Part 10

2.8K 76 0
                                    

💎 H a p p y  R e a d i n g 💎
*
*
*
*
*

Mutiara tersenyum, tidak bukan tersenyum bahagia, namun tersenyum untuk menutupi lukanya, ia tak ingin mendengar kabar tentang Alfian, namun ada aja perantara yang membuat ia tau kabar Alfian.

Seperti saat ini contohnya, ia sedang di toilet kampus, tak sengaja mendengar beberapa mahasiswi di depan toilet sedang membicarakan Alfian yang Mutiara duga mereka mahasiswi Alfian.

"Katanya sih Pak Alfian mau nikah dua minggu lagi."

"Gak ada harapan lagi buat kita bisa ngegapai Pak Alfian."

"Ceweknya alim gaes, seorang Ning dari surabaya, kuliah dijakarta juga, tapi bukan di kampus sini, apalagi mereka satu tempat, katanya yang cewek ustadzah di pondok milik orang tuanya Pak Alfian."

"Gue gak munafik ya, jujur gue iri aja sama itu cewek, dalam dua minggu lagi dia bisa milikin Pak Alfian seutuhnya."

Begitulah kira-kira yang didengar Mutiara, mustahil jika tidak sakit.

Mutiara menarik nafasnya, dan menghembuskan secara perlahan, "Iya aku bakal lupain kamu, toh kamu juga gak kenal aku," ucapnya tertawa hambar sebelum keluar dari toilet.

***

Alfian menatap sawah, dia tidak sedang mengajar dikampus maupun di pondok pesantrennya, tapi di sebuah pedesaan, dimana ia memiliki tanah yang luas di desa tersebut.

Alfian menatap para petani yang sedang mengurus sawahnya, cukup lebar, ia duduk di sebuah pendopo dengan tatapan kosong.

Dua minggu lagi, dirinya akan melangsungkan akadnya, ia akan menikahi seorang gadis yang sama sekali tak ia cintai. Alfian bingung pada perasaannya, disaat kebanyakan lelaki diluar sana akan bahagia saat menyambut hari pernikahannya, tapi tidak berlaku bagi Alfian. Jika boleh menangis, ia ingin menangis, dan benar matanya kini memerah, sedang menahan sesuatu yang bergemuruh dihatinya.

"Ya Allah.... " lirihnya.

"Gus?" sapa seorang pak tani yang duduk di sebelah Alfian.

"Astagfirullah, iya pak? Kenapa?" tanya Alfian kaget.

"Maaf saya sudah mengkagetkan."

"Tidak pak, ada apa ya pak?" tanya Alfian.

"Begini, padi yang disebelah sana kekurangan pupuk, sedangkan persediaan pupuk digudang sudah habis," tuturnya.

"Ooh astagfirullah saya lupa lagi," ucap Alfian tertawa kecil, "Iya saya lupa membeli pupuk, secepatnya saya akan beli pupuknya pak."

"Iya Gus, alhamdulillah ya gus semua tanaman sehat."

"Iya pak alhamdulillah, ini berkat bapak dan yang lainnya juga, saya sangat berterimakasih sama bapak dan para petani lainnya yang mau membantu saya."

"Tidak Gus, harusnya kami yang berterimakasih, berkat Gus Alfian kami jadi tidak pengangguran, dan setiap harinya memiliki pekerjaan."

"Bukan saya pak, tapi Allah yang memberi rezeki buat kita semua."

"Iya Gus."

"Pak?" panggil Alfian.

"Iya Gus?"

"Boleh saya bertanya?"

"Boleh gus."

"Maaf kalau saya agak lancang."

"Tentang apa ya, Gus?" tanya bapak tersebut yang umurnya kisaran lima puluh tahunan.

Dia DoakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang