Apartemen (revisi)

190 10 0
                                    

"Apa yang begitu menyakitkan selain hati yang terluka?"

.Bila.

.

.

"Saya terima nikah dan kawinnya Abila Jihana binti Riksi Hamid dengan maskawin tersebut tunai."

"Bagaimana saksi, Sah?"

"Sah."

Satu persatu air matanya menetes,  Bila mencoba menyerka pelan air mata yang ada di pipinya. Suara laki-laki itu begitu jelas masuk ke dalam telinganya. Ya, Noval berhasil mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan. Saat ini, detik ini, ia sudah resmi menjadi istri dari Noval di usia yang sangat muda yaitu 16 tahun.

Menikah karena kasihan, itu saja.

Noval merubah posisinya, sekarang ia menghadap kearah Bila. Tangannya ia ulurkan, dengan gemetar Bila menjabat tangan kekar itu. Dingin, sedingin wajahnya. Noval tidak tersenyum sama sekali, tersenyum tipis juga tidak.

Mungkin laki-laki itu tidak Sudi untuk tersenyum kearahnya, berkali-kali ia membuang wajahnya ke lain arah.

Tidak ada yang istimewa dari pernikahan ini, hanya di saksikan 15 orang tidak ada sahabat baik maupun saudara jauh. Bila meraih tangan Ayahnya, akan tetapi laki-laki parubaya itu terdiam bahkan terus membuang muka seperti Noval. Bila menahan tangisnya, ia tersenyum kecil menatap wajah Riksi begitu lama.

"Maaf," ucap Bila pelan.

Ayahnya hanya diam tidak menjawab permintaan maafnya.

Setelah semuanya selesai, Bima langsung bertanya pada Noval. "Kalian mau tinggal di mana?"

"Apartemen."

Hanin menoleh, menatap anaknya dengan tatapan bingung. "Di rumah aja sama Bunda, Val. Bila lagi hamil loh."

Noval tetap menggelengkan kepalanya, keputusannya sudah bulat. Ia tak mau pernikahannya dengan Bila hanya membuat orang tua sakit hati. Noval memutuskan tinggal di apartemen jauh dari siapapun.

"Di apartemen aja, Bun. Kita mau belajar hidup mandiri."

"Yasudah."

Sesampainya di Apartemen, Bila menarik dua koper yang dia bawa ke dalam. Matanya melihat sekeliling tampak sama tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya saja foto yang menempel di sudut ruangan kini tidak ada, mungkin laki-laki itu enggan melihat masa lalunya kembali.

"Lo tidur di kamar, gue di sofa." Dengan cepat, Bila menggelengkan kepalanya. Bila tau di apartemen ini hanya ada dua kamar, yang  satu yang di pakai satu lagi gudang dan saat ini harus ada yang mengalah.

"Bila di sofa," ucap Bila.

"Oke." Noval mengangguk, meninggalkannya seorang diri di sini. Bila menghela napas, duduk sejenak sebelum membuka kopernya untuk mengambil pakaian ganti. Ia memilih membersihkan diri di kamar mandi yang berada di dapur, Bila tak berani masuk ke kamar laki-laki itu jika Noval ada di sana. Ia bernapas lega saat, korset yang melekat di perutnya kini sudah tidak ada.

Setelah selesai, ia duduk di sofa yang akan menjadi tempat ia tidur untuk selama-lamanya. Tangannya memijat punggung yang sedikit sakit.  Beberapa kali mulutnya mengeluarkan ringisan, Bila memutuskan untuk merebahkan tubuhnya dengan posisi miring ke kanan menghadap tv. Ia menyimpan bantal sofa di punggungnya dan satu lagi di depan perut buncitnya. Ia memulai menutup matanya berharap sakit di pinggangnya menghilang.

_

Keesokan harinya, ia terbangun dengan keadaan yang sama seperti semalam tanpa selimut. Bila tersenyum pilu tidak mungkin laki-laki yang berstatus suaminya itu menyelimutinya semalam itu mustahil.

Bila beranjak setelah membereskan sofa dan juga batal yang ia pakai semalam. Ia bergegas ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi lalu menyiapkan sarapan untuk Noval.

Noval yang siap dengan pakaian sekolahnya bergegas keluar kamar.   Ia terdiam saat Bila tersenyum manis di meja makan. Noval melihat gerak-gerik gadis itu lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata dan pergi tanpa memakan sarapan yang Bila buat susah payah.

Bila menatap nanar punggung Noval yang sudah menjauh. Ia menundukkan kepalanya, tersenyum kecil saat melihat nasi goreng yang berada di meja. Bila membuatnya dengan susah payah tapi laki-laki itu tidak menghargai usahanya sedikitpun.

Dulu, Noval selalu menyuruhnya membuatkan nasi goreng tapi sekarang laki-laki itu malah enggan untuk memakan sebutir nasi goreng yang ia buat.

Bila menghela napas saat melihat kamar satu lagi yang di pakai gudang. Barang-barang di gudang tidak banyak dan masih bisa di pakai lagi, Bila memutus membersihkannya. Tidur di sofa semalaman begitu menyiksanya, ia membawa sapu dan lap pel.

Untung saja ada ranjang yang bisa ia pakai nantinya.

_

Nabila mempercepat langkah kakinya setelah menerima telepon dari Tama. Laki-laki itu tiba-tiba pulang begitu saja, Nabila kira Tama akan pulang satu atau dua bulan lagi seperti katanya kemarin. Tapi sekarang, Nabila ingin sekali memukulnya dengan keras.

Tama tersenyum saat melihat Nabila berjalan kearahnya, ia melihat ke belakang. Senyumannya mendadak lenyap begitu saja saat tidak mendapatkan seseorang yang sangat ia tunggu.

"Sialan, katanya lo pulang nanti!" teriak Nabila sembari memukul lengan Tama.

Tama hanya tersenyum tipis. "Kejutan."

"Engga lucu."

"Engga sama Bila?" tanya Tama.

Nabila terdiam, sepertinya Bila tidak memberitahu Tama jika ia sudah pindah dari sini. "Lo engga tau Bila udah pindah beberapa hari lalu ke Surabaya."

Tama tampak terkejut, ia tampak tidak percaya. "Pindah? pantesan gue ke rumahnya engga ada yang nyaut ternyata dia pindah."

"Lo tau alamat dia di Surabaya?"

Nabila menggelengkan kepalanya. "Gue engga tau."

Tama mengangguk, Nabila mengeluarkan ponsel yang berada di saku celananya. Mengirim pesan untuk Bila, mengatakan kalau sahabatnya telah kembali.

Bila hanya membalasnya dengan sebuah emoticon menangis. Nabila melampirkan foto berdua dengan Tama dan mengirimkannya pada Bila.

Beberapa menit ia menunggu, masih tidak ada balasan. Nabila langsung mematikan ponselnya, ia membalikkan tubuhnya saat suara laki-laki itu memanggil.

"Na, gimana di bales?"

Nabila mengangguk kepalanya. "Cuma emoticon."

_

Bila membuka masker dan topi yang ia pakai keluar membeli bahan makanan dan juga keperluan dirinya. Dua benda yang menjadi kebutuhannya sekarang, ia tak mau orang lain mengenalinya dengan keadaan seperti ini.

Bila menatap nanar foto yang sahabatnya kirim, Nabila bertanya kapan ia akan kembali ke Jakarta.  Gadis itu hanya tersenyum kecil, nyatanya ia tak pernah meninggalkan Jakarta sedikit pun. Ia hanya sedang menjauh dari semua orang terutama Nabila—sahabatnya.

Perutnya tiba-tiba sakit, ia segera mematikan ponselnya. Bergegas membereskan barang-barang yang ia beli lalu masuk ke kamar mandi.

Noval yang baru saja tiba tampak melihat sekeliling.  Apartemennya sangat sepi, ia mengangkat bahunya acuh mencoba untuk mengabaikan Bila dari sekarang dan seterusnya. Ia berjalan menuju kamar mengganti pakaian sekolahnya.

Di tempat lain, Bila mengusap perutnya yang masih sakit. Seperti akan menstruasi tapi dua kali lebih menyakitkan. Ia pikir ingin buang air besar tapi nyatanya tidak. Ia memutuskan untuk berjalan ke ruang tamu bersamaan dengan Noval yang keluar kamar mengambil sebotol air putih lalu kembali lagi menuju kamar. Tangan Bila masih setia mengusap perutnya berharap sakitnya menghilang tapi bukannya  mereda sakit di dalam perutnya bertambah. Ia meringis dalam diam, perutnya tiba-tiba linu luar biasa. Peluh bercucuran di keningnya, ia tak berani meminta tolong pada Noval.

Bila mengambil napas dalam-dalam beberapa kali. "Udah dong," ucapnya sambil meringis menahan sakit.

Bila Dan Lukanya (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang