Selamat Membaca
*
*
*
*
*D
Di sore yang cerah, Mutiara dan Akmal menghabiskan waktu di balkon, sambil melihat pemandangan senja yang sangat cantik.
"Nak, nanti Akmal kalo sudah besar mau jadi apa?" tanya Mutiara pada anaknya yang hanya masih bayi itu.
"Kalau umma dulu pengen jadi istrinya Om Jihoon, tapi saat umma liat abbamu, umma langsung jatuh hati sama abbamu itu, umma berdoa agar Allah menyatukan kami, dan doa umma terkabul, dan sekarang hadirlah kamu nak."
Prankk
Mutiara kaget, saat ia sedang asik bermain bersama sang anak, ia mendengar suara benda jatuh sangat keras, seperti ada yang sengaja melempar begitu.
Mutiara sambil menggendong Akmal, ia keliar dari kamarnya, ia bisa melihat di ruang tengah lantai utama sedang terjadi keributan.
"Bu, sudah" ucap Umi yang berusaha menenangkan sang mertua itu.
"Kenapa kalian begitu menentang ibu? Apa karena perempuan itu? Perempuan yang baru saja kalian kenal, kalian sudah berani menentang ibu," ucap nenek dengan nada marahnya.
Mutiara berdiam diri di depan tangga lantai satu, tidak berani mendekat.
"Alfian! Kamu apa susahnya menikahi Aisyah hah? Kamu takut sama dia?" tunjuk nenek pada Mutiara.
Nenek mendekat pada Mutiara, ia menatap tajam pada Mutiara, "Kamu apakan cucu saya? Kamu apakan anak dan cucu saya? Sampai mereka kini berani melawan saya."
"Nek, maksud nenek?"
Plaaak
Satu tamparan mendarat mulus di pipi kanan Mutiara, Akmal yang sedari tadi anteng di gendongan Mutiara pun menangis dengan keras, seolah ia mengerti perasaan ummanya.
"Nek!" Alfian melindungi istrinya dari amukan sang nenek itu.
"Ijinkan cucu saya menikah lagi, atau saya akan suruh cucu saya menceraikan kamu!"
Mutiara berusaha tetap tegar, ia menahan dirinya agar tidak menangis, namun ia lebih khawatir pada anaknya yang kini menangis dengan keras.
Mutiara membawa sang anak naik ke dalam kamar.
"Umma gak papa nak, Akmal gak boleh khawatirin umma ya."
"Sayang," Alfian menutup bahkan mengunci kamarnya, tak ingin ada yang mengganggu keluarga kecilnya itu.
Alfian menarik Mutiara dan Akmal kedalam pelukannya, Akmal yang sedari tadi menangis kini pun diam, seolah merasakan kehangatan dari orang tuanya.
"Maafin Mas, Mas sudah menjadi suami yang tidak bisa melindungi istri mas sendiri."
Alfian menangis, ia sangat teriris hatinya saat melihat sang istri ditampar oleh sang nenek.
Mutiara tidak bisa berucap apapun, ia hanya diam dalam pelukan sang suami.
****
Pagi hari setelah sarapan, Umi, Hindun dan dua santri yang sering membantu umi memasak di dapur kini ada di kamar Alfian, mereka membantu Mutiara mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa kerumah baru mereka.
Alfian sudah memutuskan untuk tinggal diluar ndalem, meski sang istri sempat menolak, namun kali ini Alfian tidak lagi mendengarkan ucapan sang istri, ia ingin istrinya bahagia.
"Naak, nanti disana hati-hati ya, kalian cuman bertiga, umi sebenarnya gak tega ngelepas kalian apalagi anak kalian masih bayi."
"Gak papa umi," ucap Mutiara yang duduk di sofa kamarnya bersama sang mertua yang sedang menggendong Akmal.
"Nanti umi bakal sering-sering kesana jenguk kalian sama cucu umi."
"Ning, yang mana lagi yang mau dibawa?" tanya salah satu santriwati.
"Oh sudah itu aja cukup."
"Sayang, sudah?" tanya Alfian yang baru saja masuk ke kamarnya.
"Iya mas, sudah."
Alfian kini mengambil beberapa koper itu dan dibawa kebawah, juga dibantu oleh hindun dan santriwati.
Setelah semua barang dimasukkan ke dalam mobil, barulah kini mereka meninggalkan wilayah pesantren tersebut tanpa adanya nenek, karena nenek sedang bersama Ustadzah Aisyah.
***
Di balkon kamar, dirumah barunya, adalah tempat terfavorit bagi Mutiara, karena disana ia bisa melihat senja yang indah.
Mutiara yang hampir tidak menyentuh buku hariannya, kini ia kembali membuka buku yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama itu.
Sambil menikmati keindahan senja, ia menuliskan apa saja yang membuat dirinya kini merasa lebih tenang setelah menulisnya.
"Sayang, hp aku mana?" tanya Alfian yang sudah selesai bersiap-siap untuk hadir di acara pesantren milik orang tuanya.
Mutiara segera masuk ke kamarnya, dan ia memberikan ponsel suaminya yang ia simpan di meja rias.
"Ini mas, makanya dicari."
Mutiara yang hendak kembali ke balkon kamarnya langsung ditarik kembali oleh Alfian, Alfian memeluk sang istri dengan erat itu.
"Maafin Mas, sayang."
Mutiara diam, ia tidak tahu harus berkata apa, pasalnya ia masih sakit jika mengingat ucapan nenek Alfian hingga menamparnya.
Perlahan, air mata Alfian pun turun tanpa dirasa, mengenai hijab yang Mutiara kenakan, Mutiara mendongak, melihat sang suami yang menangis.
"Mas kok nangis?" Mutiara melonggarkan pelukannya.
"Mas gak bisa bikin kamu bahagia, maafin Mas."
Mutiara menggelengkan kepalanya, "Kata siapa aku gak bahagia, aku cukup bahagia dengan punya kamu, punya Akmal, dan Eliza yang sudah tenang disana."
"Jangan tinggalin Mas."
"Ngapain ninggalin kamu, susah-susah dapetin kamu, udah dapet malah mau ditinggalin."
Alfian yang tadi menangis, kini ia tersenyum, bahkan ia mencubit kedua pipi istrinya saking gemasnya.
"Kenapa gak ngomong dari awal, mas aku suka kamu, kalo tahu dari awal kan mas langsung lamar kamu."
"Harga diri dong bang."
"Iya kah? Kalo sekarang?"
"Kan udah halal, banting harga."
"Kamu bisa aja, yaudah mas berangkat dulu ke pensantren, kamu jaga diri baik-baik ya, sama Akmal juga."
"Iya Mas."
"Kamu nitip apa?"
"Apa ya? Nitip kamu aja deh cepet pulang."
"Yasudah, mas berangkat dulu, jangan lupa kunci pintu ya."
"Iya mas."
***
Terima kasih sudah mampir
Jangan lupa vote dan komenBye bye

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Doaku
RomanceMutiara Annisa Mukarromah, cewek bar bar yang merubah dirinya setelah jatuh cinta pada sosok Gus yang begitu Alim, dia bernama Muhammad Alfian Maulana. belum pernah jatuh cinta, namun sekali jatuh cinta, cintanya sungguh-sungguh. Tak henti-hentinya...