Part 18

2.8K 70 0
                                    

Happy Reading
*
*
*
*
*

"Pak Kyai, nyuwun ngapunten, maaf," Mutiara menyatukan kedua tangannya meminta maaf, pada Abi, dan juga Umi, namun saat pandangannya menatap di sudut sofa, ada Alfian, detik itu juga badannya seperti ada sengatan listrik.

Mutiara segera duduk, malunya bukan main. Sedangkan Abi dan Umi hanya menahan senyum, begitupun dengan Alfian yang memalingkan wajahnya, menahan senyumnya yang bercampur dengan grogi.

Bunda memukul pelan lengan Mutiara, ikut malu dengan apa yang putrinya lakukan.

Abi dan Umi tersenyum menatap Ayah dan Bunda, seperti memberi kode untuk menjelaskan pada putri mereka terkait kedatangan mereka kesini.

"Kak," panggil Ayah lagi, Mutiara yang memainkan jari jemarinya pun menatap Ayah.

"Kenapa, Yah?"

"Kakak tau maksud kedatangan Pak Kyai dan Buk Nyai ini kesini?"

Mutiara menggeleng pelan, memang tak mengerti.

Abi tersenyum, "Begini Nak, kedatangan kami kesini untuk mengkhitbah nak Mutiara."

Bagai disengat listri, lagi-lagi Mutiara terkejut.

Apa? Mengkhitbah? Bukannya Alfian sudah menikah, dan iya tau Pak Kyai punya dua anak cowok, Alfian dan Yusuf, tapi? harus Mutiara menikah dengan adik dari crushnya itu?.

"Ma-maksudnya?" tanya Mutiara.

"Anak pertama kami, Alfian ingin mengkhitbah nak Mutiara, bagaimana?" tanya Umi.

Haah? Ini begimane ceritanya? Jadi istri kedua gitu? Mutiara emang suka sama Alfian, tapi tidak untuk jadi istri keduanya.

Mutiara menatap Ayah Bundanya itu, meminta saran lewat batin, Ayah dan Bunda tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Mutiara makin panik, ia menatap Alfian ngeri.

"Satu gak cukup kah?" batin Mutiara.

"Iya situ emang ganteng, tapi ya jangan rakus dong."

"Bagaimana nak?" tanya Abi memastikan, sedangkan diujung sofa, Alfian hanya bisa menunduk, namun dalam hatinya ia berdzikir, agar diberikan jalan terbaik untuknya.

"Ma-maaf, kalau saya minta waktu boleh?" tanya Mutiara dengan hati-hari.

Umi kembali tersenyum dengan ucapan Mutiara, tidak ada rasa khawatir yang melintas dihatinya, ia yakin, sesuatu yang Allah ridhoi, pasti akan berjalan dengan lancar.

"Boleh, lebih baik malah kalau nak Mutiara tidak mengambil keputusan secara tergesa-gesa."

Mutiara tersenyun kikuk, jadi tidak enak pada Alfian sekeluarga, namun ia juga tidak mau jadi yang kedua.

"Ya Allah berikanlah yang terbaik. Semoga dia menjawab sesuai yang hamba mau Ya Allah," Alfian membatin, hatinya sangat tidak tenang. Tidak ditolak, namun juga tidak diterima, membuat Alfian makin tidak karuan.

***

"Iya."

Mutiara menganggukan kepalanya menatap bumil didepannya, Salsa.

"Kenapa gak langsung kamu terima?"

Mutiara menceritakan semua yang ia rasakan, Salsa pun tertawa dibuatnya. Untung kelas lumayan sepi, karena masih pagi, jadi Salsa bebas tertawa dengan lepas.

"Kok ketawa?"

"Maaf, maaf. Aku lupa ngasih tau ke kamu, soalnya aku udah janji gak mau ngebahas dia. Tapi untuk ini pengen aku ingkari, karena ini memang penting, tapi lupa. Jadi bilang sekarang aja."

Dia DoakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang