"Ini yang ia diharapkannya bukan?"
..
.
.
.
.
Noval melamun di pinggir ranjang, babak baru dengan orang yang baru dan tanggung jawab yang baru.
Tanggung jawab yang sebenarnya, anak yang di kandung Nira adalah anaknya, hasil dari benihnya sendiri berbeda dengan Bila. Ponselnya yang tadi tergeletak di atas ranjang kembali ia buka, status Nabila begitu menyita perhatiannya. Membuatnya penasaran sontak ia melihatnya.
Deg
Hatinya tercekik ketika melihat bayi dengan selimut berwarna pink membungkus tubuh mungilnya. Tidak lupa dengan tulisan Larayna Athaya putri Ibu Bil, bayi yang selalu ingin ia hilangkan kini lahir dengan sempurna. Begitu cantik sama seperti Bila-mantan istrinya. Bayi yang ia ragukan, bayi yang selalu Noval salahkan, bayi yang selalu tangannya tekan saat masih di dalam kandungan kini melihat dunia.
Surat cerai sudah mereka tandatangani setelah orang tuanya tau tentang kehamilan Nira satu bulan lalu.
Babak barunya di mulai beberapa menit lagi di mulai.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nira Janiar bin Nijar saputra dengan emas 10 gram di bayar tunai."
"Sah." Hanin menangis di pelukan suaminya kala melihat putranya menikah kembali tapi bukan dengan Bila. Hanin gagal menjadi seorang ibu, ia gagal untuk mendidik putranya untuk tidak menyakiti wanita dan merusaknya. Tapi nyatanya putranya begitu seperti hewan, Noval gagal sebagai anak dan sebagai suami untuk Bila.
Hanin tau, jika tangan putranya melayang menampar, memukul Bila selama mereka menikah. Hanin sudah meminta maaf tapi itu tidak cukup dengan apa yang di alami oleh Bila.
Maaf atas nama anaknya karena Hanin tau putranya tidak akan mengucapkan kata maaf satu kata pun. Noval tidak akan pernah mengakui kesalahannya.
Hanin juga ingin melihat buah hati Bila yang mungkin sudah lahir. Ia sudah menganggap bayi itu adalah cucunya sendiri dari dulu hingga sekarang. Nira tersenyum lebar saat duduk di samping Noval, laki-laki itu hanya tersenyum tipis. Tidak jauh ada Riksi Ayah tirinya Nira sekaligus ayah kandung Bila.
Laki-laki paru baya itu tampak tersenyum tapi tidak begitu lebar. Di tempat lain Bila berusaha turun dari ranjang, ia ingin melihat laki-laki yang pernah bersanding dengannya kini bersanding dengan orang lain.
Sakit...
Nabila yang baru saja membukakan pintu langsung berlari menghampiri Bila yang hendak turun dari ranjang. "Lo mau ke mana?" tanya Nabila.
"Gue mau lihat dia untuk terakhir kalinya, Na. Gue mau lihat apa dia tersenyum lebar? Gue mau lihat, Na." Bila menjatuhkan kepala di pundak Nabila sembari menangis.
"Tapi lo masih lemah, Bil."
"Gue bisa, gue mohon. Setelah ini gue engga akan lihat dia lagi." Nabila menghela napas lalu mengangguk.
"Kita lihat dari jauh."
"Hm."
_
Sesak....
Lelaki yang menorehkan luka terbesarnya kini bersanding dengan saudara tirinya-Nira. Bila melihat pergelangan tangannya, bekas yang di berikan Noval masih ada di sana sama seperti luka hatinya. Bahkan Ayahnya berada di sana menyaksikan pernikahan itu terjadi sedangkan dulu laki-laki paru baya itu hanya menikahkannya tanpa pesta mewah seperti sekarang.
Dirinya memang aib, yang tidak pantas untuk di tampilkan di depan umum.
Tidak adil memang, Nabila mengusap punggung sahabat yang bergetar hebat. Ia tau Bila kecewa, kata maaf saja tidak pernah Noval lontarkan kepadanya satu kata pun. Sebelum ke tempat ini, mereka menyempatkan untuk membeli sebuah kado.
Sebuah pigura besar yang kacanya retak, sengaja Bila memecahkannya tadi. Nabila turun dari mobil, mengambil pigura yang sudah di bungkus dengan sempurna.
Nabila menghampiri dua penjaga yang ada di depan. "Pak, saya mau titip ini. Soalnya saya buru-buru banget," dusta Nabila.
Salah satu di antara mereka mengangguk. "Atas nama siapa kalau boleh tau, Mbak?"
Nabila tersenyum tipis, ia menunjukkan kado yang sudah ada di tangan penjaga. "Ada di dalam." Ia pergi dengan cepat, menaiki mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi.
Kendaraan besi beroda empat itu melaju meninggalkan pekarangan rumah Noval untuk terakhir kalinya.
Noval mengerutkan keningnya saat menerima kado yang di berikan oleh penjaga, ia penasaran. Noval memutuskan membukanya, ternyata sebuah pigura dengan kaca yang utuh tapi retak. Kertas berukuran kecil terjatuh, Noval mengambilnya.
Selamat, Bila.
Di tulis dengan tinta merah.
Noval langsung berlari keluar menemui penjaga yang memberikannya kado tersebut. "Pak!"
"Yang kasih kado ini perempuan?" Penjaga itu mengangguk, Noval menunjukkan foto Bila. "Yang ini?"
Penjaga itu menggelengkan kepalanya. "Bukan, Tuan. Dia langsung pergi tadi." Noval menghela napas lalu mengangguk.
"Dia sangat cantik, Nak." Regan mengangguk sembari memperhatikan Lara yang sedang tertidur.
Gen kedua orang tuanya sangat sempurna, Lara kadang mirip dengan Tama di bagian mata dan hidungnya mirip dengan Bila. "Titip dia, ya, Bu. Jangan ada yang adopsi dia, kelak saya atau ibunya pasti akan mengambilnya."
"Ibu engga perlu khawatir saya dan Nabila akan selalu lihat dia di sana."
"Iya, Nak. Ibu pasti ingat itu."
"Dia pasti tumbuh menjadi anak yang sehat dan cantik."
-
Ikbal mencolek pipi kanan Lara yang begitu bulat itu, gemas. Begitu kecil seperti anak kucing yang selalu ia selamatkan di jalan. "Dia lucu sekali."
Fatih mengangguk. "Cantik."
"Lara." Ikbal menundukkan kepalanya, namanya tidak secantik wajahnya. Ia tersenyum tipis lalu mengelus tangan Lara dengan perlahan. "Jadi anak yang baik, Om Ikbal pasti bakal ajak Lara main."
"Om Fatih juga." Lara tersenyum.
"Dia pasti akan menjadi anak yang kuat, gue percaya itu." Fatih menepuk beberapa pundak Ikbal.
Ikbal mengangguk. "Pasti, dia bakal sekuat ibunya. Dia bakal jadi cahaya ibunya nanti."
"Mulai sekarang kita harus belajar jadi Om yang baik buat Lara."
"Iya."
Regan tampak terkejut melihat dua sahabatnya sedang melihat Lara, mereka tidak memberi tahunya sama sekali. "Lah, kalian di sini."
Mereka mengangguk. "Lihat Lara."
Fatih menyerahkan barang-barang yang sempat ia beli bersama dengan ibunya. Ibunya sangat ingin bertemu dengan lara, Fatih menceritakan semuanya. "Hadiah buat dia."
Regan menerimanya dengan senang hati, beruntung Lara mendapatkan beberapa Om yang baik. "Dari gue." Ikbal memberikan boneka kecil yang ia beli dari hasil kerjanya satu Minggu.
"Makasih, Om." Ikbal sangat ingin menggendongnya tapi sayang ia belum berani. Ia takut melukai tubuh kecilnya itu. "Pengen gue makan pipinya."
Fatih mengangguk membenarkan, pipinya seperti moci putih dan sedikit merah.
"Dia senyum." Fatih memotret Lara dengan kamera ponselnya lalu mengirimkannya kepada ibunya.
"Dia bahagia."
"Hm, pasti."
"Dia punya om yang hebat seperti kita, bukan?" tanya Ikbal.
Fatih dan Regan mengangguk.
Mereka tidak sabar menunggu Lara besar sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bila Dan Lukanya (Selesai)
Teen FictionWarning : 17+ Selesai Ada beberapa adegan kekerasan! _ Follow sebelum membaca. Jangan lupa tinggalkan vote. _ Abila harus menelan pil pahit ketika kejadian beberapa bulan menimpanya, ia hamil. Semua orang menghilang kekasihnya, Ayahnya dan dunia...