Aku tidak bisa berlari sekarang, kakiku seperti membeku dan terus menyuruhku berada di sini.
.Bila.
_
_
"Anak sialan!"
Plak
Satu tamparan mendarat di pipi kananku dengan keras, napas Ayah begitu menggebu-gebu. Menatapnya dengan tatapan marah, aku memegang pipi yang memerah akibat tamparan yang di berikan Ayah tadi, dengan ragu aku berusaha untuk menatap wajah Ayah dengan rasa takut.
Aku meringis, seperti ada yang mengalir di sudut bibirku. Menyentuhnya dengan pelan, mataku terpejam sesaat setelah melihatnya ternyata benar sudut bibirku berdarah. Tubuhku kembali bergetar saat tangan Ayah memegang pundakku dengan kuat, beliau masih diam tapi tatapannya begitu menusuk mataku.
Riksi melepaskan tangannya, mengacak-acak rambutnya lalu menatapku dengan tajam.
Aku kembali menangis tersedu-sedu, kala suara bentakan Ayah begitu menyakitkan. "Anak engga tau di untung kamu, seharusnya istri saya dan kembaran kamu yang selamat bukan kamu anak sialan!"
Siapa yang mau jika sudah seperti ini, semua orang juga tidak dapat memilih siapa orang tuanya.
Tidak...
Ayah membuka sabuk yang ia pakai lalu mencambuk tubuhku dengan keras. Meringis hanya bisa meringis ketika sabuk itu mengenai pinggangku, aku memeluk tubuhku sendiri berlindung dari amukan yang di berikan Ayah. Pasti tubuhku penuh dengan luka seperti biasa.
Bi Ningsih berlari dari dapur setelah mendengar suara Ayah membentakku, ia memeluk tubuhku dengan erat. Matanya menatap majikannya dengan tatapan sendu, meminta untuk tidak meneruskan aksinya tersebut. "Awas Bi, saya akan memberi hukuman untuk anak itu."
Bi Ningsih menggelengkan kepalanya. "Istighfar, Pak. Ini kenangan yang harus bapak jaga."
Riksi mendengus kesal. "Saya malu, Bi. Saya malu, anak yang saya didik dengan keras nyatanya membangkang hingga dia hamil di luar nikah."
Aku hanya bisa berlindung di tubuh ringkih seseorang yang dengan suka rela merawatku dari kecil. "Pergi, Bi. Kalau tidak saya cambuk kalian berdua."
"Pergi, Bi. Bila mohon." Aku meminta Bi Ningsih untuk pergi dari sini.
Bi Ningsih menggelengkan kepalanya. "Engga Non, bibi di sini sama non."
Air mata keluar lebih deras sekarang, rasanya seperti di hancurkan dengan paksa begitu saja. Jika boleh meminta, aku tidak ingin seperti ini. Menderita dan juga mendapatkan makian dari semua orang dari dulu hingga sekarang.
Ia tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini ... Kalau akhirnya sakit.
Mentalnya hancur sudah sekarang.
Riksi menarik tangan wanita parubaya itu untuk menjauh, menyisakanku yang masih bersimpuh dengan memeluk tubuhku sendiri.
Yang seharusnya seorang Ayah adalah cinta pertama anaknya tapi berbeda. Ayahnya adalah penyakit dari segala perkara mental yang aku terima sekarang dan dulu.Kenapa tuhan menakdirkan seperti ini?
Aku kembali meringis kesakitan kala sabuk itu mengetahui lenganku dengan keras. Ayah seperti tidak pernah jera menghukumku, entah kapan sabuk itu terus beliau mengenai tubuhku.
Bi Ningsih menggelengkan kepalanya, ia berlari mencegahnya. "Pak, saya mohon jangan."
"Ingat dia anak bapak sama ibu Nana."
Tubuh Bi Ningsih terhempas begitu saja, tangan Ayahnya mencengkram kuat dagunya. Aku menundukkan kepalanya, sakit rasanya tapi bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur sekarang, hidupnya hancur hanya karena satu hari.
Tidak ada lagi peluk hangat dari siapapun hanya ada tatapan-tatapan yang menatapnya dengan dingin.
"Anak siapa itu?!"
"Jawab!"
"Anak siapa itu!"
Aku menggelengkan kepalanya, haruskah aku jujur kalau aku tidak tahu siapa orangnya. Sampai sekarang aku masih membenci tubuhku sendiri, malu dan seperti seorang pelacur.
"Jawab siapa Ayahnya, Bila!"
"Jawab, kamu dengarkan yang Ayah omongin. Hah?" Riksi mengacak-ngacak rambutnya.
Riksi frustasi dengan keadaan keluarganya sekarang. "Bila engga tahu, Bila engga tahu."
Riksi menganggukkan kepalanya. "Kalau kamu engga jujur, Ayah nikahkan kamu dengan sahabat Ayah."
Jantungnya terasa akan lepas, bagaimana tidak Ayahnya akan menjodohkannya dengan sahabatnya yang usia sama dengan usia Ayahnya siapa lagi kalau bukan Pak Ilham yang sering Ayahnya ajak ke sini.
Aku menggelengkan kepalanya. "Bila engga mau, Yah."
"Kalau kamu engga mau, jawab sejujurnya."
"Bila engga tahu, Yah. Bia engga tahu siapa dia."
"Bagaimana kamu tidak tahu Bila?" Riksi mengusap wajahnya kasar. "Kurung dia di gudang, Mbak."
"Besok saya nikahkan dia."
_
Bila memeluk pengasuhnya saat mereka berada di gudang, Ayahnya mengurung Bila di sini. Ia takut sendiri, gelap, sunyi dan juga pengap. Bila tidak bisa bernapas dengan sempurna di sini.
"Bi, Bila jangan tinggalin Bila." Bila menangis. "Bila takut sendirian di sini."
Bila menatap pembantunya dengan sendu, ia takut sendirian di sini. Apalagi banyak suara yang begitu banyak seperti mereka sedang menertawakan dirinya sekarang.
"Bibi akan di sini." Bi Ningsih menatap wajah majikannya dengan lekat, ia tidak tega meninggalkan nya sendirian di sini. Ningsih juga sudah menganggap Bila adalah anaknya sendiri ketika ibu kandung Bila meninggalkan dunia.
Suara Ayahnya terdengar di telinga Bila, Bila langsung menyuruh pembantunya keluar dari sini. Jika ketahuan mereka pasti akan menjadi sasaran amukan Ayahnya nantinya.
"Bibi keluar sekarang, Bi. Bahaya kalau Ayah tahu."
"Bibi keluar dulu, pintu ini engga akan bibi kunci." Bila mengangguk.
Tapi sayangnya pintu itu di tutup oleh Ayahnya dari luar setelah Bi Siti pergi ke dapur. Bila memeluk tubuh sendiri, ia takut.
Bunda, Bila takut di sini.
Suara dari belakang lemari membuat Bila mengeratkan pelukannya, ia mundur ke belakang. Menyandarkan tubuhnya pada tembok, Bila menangis.
Napasnya seperti sesak, ia tidak bisa bernapas dengan lega sekarang. Bila berharap Bi Ningsih segera mengeluarkannya dari sini.
Cahaya dari luar begitu membuat mata Bila berbinar, pintu terbuka lebar menampilkan Bi Ningsih yang berada di ambang pintu dengan tas yang ada di tangan kirinya. Bi Ningsih masuk ke dalam dengan pelan sangat pelan. "Ayo kita lari dari sini, Non."
"Lari?" tanya Bila.
Bi Ningsih mengangguk, ia tidak setuju jika Bila harus menikah dengan lelaki yang seumuran dengan Riksi. Lebih baik Ningsih membawa Bila dan merawatnya hingga anak itu lahir ke dunia. "Ayo."
Bi Ningsih meletakkan telunjuknya di bibirnya saat Bila melangkahkan kakinya dengan keras, Bila mengangguk mulai melangkahkan kakinya dengan pelan. Matanya melihat sekeliling, Ayahnya sudah tidur dan berharap Riksi tidak akan menemukannya lagi.
Bila menghela napas lega saat berhasil keluar dari rumahnya melewati jalan belakang. "Kita mau ke mana, Bi?"
"Ke kampung bibi, di sana aman."
"Tapi?" tanya Bila sembari meletakkan tangannya di perut.
Helaan napas terdengar di telinga Bila. "Lahirkan dia, di sana. Bibi akan merawatnya kelak jika Non tidak mau merawatnya."
Bila mengangguk.
"Tuan, Non Bila kabur!" teriak satpam yang melihat Bila dan Ningsih kabur lewat jalan belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bila Dan Lukanya (Selesai)
Подростковая литератураWarning : 17+ Selesai Ada beberapa adegan kekerasan! _ Follow sebelum membaca. Jangan lupa tinggalkan vote. _ Abila harus menelan pil pahit ketika kejadian beberapa bulan menimpanya, ia hamil. Semua orang menghilang kekasihnya, Ayahnya dan dunia...