Part 14

2.6K 58 0
                                    

Happy Reading
*
*
*

Layaknya wanita pada biasanya, Mutiara hanya akan menggeser-geser layar ponselnya ketika sedang bosan, apalagi menunggu yang tak kunjung datang.

Mutiara melirik jam ditangannya, sudah jam empat sore, satu jam setelah membuat janji dengan Reno ia menunggu Reno di cafe, namun Reno tak kunjung datang.

"Ni anak kebiasaan banget, pengen aku makan deh," kesal Mutiara.

"Tau gitu kan aku tidur, ngantuk banget elaaah," lanjut Mutiara yang kembali nyerocos.

"Ada apa?" tanya Reno dengan senyum khasnya, siapa sih yang tidak bahagia, jika orang yang dicintainya mengajak untuk bertemu.

Mutiara menatap tajam Reno yang duduk manis di depannya, seolah tidak memiliki rasa bersalah dengan menunjukkan senyum tengilnya, andai Mutiara tidak ingat dirinya ingin memperbaiki diri, sudah habis Reno dicakar oleh Mutiara.

"Gak usah senyum, males!" ucap Mutiara jujur.

"Iya maap, ketiduran tadi, ada apa Muti?" tanya Reno.

Mutiara menutup matanya seperti ada hal yang ia coba diingat, "Bentar, nih aku lupa karena nungguin kamu kelamaan."

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

"Aah yaa, aku inget!"

"Apa?" tanya Reno dengan semangat.

Mutiara menarik nafasnya pelan sebelum membuka percakapan penting baginya, penting karena itu adalah amanah.

"Kamu harus janji dulu gak boleh marah, gak boleh motong pembicaraan aku, dan harus mendengarkan, kalo kamu gak lakuin tiga syarat itu, aku puasa ngomong sama kamu!"

"Iyaa," namanya juga orang bucin, mau bagaimanapun Reno tetap mengiyakan, yang penting dirinya bisa bersama Mutiara.

"Kamu rindu keluarga kamu gak?"

"Kok tiba-tiba tanya itu?" bingung Reno.

"Gini, mungkin menurut kamu, kamu adalah korban disini, dan mungkin menurut kamu, kamu adalah orang paling sedih di muka bumi ini, tanpa kamu ketahui, ada yang lebih pedih dari kisah kamu."

"Siapa?" tanya Reno.

"Maya, ibu sambung kamu, mantan kekasih kamu."

"Ini maksudnya gimana Muti? Aku gak ngerti."

"Ibunya Maya butuh biaya untuk pengobatan rumah sakit, dan itu tidak sedikit. Bayangkan! Wanita muda seperti dia harus menjadi tulang punggung, dia butuh biaya buat ibunya, adiknya butuh makan, sampai akhirnya dia memilih jalan pintas, menjadi kupu-kupu malam yang dimana kliennya adalah papa kamu, Om Agus."

"Dan papa kamu menikahi Maya, menanggung semuanya, Maya merelakan masa mudanya, dibenci oleh orang tercintanya demi keluarganya. Apa kamu tidak ada niatan sedikit buat maafin dia?"

"Kamu sudah kehilangan mama kamu, kamu sudah gak bisa berbakti sama mama kamu, selain kamu bisa mendoakan beliau. Tapi kamu punya papa, kamu harus berbakti sama dia, apa tidak ada kesempatan buat om Agus untuk menebus kesalahannya."

"Reno, mungkin mereka egois sama pilihan mereka, tapi kamu juga egois kalo kamu gak ngasih kesempatan buat mereka."

"Kamu nyuruh aku kesini cuman buat ngebela mereka?" tanya Reno.

"Tergantung dari segi pandangan kamu. Kalo kamu anggep ini sebagai bentuk kepedulian aku, ya itu juga begitu. Kamu teman aku, aku peduli sama kamu, cobalah kamu buka hati buat mereka, sedikit saja, pasti mereka akan sangat berbahagia."

"Kamu peduli sama aku?"

"Menurut kamu? Aku bukan ngasih kamu dongeng agar kamu tidur nyenyak, aku hanya ingin kamu kembali merasakan hangatnya rumah. Berat, tapi jalanin dengan hati ikhlas, mama kamu juga pasti sedih liat kamu begini, pulang Reno, sayangin papa kamu, dan doain juga mama kamu."

"kenapa kamu peduli sama aku hanya sebagai teman?"

"Dibumi, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita."

"Papa hidup dengan memaksakan keinginannya sendiri."

"Dan berakhir penyesalan! Kamu mau menyesal dikemudian hari?"

***

"Astagfirullah..."

Alfian mengusap wajahnya gusar, wajah perempuan yang dua kali ia lihat itu terus terbayang-bayang di kepalanya.

"Kenapa Bang?" tanya Hindun, baru saja ia duduk di sofa ruang tengah di ndalem, ia melihat kakak pertamanya yang nampak gelisah itu.

"Gak papa," sahut Alfian.

"Bohong! Mana ada gak papa tapi dari tadi istifar," ucap Hindun tak percaya.

"Yaa terserah kamu," jawab Alfian tak mau kalah.

Alfian beranjak menuju kamarnya dilantai atas, jujur saja hatinya tidak karuan, bayangan itu terus melintas di pikirannya.

Belum pernah ia segelisah ini karena seorang perempuan, bahkan saat ini ia tidak ada rasa kantuk untuk memasuki alam mimpi, padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.

Pandangannya kini jatuh pada sebuah novel yang berada di nakas, ia lupa mengembalikan novel milik perempuan tersebut.

Alfian memberanikan diri untuk membuka setiap lembaran novel tersebut.

Pada lembaran pertama, ia melihat sebuah nama.

"Mutiara Annisa Mukarromah," Alfian membaca tulisan tersebut.

Lembaran berikutnya ia tidak menemukan tulisan dari sang pemilik novel, hingga dibeberapa lembar berikutnya ia kembali menemukan sebuah catatan di pinggir tulisan novel tersebut.

"Treasure, Choi Hyunsuk, Park Jihoon, Yoshi, Kim Junkyu, Mashiho, Yoon Jaehyuk, Asahi, Bang Yedam, Kim Doyoung, Haruto, Park Jeongwoo, So Junghwan."

Alfian mengerutkan dahinya, sangat asing saat membaca nama-nama tersebut.

"Kim? Park? Choi? Kalo gak salah ini marga Korea, apa mereka semua dari korea?" tanya Alfian pada dirinya sendiri.

Lembaran berikutnya, Alfian kembali membukanya, ia tidak membaca isi dari novel tersebut, melainkan ia membaca coretan dari sang pemilik novel.

"Ayang Jihoon"

"Kayaknya perempuan itu suka korea."

Alfian meraih ponselnya yang ada di atas bantal, menghidupkan ponselnya, dan langsung mengklik aplikasi yang bernama instagram tersebut.

"Mutiara Annisa Mukarromah," Alfian mengetik nama tersebut di kolom pencarian.

"Astagfirullah.... "

Kembali tersadar, Alfian menutup ponselnya, mengembalikan novel tersebut dan ia memilih untuk ambil wudhu sebelum tidur.

***

"Panas banget."

Tepat jam dua malam, Mutiara terbangun dari tidurnya, ia mengerjapkan matanya beberapa kali.

Gelap, memang Mutiara lebih suka tidur dalam keadaan gelap, apalagi hujan seperti ini, akan menambah rasa sejuk.

Namun kali ini berbeda, ia merasa panas dingin, matanya juga terasa panas, badannya terasa sakit semua, dan kepalanya juga sakit.

"Bunda.... " lirih Mutiara pelan.

Tidak ada sahutan, karena Bunda memang tidur di lantai bawah, ia di atas bersama Hesti yang kamarnya berada di sebelah kamar Mutiara.

Ia menarik selimutnya, badannya terasa panas, namun ia juga menggigil diwaktu yang bersamaan, perutnya yang juga terasa mual.

"Adeek....," panggil Mutiara.

Tidak ada sahutan, ia mencoba kembali menutup matanya, meski kepalanya terasa sakit.

Dan setelah berperang dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya, dan rasa sakit di kepala, Mutiara kini kembali terlelap dalam tidurnya.

***

Jangan lupa vote dan komen


Dia DoakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang