31

15.2K 1.6K 184
                                    

jangan lupa vote dan komennya yaaaa!<33

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jangan lupa vote dan komennya yaaaa!<33





"Kamu hamil, sayang...Mas bakal jadi Ayah.” 

Saat itu Jeffrey berdesis haru tepat disamping telinganya, tak lupa memberikan kecupan lembut di keningnya pula.Dengan manik yang berkaca, sang lelaki menubruk netranya yang tampak tak percaya, lantas lelaki mengangguk dan tersenyum meyakinkan dirinya.

Kiya mengingat jelas,  senyum teduh Jeffrey kala itu seolah bertutur bahwa ia tengah dirundung bahagia luar biasa.

Namun, bisa dikatakan kebahagian Jeffrey hanya sepihak, sebab Kiya tenggelam dengan kegusarannya sendiri. Bukan tak bahagia, hanya saja ada sesuatu yang menyela hatinya untuk ikut merasa bahagia.

Pijar lampu kala itu kalah telak terangnya dengan layar televisi, sebab lingkupnya remang guna menenangkan. Duduk berdiam diri, membiarkan televisi meratapinya bak orang bodoh lantaran ia yang tak henti bergemul dengan pikirannya sendiri.

Bodohnya ia, mencari celah-celah tak berguna hingga mengacau pikirannya. Antara ia yang masih tak siap dan juga cemas dengan situasi baru yang akan ia hadapi kelak.

Bersamaan dengan napasnya yang melenggang gusar, ruang yang semula temaram berubah benderang, bersamaan dengan itu pula suara Jeffrey mengudara menyapanya, "Kenapa gelap-gelapan? Lagi donor darah ke nyamuk apa gimana?" Lelaki dengan jubah putih itu berkacak pinggang memperhatikan Kiya.

Kiya lantas menoleh, "Iya, waalaikumsalam," balas Kiya, lelaki itu beranjak mendekat, lalu mengecup singkat pipi Kiya dari belakang sofa.

"Assalamualaikum, sayang..." sapanya setelah mendaratkan kecupan di pipi sang wanita. Wanita itu tersenyum tipis, "waalaikumsalam."

Jeffrey mengusak puncak kepala Kiya dengan gemas, "Ayo, makan!" ajaknya sembari mengangkat kantong hitam di tangannya, lalu melangkah menuju ruang makan dengan antusias.

Kiya hanya bisa tersenyum geli seraya menatap punggung Jeffrey yang menjauh dibawa langkah besarnya. Kentara bahwa rasa laparnya sangat membuncah parah.

Bagaimana tidak lapar, Jeffrey belum menyentuh nasi sedikitpun. Kepulangan  Kiya dari klinik tadi hampir menginjak petang, ditambah jalanan macet pula, hingga Jeffrey terpaksa berbuka dengan sebotol air putih di tengah kepadatan kota.

Tak sempat singgah untuk sekedar membeli makanan lantaran khawatir apabila maghrib tak dapat tertunai di waktu tepatnya. Jeffrey yang berubah protektif pada Kiya, melarang wanita itu untuk memasak, sekalipun hanya memasak nasi, Jeffrey tak memperbolehkan. Sangat berlebihan memang.

Ingin dirinya yang menjelajah dapur sepertinya juga tak bisa. Rentang masa maghrib ke isya' terlalu berdekatan, membuatnya meredam rasa laparnya lebih dulu dengan beberapa potong bolu pemberian tetangganya, lalu segera berangkat menuju masjid.

"Mas sampe gemeteran saking lapernya," cetus Jeffrey saat membuka nasi bungkus miliknya, lalu menarik kursi dan segera duduk di tempatnya.

"Itu punya kamu, ayo makan!" Jeffrey menunjuk sebungkus nasi lain dengan dagunya. "Kiya nggak makan lagi, Mas, udah kenyang," ucap Kiya sembari menarik kursi dan ikut duduk di hadapan Jeffrey.

LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang