39

9.6K 868 55
                                    

Tanpa menunggu hari lain, sore itu Jeffrey langsung membawa Kiya untuk kembali kontrol ke dokter kandungan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tanpa menunggu hari lain, sore itu Jeffrey langsung membawa Kiya untuk kembali kontrol ke dokter kandungan. Tak jauh berbeda dengan konsultasi terakhir mereka, dokter itu menjabarkan bahwa gejala yang Kiya alami lumrah terjadi pada trimester awal, namun dokter juga menambahkan mengenai kondisi mental Kiya.

Perubahan hormonal dan fisik tak jarang membuat ibu hamil menjadi lebih emosional bahkan stress. Hal itu bisa menjadi serius jika terus berlanjut, sebab kesehatan mental ibu hamil juga tak kalah pentingnya dengan kesehatan fisik. Maka dari itu, Jeffrey dimintai untuk lebih memperhatikan Kiya.

Dan dokter akan terus memantau kondisi Kiya hingga dua pekan ke depan. Jika sang ibu merasa stress, maka itu juga mempengaruhi kondisi janin hingga melemah, bahkan bisa sampai keguguran.

Nauzubillah min dzalik. Kiya menggeleng kala mengingat ucapan dokter beberapa saat lalu, berusaha menyingkirkan pikirannya yang terlalu jauh itu.

Ia mengelus lembut perutnya. "Maaf ya," decit Kiya. Tak bisa di jelaskan seberapa besar rasa bersalah yang menyelubunginya. Mungkin Jeffrey merasa heran dengan sikapnya, namun, jangankan Jeffrey, Kiya pun tak mengerti dengan dirinya sendiri.

Tadinya perasaan Kiya tak karuan, rasa marah menggebu-gebu di dalam dadanya, pikirannya terus melesat jauh. Namun, setelah Jeffrey menenangkannya tadi, Kiya merasa jauh lebih tenang, bahkan kini ia bisa berpikir jernih.

"Ya Allah, Mas cariin kemana-mana ternyata disini," cetus Jeffrey dengan tiba-tiba seraya melangkah memasuki kamar. Ia menghampiri Kiya yang duduk menyandar pada kaki ranjang, lalu berjongkok di hadapan wanita itu.

"Baru mau sholat isya'? atau udah selesai?" tanya Jeffrey, istrinya itu masih mengenakan mukena, dan sajadah pun masih menghampar di dekatnya.

"Udah selesai," jawab Kiya, memunculkan senyum lebar Jeffrey.

"Udah boleh dicium berarti?" Kiya tersenyum lalu mengangguk.

Jeffrey mengecup kening, lalu pipi dan terakhir bibir Kiya sekilas. Setelahnya Jeffrey kembali memandang Kiya, tangan sebelahnya ia letakkan di sisi wajah istrinya.

"Cantiknya.. istri siapa sih ini, hm?" godanya. Paras Kiya sungguh menenangkan dan menyenangkan untuk di pandang. Meski terlihat pucat, itu sama sekali tidak menyurutkan betapa cantiknya ia.

Kiya hanya menepuk pelan dadanya. "Lagi pengen sesuatu?" tanya Jeffrey.

"Pengen tidur aja Kiya, Mas." Jeffrey terkekeh, tangannya bergerak pelan membuka mukena Kiya.

"Coba makan lagi, ya? Beberapa suap aja, biar badannya nggak lemes." Kiya mengangguk ragu, sebab tau apa yang ia makan akan selalu berakhir di muntahkannya.

"Biar Mas masakin, Dek Kiya mau mam apa, sayang?"

Hening sejenak. "Baru di bayangin aja, Kiya udah mual, Mas," jawab Kiya.

LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang