Dunia laki-laki! Itu suasana yang aku rasakan saat tiba di markas besar Ac Milan yang ternyata dekat dengan stadion san siro. Stadion yang juga dipakai Inter Milan, rival satu kota Ac Milan.
Kami bertiga disambut dengan ramah dan diperkenalkan oleh semua pemain Ac Milan. Ada Osvaldo yang asal Brazil dan seorang kiper di Ac Milan. Erik van Brouwer dari Belanda yang seorang gelandang tengah. Dan juga pemain-pemain asli Italia lainnya, yang aku tidak hapal namanya.
Diantara semua orang yang hadir, hanya aku dan Miuccia yang berjenis kelamin perempuan. Lainnya? Laki-laki.
Kami berdua seperti anak perawan di sarang penyamun. Aku agak kurang nyaman dengan banyaknya pria-pria yang mengelilingi kami. Meski kulihat Miuccia malah kelihatan bahagia.
Ya, kapan lagi dikelilingi pria-pria tampan dengan body atletis, sexy dan menguarkan aura jantan? Bagi Miuccia mungkin surga, tapi bagiku agak canggung.
Apalagi mereka semua tinggi-tinggi! Aku yang tingginya hanya 158 cm, tentu saja tenggelam diantara pria-pria yang tingginya rata-rata 180-han. Bahkan aku saja kalah tinggi dari Miuccia yang tingginya 170 cm!
Jika di lapangan sepak bola, mereka sudah terlihat tampan. Saat berpakaian santai begini tanpa seragam klub, mereka semua jauh lebih tampan lagi. Mungkin ini adalah impian sebagian orang, penggila sepak bola tepatnya. Untuk bisa bertemu dengan para pemain sepak bola kelas dunia setara pemain Ac Milan ini.
Kami juga diajak keliling markas. Dan mungkin cuma perasaanku saja atau bagaimana, para pemain Ac Milan terlihat antusias berbicara denganku. Mereka juga tak segan-segan memberi keterangan tentang sejarah klub dan prestasi yang sudah diraih Ac Milan sejauh ini.
Dan aku juga baru tahu, Ac Milan ternyata pemegang rekor juara Champion setelah Real Madrid. Wow, fantastico! Pikirku yang ikut-ikutan orang Italia bila kagum dengan sesuatu yang luar biasa.
Dan aku juga mendengar mereka menyebutku piccolina. Si cantik mungil???
Setelah acara perkenalan dan ramah tamah, serta diajak keliling markas besar Ac Milan. Satu persatu aku mulai mengukur ukuran tubuh para pemain Ac Milan, yang tentu saja dibantu Franscesco dan Miuccia yang nampak senang sekali dengan tugasnya.
Ternyata acara ukur mengukur ukuran tubuh itu tidak semenegangkan yang aku kira. Karena semua pemain Ac Milan sangat ramah dan terkadang melontarkan gurauan yang mencairkan suasana.
Saat kupikir semua pemain sudah selesai diukur, tiba-tiba manager bertanya sesuatu dengan nada keras.
"Alessandro! Dimana dia? Dia satu-satunya yang belum diukur!"
"Kencan! Dia sedang kencan hari ini!" Seseorang berkata. "Dia tidak datang!"
"Apa? Kencan? Siapa yang mengi.."
"Aku di sini!" Suara-suara riuh terdengar saat seseorang masuk keruangan, di mana kami sedang berkumpul. "Aku di sini!"
Aku yang baru saja membereskan pensil dan meteran baju yang baru saja kugunakan untuk mengukur ukuran tubuh para pemain, mendongak saat merasakan seseorang berdiri di hadapanku.
"Signorina, saya belum anda ukur."
"Huh?"
Di hadapanku menjulang tinggi pria yang luar biasa tampan dengan rambut hitam dan mata coklat. Serta kulit zaitun yang merupakan ciri khas pria Italia. Alisnya tebal namun tertata rapi, yang membuat orang berpikir ia merapikan alisnya di salon kecantikan. Hidung mancung dan ia memiliki bentuk bibir yang indah. Yang bila tersenyum pastilah membuat wanita mana saja mabuk kepayang.
"Signorina..maukah anda mengukur saya?" tanyanya lagi dengan suara dalam dan terdengar...seksi?
Aku menoleh pada Miuccia yang baru saja selesai mengukur satu orang pemain.
"Ehmm...bagaimana kalau teman saya yang..."
"Tolong ukur saya, signorina."
"Ah, Lessandro selalu tahu mana barang bagus," kata seorang pemain yang merangkul pria jangkung di depanku ini. "Kau sudah terlambat datang. Dan hanya mau diukur oleh signorina cantik ini, hah?"
"Apa salahnya? Bellisima, anda tidak keberatan kan?" Seulas senyum jahil sedikit nakal terulas di bibir pria bernama Lessandro ini. Kalau aku bilang ya, aku keberatan. Karena aku sudah membereskan semua peralatanku, aku akan dianggap kekanak-kanakan dan tidak sopan. Maka dengan sedikit manyun, aku mengangguk.
"Oke, tidak masalah."
Senyum lebar terpatri di bibir pria itu. Aku mulai mengukur.
"Signorina, siapa nama anda?"
"Anjani."
"Nama yang indah. Bahasa Italia anda bagus sekali."
"Terima kasih."
"Signorina begitu mungil." Katanya lagi. "Dan cantik."
Apa ia sedang menggodaku?
"Hati-hati, signorina. Lessandro ini seorang pro kalau soal perempuan."
"Siapa bilang? Aku yang termuda diantara kalian, Osvaldo."
"Tapi yang paling berpengalaman." Osvaldo si kiper memutar matanya. Aku selesai mengukur.
"Yap. Sudah selesai."
"Cepat sekali." Lessandro nampak kecewa.
"Kau pikir berapa lama yang dibutuhkan signorina untuk mengukur, Lessandro?" Kali ini pria lainnya bicara. Tanpa kusadari, sudah ada beberapa pria tampan, tinggi dan atletis yang mengerumuni kami. Tempatku berdiri mengukur Lessandro.
"Apa anda yakin anda mengukur saya dengan tepat, signorina?"
Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. Apa dia pikir aku tidak bisa mengukur? Hello, aku ini seorang desainer.
"Mau mengukur ulang? Atau...boleh minta nomor telpon?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Blue (END)
General FictionDua tahun lamanya Anjani bertunangan dengan Theo. Meski ada perbedaan jurang yang sangat besar dalam status sosial mereka, tapi Anjani berusaha menutup mata dan telinganya atas segala cemooh yang datang dari orang-orang disekelilingnya. Dari keluarg...