Bab 3

10K 819 9
                                        

Aku memandang wajahku di cermin. Wajah yang kata Nita mirip dengan Liana. Wajah yang membuat Theo jatuh cinta padaku.

Mirip? Mirip darimananya? Pikirku bingung, saat mengingat wajah Liana saat pertemuan kami kemaren. Kami sama sekali tidak mirip. Liana terlihat jauh lebih cantik dan berkelas daripada aku. Rambut panjang indahnya bahkan lebih mirip untuk iklan shampoo.

Sedangkan aku? Biasa saja. Kulit wajah yang jarang tersentuh skin care mahal, kuku putih polos tanpa kuteks warna warni dan juga tubuhku terlalu kurus dibandingkan tubuh Liana, yang kemarin kulihat bergaun seksi keemasan dengan tali spaghetti.

Seperti bumi dan langit. Liana begitu cantik, anggun dan sangat berkelas. Idaman setiap lelaki. Lelaki yang juga berkelas seperti Theo.

"Aku tidak tahu persis apa penyebab putusnya Kak Theo dan Kak Liana," kata Nita kemarin saat aku bertanya mengenai hubungan Theo dan Liana. "Tapi mereka sudah pacaran dari jaman SMA. Dan Kak Liana itu cinta pertama Kak Theo."

Nita melirikku, seakan ingin tahu bagaimana reaksiku setelah mendengar hal itu. Saat dilihatnya aku diam saja, ia terlihat lega. Apa yang dia harapkan dari reaksiku saat mendengar hal itu? Mengamuk? Menangis? Itu mungkin hal yang wajar untuk dilakukan semua wanita yang telah bertunangan, yang mencintai pasangannya. Saat mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana pria yang kita cintai malah terlihat berbincang mesra dengan mantannya. Sama sekali melupakanku yang seharusnya menjadi prioritas utamanya.

Marah? Kecewa? Sakit hati? Tentu saja itu yang aku rasakan saat ini. Betapa sakitnya saat kita menyadari, kita bukan prioritas utama dalam hidup pasangan kita. Bahwa aku dapat tersingkir begitu mudahnya, hanya karena kehadiran seorang mantan pacar!

Tapi sebenarnya kau sudah tahu itu kan, Anjani? Kataku getir dalam hati. Kau tahu Theo tidak sepenuh hati mencintaimu. Kau hanya mencoba pura-pura buta dan tuli untuk semua perlakuan yang Theo lakukan padamu.

Lebih suka kumpul dengan teman-temannya di cafe ketimbang menemanimu pergi ke acara kondangan. Lebih suka memberimu uang untuk ongkos taksi yang sebenarnya tidak kau butuhkan, ketimbang menjemputmu saat kau pulang kerja lembur. Ia bahkan jarang mengajak kau berkencan dengan alasan sibuk, membantu tugas ayahnya di perusahaan. Walau kau tahu itu tidak pernah ia katakan jika ada teman Theo yang ngajak nongkrong bareng!

Keluarga dan teman, itu prioritas utama Theo. Sedangkan kau? Aku lagi-lagi hanya tersenyum getir. Kau bukanlah prioritas hidupnya. Kau hanya perempuan yang ia butuhkan saat Theo butuh partner untuk pergi ke acara-acara penting, kau hanya perempuan yang ia jadikan tameng jika ada perempuan yang tidak disukainya mencoba mendekat. Dan kau hanya perempuan yang bisa ia jadikan pelampiasan emosi di saat ia marah! Mendengarkan caci makinya, luapan amarahnya jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan kemauannya.

Anjani, kamu wanita menyedihkan yang hanya memiliki cinta bertepuk sebelah tangan. Apakah Theo ingat ulang tahunmu? Ingatkah dia dengan tanggal saat pertama kali kalian jadian? Ingatkah dia dengan makanan kesukaanmu? Warna favoritmu? Atau sesuatu yang kamu benci?

Kenapa kau bersedia bertunangan dengannya? Apa kau buta saat melihat dengan jelas bagaimana tidak sukanya kedua orang tua Theo padamu? Bagaimana tatapan meremehkan teman-teman Theo saat ia memperkenalkanmu pada mereka? Bagaimana mereka memperlakukanmu begitu asing?

Apa karena cinta? Apa karena kau terlalu mencintai Theo hingga menutup mata dengan semua itu?

"Saat kau mencintai seseorang, jangan kau berikan seratus persen hatimu untuknya. Cukup hanya tujuh puluh, bahkan mungkin enam puluh persen saja hatimu untuknya. Sisanya adalah persiapan, bila kelak ia menyakitimu dan membuatmu kecewa."

Itu ucapan yang dilontarkan Kak Mels. Atau Melisa Indriati Suroso, Bossku pemilik butik tempat aku bekerja saat ini. Wanita cantik keturunan Tianghoa yang asli Solo dan lahir di sana. Tapi besar di Jakarta. Seorang single mother dan pekerja keras setelah bercerai dari suami yang mata keranjang tiga tahun lalu.

Ia kerap memberikan nasehat padaku, saat dilihatnya aku sering kecewa dengan perlakuan Theo padaku. Nasehat karena pernah dikecewakan pria dalam hidupnya.

"Apa sih yang bikin kamu mau bertunangan sama dia? Karena dia ganteng? Kaya? Punya jabatan mentereng? Lulusan luar negeri?"

Itukah alasan aku mau menerima Theo sebagai kekasih? Itukah alasan aku mau menyetujui saat Theo ingin membawa hubungan kami kejenjang yang lebih tinggi dari sekedar berpacaran, yaitu pertunangan? Sematerialistis itukah diriku di mata semua orang?

"Memang itu kan alasan kamu mau menerima Theo?" Niken, adik perempuan nomor dua Theo pernah melontarkan kalimat menyakitkan itu padaku, saat aku pernah bertengkar dengan Theo gara-gara dia lupa menjemputku di Bandara. Saat aku pulang dari pembukaan cabang butik Kak Mels di Bali. Aku menunggu lama, ponsel Theo tidak bisa dihubungi.

Dan saat itu, justru aku yang dipojokan. Disalahkan. Dianggap manja. Yang kemudian aku baru tahu, Theo sedang asyik main bilyar dengan teman-temannya di cafe langganan mereka. Melupakan aku, tunangannya yang menunggu lama di Bandara karena ia yang berjanji menjemputku!

"Kami semua tahu kok, apa alasan perempuan seperti kamu yang mau bersama Kak Theo. Apalagi saat mereka tahu, nama belakang Kak Theo adalah Galinggih."

Perempuan seperti apa memangnya aku ini? Perempuan murahan? Pengejar harta laki-laki? Itukah yang ada dipikiran semua orang ? Khususnya orang-orang yang berada disekeliling Theo?

Theo, aku sungguh mencintaimu. Tahukah kamu, bukan mobil mewahmu yang membuat aku tertarik padamu, bukan black card di dompetmu yang membuat aku jatuh cinta padamu.

Tapi senyum lembutmu yang pernah menjadi milikku, perhatianmu saat pertama kali kau mendekatiku. Perlindunganmu yang membuatku merasa aman berada di dekatmu.

Kemanakah semua kelembutan, perhatian dan perlindunganmu itu Theo? Kemana hilangnya sinar hangat di matamu setiap kau menatapku dulu?

Setelah tiga bulan kita berpacaran, dua tahun bertunangan. Sikapmu padaku, seperti pasir yang tertiup angin. Perlahan mengikis dan menghilang tanpa sisa.

Love Is Blue (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang