41

8.2K 796 40
                                    

jangan lupa tinggalin vote dan komentarnya yaaa!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jangan lupa tinggalin vote dan komentarnya yaaa!



Dengan berkata demikian, seolah Allah
menyimpulkan bahwa dua insan itu siap mengikhlaskan.

Kurang lebih pukul tiga dini hari, bukan mual dan muntah lagi yang kini membangunkan lelapnya. Sama seperti beberapa hari terakhir, rasa sakit di perutnya yang berhasil menyadarkankan ia dari tidurnya.

Namun, kali ini sakitnya tak seperti biasa, rasanya perut ia tengah remas, sangat sakit, sepuluh kali lipat rasa sakitnya.

Kiya hanya bisa merintih, ia menggenggam erat sisi baju Jeffrey. Ia tak mampu lagi untuk bicara, seperti tidak ada lagi daya yang mampu ia kerahkan. Namun, dengan cengkraman yang kian lemah dari Kiya tetap mampu menggerakkan Jeffrey dari tidurnya.

Lelaki itu hampir tak dapat lagi berkata-kata sesaat setelah ia membuka mata. Kiya memejam erat dengan peluh yang penuh di pelipisnya.

"Sayang?" Jeffrey terdiam beberapa saat, otaknya belum mampu mencerna apa yang tengah terjadi.

Jeffrey segera bangkit, tanpa sengaja ikut menyibak selimut yang semula menutup setengah badan Kiya. "Ya Allah." Jeffrey semakin kalut, ketika melihat bagian bawah Kiya yang tampak basah serta di penuhi darah.

"Dek Kiya, Mas bantu bersihin ini, terus kita ke rumah sakit ya." Jeffrey segera bergegas menggendong Kiya. Wanita itu tampak hanya bisa pasrah, meski cukup memalukan tatkala Jeffrey membantu ia membersihkan bekas-bekas darah dan juga mengganti pakaiannya, namun ia lebih memikirkan sakit yang ia rasa ketimbang hal-hal lain untuk kali ini. Bahkan dengan rasa sakitnya, Kiya merasa di ambang kematian.

Jeffrey mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, sesekali menoleh memastikan Kiya yang hanya bisa tersandar disisi jendela. "Sayang, usahain tetep sadar ya." Suara Jeffrey terdengar jauh bagi Kiya, meski begitu ia terus berusaha melawan untuk terus tetap berada di kesadarannya.

Rasa sakit itu berselang, tiap dua menit Kiya merasa rasa sakit yang hebat lalu perlahan sedikit mereda lalu berulang lagi.

Pada akhirnya Kiya menyerah juga. Selain kontraksi hebat yang ia rasakan di tambah banyaknya darah yang keluar, Kiya merasa sudah kehabisan tenaga, badannya terasa lemas, kepalanya juga sangat pusing, perlahan semua mulai buram.





Jeffrey hanya dapat duduk di Selasar koridor rumah sakit, ia bahkan tahu jawabannya bahkan sebelum dokter berbicara. Nyatanya, kelapangan hati yang selalu ia pinta tak serta merta membuatnya mampu menghadapi apapun, kehilangan selalu tak luput dari kesedihan. Belum lagi, ia merasa sangat bersalah, ia tak dapat menjaga Kiya bahkan calon buah hati mereka dengan baik. Ia gagal menjadi suami sekaligus menjadi ayah.

"Nggak ada yang ngelarang kamu untuk nangis kok, Jeff." Punggungnya ditepuk oleh Ayah, lalu perlahan berubah menjadi elusan lembut dari Ayah yang ikut duduk di sampingnya.

LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang