22

14.5K 1.7K 176
                                    

Baju pengantin berwarna putih gading sudah membalut tubuh Kiya dengan sempurna, riasan wajah sudah terpoles dengan cantik, tudung pun sudah terpakai dengan apik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baju pengantin berwarna putih gading sudah membalut tubuh Kiya dengan sempurna, riasan wajah sudah terpoles dengan cantik, tudung pun sudah terpakai dengan apik. Beberapa orang terus memuji kecantikan Kiya, decakan kagum juga terus menyapa telinga. Bukannya merasa senang akan pujian itu, Kiya justru sedang menahan tangis, bagaimana tidak? Bude benar-benar bertindak semaunya.

"Ayo cepet, tamu-tamu udah pada dateng," ujar Bude, seraya menyuruh Kiya untuk berdiri, tetapi Kiya tetap enggan. Ia memegang ponselnya dengan erat, mencoba menghubungi Jeffrey kesekian kali.

"Saya perlu izin Mas Jeffrey, Bude. Saya gak bisa pergi kayak begini tanpa izin dari Mas Jeffrey," ucap Kiya dengan kekeuh.

Awalnya Kiya tak menaruh rasa curiga pada Bude, ia benar-benar bertindak patuh seolah tak marah akan keputusan tanpa diskusi ini. Hingga Bude meminta perias pengantin untuk tidak memakaikannya cadar, Kiya mulai berani membuka suara.

Sayangnya, Bude Sari dengan perangai keras yang dikenal tak mau kalah dan disalah itu, tetap berdiri kokoh diatas kemauanya. Kiya perlahan mengalah, dengan syarat atas izin Jeffrey. Jeffrey yang lebih memegang hak atas Kiya, Jeffrey yang lebih pantas mengatur Kiya, maka dari itu Kiya tak akan bergerak jika Jeffrey belum bersua.

Bude berdecak, "Azkiya, saya ini jauh lebih tua daripada kamu, saya jauh lebih tau dan paham daripada kamu. Apa wajah itu aurat sampai kamu bantah saya kayak begini?" cetus Bude dengan tajam.

"Kiya tau, Bude. Tapi Kiya harus kasi tau Mas Jeffrey dulu." balas Kiya, air mata sudah menggenang dan siap jatuh dari pelupuk matanya.

"Wajahmu itu bukan aurat! Selagi itu gak menyimpang, Jeffrey pasti izinin. Kamu bercadar itu untuk apa? Berlebih-lebihan dalam beragama itu juga gak boleh, Azkiya." ucap Bude tak mau kalah.

"Bercadar juga gunanya untuk apa, kalo perangai kamu masih berani ngelawan orang tua?" sambung Bude Sari.

Kiya hanya diam, sebelah tangannya meremat kuat sisi gaun yang dipakainya, berusaha menahan tangis agar tak tumpah tanpa seizinnya. Ia menunduk, tak mampu menatap pandangan orang-orang sekitar yang menatapnya dengan tatapan sulit terbaca.

"Ayo...tamu-tamu ini sudah pada dateng, jangan buat malu keluarga. Kamu gak ngeluarin biaya, gak ngeluarin tenaga, masih aja berani ngebantah saya? Itu namanya gak tau diri, Azkiya," ucap Bude Sari, selepasnya ia segera melenggang pergi. Bude Sarah dan Bude Sani menggamit tangan Kiya dengan segera, mengajak gadis itu melangkah dan segera menuju gedung walimah.






Langkah demi langkah Kiya ambil dengan ragu, pijak sepatu pada karpet merah yang menghampar tengah memenuhi atensinya dengan gamang, Kiya tak berani mengangkat wajah, Kiya tak nyaman dengan berbagai pandangan yang tengah tertuju penuh padanya.

"Senyum, Kak." Bude Sani yang mengamit tangan kirinya menegur, membuat Kiya memaksa untuk sekedar memasang senyum kecil.

"Jangan nunduk, wajahmu itu cantik," tegur Bude Sarah dari sisi sebelah kanan. Kiya memejam matanya sejenak, lalu perlahan mengangkat wajah.

LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang