara.

"Aku ingin memastikan keadaan Kak Mel."

"Aku sudah bilang kan. Aku akan atur pertemuan kamu sama dia, nanti. Gak sekarang."

"Kapan? Ini sudah dua hari! Kamu memperlakukan aku kayak tahanan. Ponselku bahkan kamu sita! Kamu tahu, ini sama saja dengan penculikan. Aku bisa laporin kamu ke polisi!"

"Atas tuduhan apa? Penculikan seperti yang kamu katakan?" Ada nada mengejek dalam suara Theo. "Kamu yang suka rela datang padaku, apa ini disebut penculikan?"

"Tapi kamu naruh pengawal buat ngawasin aku! Seolah-olah aku ini tahanan!"

"Itu buat keamanan kamu. Agar tidak ada orang jahat yang bisa nyakitin kamu!"

"Orang jahat apa? Kamu lupa siapa orang jahatnya di sini?" tanyaku sinis. "Kenapa kamu gak bolehin aku ketemu Kak Mel? Kenapa ponselku harus kamu sita? Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?"

"Rencana? Tentu saja menikah denganmu."

"Kenapa kamu ngotot banget kepengin nikah sama aku? Kamu bisa kembali sama Liana. Kamu cinta mati sama dia kan. Kenapa tidak mencoba memaafkannya?"

"Jangan sebut namanya lagi, An. Satu-satunya perempuan yang aku cintai dan mau aku nikahi itu kamu. Bukan dia!"

"Cinta? Kamu yakin perasaanmu sama aku itu cinta? Itu bukan cinta, Theo. Itu obsesi!"

"Terserah kamu mau bilang apa. Tapi sebelum kamu setuju nikah sama aku, kamu gak akan bisa ketemu Melisa!"

"Sampai matipun aku gak akan setuju! Pria yang mau aku nikahi itu bukan kamu!"

"Siapa? Si bule itu?" Ejek Theo. "Apa dia tahu kamu kembali ke Indonesia buat ketemu sama aku? Pria yang berpredikat sebagai mantan tunanganmu?"

"Lessandro sedang sibuk ikut kualifikasi piala dunia. Aku gak mau bikin dia khawatir."

"Lalu bagaimana kalau dia tahu kamu pergi menemuiku?"

"Dia gak akan tahu! Dan gak perlu tahu."

"Kenapa? Takut dia mutusin kamu? Takut dia mengira kamu selingkuh sama aku?"

"Lessandro bukan pria picik kayak kamu, Theo!"

"Oh, ya? Segitu baiknya dia di mata kamu?"

"Dia memang seratus kali lebih baik dari kamu!"

"Aku tahu dia siapa. Bintang sepak bola yang terkenal play boy kan? Pacarnya banyak, sering gonta-ganti pasangan. Tidak sangka kamu mau sama cowok kayak dia. Apa karena dia seorang pesohor dunia?"

"Setidaknya Lessandro bukan pria yang tidur dengan wanita lain, saat dia sudah memiliki tunangan! Dan tidak terjerat dengan wanita yang disebut sebagai cinta pertamanya!"

Wajah Theo berubah saat mendengar kata-kataku barusan. Rahangnya mengeras. Ada rasa sakit, marah dan juga kecewa di matanya.

Tapi apa peduliku? Ia harus menerima kenyataan kalau aku bukan lagi tunangannya.

"Kamu yakin dia gak bakal ngecewain kamu nantinya? Dengan reputasinya, yakin dia gak akan selingkuh dengan perempuan lain?"

"Kalaupun itu terjadi. Itu urusanku kan, bukan urusan kamu. Apa kamu merasa lebih baik darinya?"

"Aku sedang berusaha menjadi lebih baik buat kamu, Anjani. Kasih aku kesempatan buat membuktikannya."

"Aku gak bisa."

"Kenapa kamu begitu keras kepala? Kemana perginya Anjani yang berhati lembut dan begitu toleran?" Seru Theo frustasi. "Kenapa kamu gak mau kasih aku kesempatan?"

"Karena aku sudah tidak mencintai kamu lagi, Theo! Apa hal sesederhana itu kamu gak paham?"

"Kamu gak boleh mencintai pria lain selain aku, An! Aku melarangnya!"

"Kamu gak berhak mengatur hatiku untuk jatuh cinta dengan pria lain, Theo!"

"Aku berhak dan aku bisa!" Theo tiba-tiba berdiri dan menghampiriku. Tangannya mencekal tanganku kuat, matanya terlihat menakutkan.

"Kamu mau apa?" Teriakku takut. "Lepaskan, Theo!! Kamu sinting!!"

"Satu-satunya jalan kamu gak pergi dariku, adalah membuat kamu jadi milikku!"

"THEO!!" Aku semakin panik dan takut saat Theo makin mencengkram tanganku kuat. Apalagi saat dia dengan mudahnya membopong tubuhku dan membawaku ke kamar tidur.

Aku berusaha berteriak, memberontak, menendang. Aku benar-benar ketakutan dengan apa yang akan dilakukan Theo padaku!

Tidak ada orang yang bisa menolongku, tidak ada yang bisa mendengar teriakanku. Bahkan pengawal yang biasa menjagaku saja tidak nampak batang hidungnya.

Disaat ini, tiba-tiba saja aku teringat Lessandro. Lessandro yang tertawa ceria, Lessandro yang tersenyum lembut. Lessandro yang menatapku penuh cinta.

Bayangan wajah Lessandro membuatku semakin kuat memberi perlawanan. Namun bayangan itu semakin memudar dengan semakin derasnya air mataku.

Dan saat Theo menghempaskan tubuhku ke atas ranjang, aku tahu perlawananku itu sia-sia.

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang