Bila memegang perutnya dengan kuat, wajahnya sudah pucat pasih. Sudah sepuluh menit rasa sakit itu tidak kunjung hilang tapi malah bertambah sakit. Dengan terpaksa Bila beranjak pelan menuju kamar milik Noval.Bila mengetuk pintu kamar itu beberapa kali, tapi tidak ada sautan dari dalam. Bila kembali meringis, ia membungkukkan tubuhnya sedangkan tangannya kirinya masih setia memegang perutnya.
Pintu kamar terbuka begitu kasar, tatapan laki-laki itu begitu menusuk.
"Apa!"
Noval sekarang begitu menakutkan. Dengan tangan bergetar ia meraih tangan kekar yang ada di depannya lalu mencengkeramnya kuat-kuat. Noval terdiam, netranya langsung melihat wajah Bila yang sudah penuh dengan peluh.
Kesadaran Bila pun hilang, dengan cepat Noval membawa Bila ke rumah sakit.
_
Nabila menyodorkan es krim yang ada di tangannya pada Tama. "Mau?"
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya pertanda tidak ingin. "Yaudah buat gue semua."
"Lo ngerasa ada yang beda engga dari Bila?" tanya Tama, Nabila langsung menoleh. Tidak ada yang berbeda dari sahabatnya, sifatnya masih sama. Ah, ia baru ingat perbedaan itu terlihat ketika Noval pindah sekolah. "Engga ada."
"Oh, syukur deh." Tama menghela napas lega.
"Lo balik ke sana lagi kapan?"
"Besok, gue cuma libur satu hari engga lebih."
_
Regan, Fatih dan Ikbal memutuskan untuk mendatangi hotel tempat kejadian itu terjadi. Sebenarnya hotel itu termasuk properti milik Ayahnya Raga hanya saja tidak ada yang mengetahuinya sekali managernya.
Mereka masuk ke dalam, Ikbal langsung bersuara. "Mbak, tolong cek cctv dong."
Wanita yang berada di depannya terdiam. Regan langsung menjitak kening Ikbal. "Engga gitu kali nanyanya."
Ikbal tersenyum kikuk, Fatih menepuk jidatnya. Otak sahabatnya memang harus di tukar tambah, untung juga dia dan Regan masih mau berteman dengan laki-laki itu.
"Mbak, maaf sebelumnya. Saya mau ketemu Bapak Amir apa bisa?" tanya Regan.
"Sudah ada janji sebelumnya, Dek?"
Mereka menggeleng kepalanya, Ikbal membisikkan sesuatu di telinga Fatih. "Lama banget, engga bisa langsung masuk."
"Engga lah, mereka juga punya privasi."
Regan mengambil ponsel yang berada di saku celananya, tangannya menari-nari di atas ponsel sebelum Regan bersuara. "Saya Regan anaknya Pak Raga."
"Baik, Dek. Silahkan masuk."
Ikbal menghela napas. "Apa harus pake nama bokap lo biar masuk ke dalam?" tanya Ikbal.
Regan mengangkat bahunya acuh. Mereka mengikuti wanita tadi mengarahkannya ke ruangan di dalam.
"Ada perlu apa, Dek?"
"Boleh cek cctv 6 bulan yang lalu tanggal 15, malam hari."
Laki-laki parubaya itu mengangguk. Mulai mencari tanggal yang tadi Regan ucapkan di komputer, mereka bertiga sibuk menatap layar yang berada di depannya.
"Untuk tanggal 15 engga ada, Dek."
Mereka saling menatap satu sama lain. "Lah kok kenapa bisa engga ada, Pak?"
"Tidak ada rekaman yang masuk, Dek."
Regan menghela napas. "Makasih, Pak."
_
"Janinnya sehat dan jenis kelaminnya perempuan. Saya sarankan jangan terlalu cape, apalagi banyak pikiran itu dapat mempengaruhi kesehatan janin."
Napasnya tercekat hebat, liurnya mendadak pahit setelah mendengar beberapa kata yang di ucapkan oleh dokter. Ketakutannya menjadi kenyataan sekarang, anak yang dia kandung berjenis kelamin perempuan membuat dirinya semakin takut untuk bertahan.
Pergerakan kecil sudah dia rasakan walaupun kadang-kadang. Perutnya juga mulai membentuk dengan sempurna, Tuhan mengapa kau takdirkan dia di rahimku? tanyaku dalam diam.
Noval yang berada di samping tampak tidak antusias dengan kabar tersebut, anak yang di kandung istrinya anak orang lain bukan benar-benar darah dagingnya sendiri. Anak hasil dari kecelakaan yang membuatnya terikat kembali dengan sosok perempuan di sampingnya.
Bila meremas kertas yang berisikan resep obat tersebut dengan kuat hingga buku jarinya memerah. Laki-laki itu meninggalkannya terlebih dahulu, ia tak tau di mana Noval sekarang berada.
"Terima kasih." Bila menerima obat seperti vitamin dan juga penguat janin. Ia memasukkannya ke dalam saku celananya, bergegas keluar mencari laki-laki bernama Noval yang tiba-tiba menghilang setelah pemeriksaan tadi.
Bila menghela napas gusar, Noval bahkan tak memperdulikan dirinya pulang dengan siapa nanti. Bila tau, Noval marah kepadanya. Ia tau, mungkin nanti ia akan jadi tameng saat laki-laki itu kesal dan juga marah.
Gadis itu sudah terbiasa dengan sifat dingin laki-laki itu sekarang, apalagi setelah menikah ia belum pernah merasakan Noval yang dulu begitu hangat kepadanya. Tidak seperti sekarang yang emosian dan juga tak jarang main tangan kepadanya.
Ponselnya berdering, satu pesan masuk dari Hanin—Bunda laki-laki yang kemarin sudah sah menjadi suaminya di mata hukum.
"Jangan sampai kecapean, ya, sayang. Nanti Bunda bicara sama Noval buat jaga kamu dan juga jangan lupa minum susunya."
Wanita parubaya itu bilang, ia harus rajin minum susu supaya anak yang di kandungannya sehat. Tapi, ia bahkan tak mempunyainya sejak ia di nyatakan hamil kurang empat bulan yang lalu.
Bila juga terang-terangan tidak menginginkan janin yang sedang ia kandung, ia bahkan tak berniat minum susu dan mengonsumsi makanan yang sehat. Apalagi dengan kondisi mentalnya yang seperti ini.
Ponsel di tangannya berdering, dengan cepat Bila meraihnya. Ternyata sebuah panggilan dari Noval.
"Hallo."
"Lo balik sendiri, gue ada urusan." Bila terdiam sejenak, panggilan telepon itu terputus secara langsung oleh Noval. Bila menghela napas, ia lupa membawa tasnya dan ia tak memiliki uang sepeserpun sekarang.
Ia tak tau bagaimana caranya pulang. Ia terpaksa menghubungi Regan supaya menjemputnya dan mengantarkannya pulang. Apalagi sekarang ia tidak menggunakan masker, kacamata maupun korset untuk menutup perutnya yang bulat.
Bila melihat sekeliling, lagi-lagi ia menggambil napas dalam-dalam. Berharap semua ini akan berakhir indah, namun ia juga sadar diri. Kalau dirinya tidak layak bahagia, ia hanya sebuah Bunga yang layu tidak bisa menjadi segar lagi. Ia hanya bisa memudar dari tangkal dan jatuh ke tanah itulah dia.
"Nih." Laki-laki itu sudah sampai, ia menyodorkan masker dan sebuah kacamata kepadanya. Bila menerimanya, cepat-cepat gadis itu memakainya sebelum pergi bersama dengan Regan.
"Gue engga beli korset." Bila menoleh, lalu menggelengkan kepalanya pertanda tidak perlu. "Engga apa-apa, yang penting masker sama kacamata sekarang."
"Lo kenapa di sini?" Bila terdiam, ia melihat ke bawah. "Biasa dia buat ulah." Bila
tersenyum tipis.Regan menghela napas, membuka pintu mobil dan menyuruh Bila masuk di ikuti olehnya.
Mereka berdua terdiam dalam mobil, Regan masih setia menyetir dengan hati-hati sesekali menoleh kearah Bila yang sedang sibuk mengamati jalan.
"Bil."
"Hm."
Regan menghela napas. "Tadi gue ke tempat itu, buat cari siapa yang tega ngelakuin itu."
"Terus?"
"Gue coba cek cctv di sana tapi rekaman saat kejadian itu engga terdeteksi. Gue engga tau kenapa itu bisa terjadi, gue bahkan suruh petugasnya cek beberapa kali hasilnya nihil."
Bila menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bila Dan Lukanya (Selesai)
Novela JuvenilWarning : 17+ Selesai Ada beberapa adegan kekerasan! _ Follow sebelum membaca. Jangan lupa tinggalkan vote. _ Abila harus menelan pil pahit ketika kejadian beberapa bulan menimpanya, ia hamil. Semua orang menghilang kekasihnya, Ayahnya dan dunia...