Part 46

1.9K 55 0
                                    

Selamat membaca
*
*
*
*
*

Hindun memanggil Ustadzah Aisyah agar segera ke aula, karena acara maulid nabi akan segera dimulai.

"Apa ini?" Hindun meraih sebuah foto di kasur Ustadzah aisyah.

Meski kita sudah tidak bersama, namun hati aku masih selalu menyebut namamu, maafkan saya yang sudah lancang menyimpan foto yang seharusnya saya buang bersama kenangan kita.

Hindun melihat dibalik tulisan tersebut, adalah foto Alfian dan Ustadzah Aisyah saat tunangan, dimana ditengah ada Hindun.

"Ning cari saya?" ucap Ustadzah Aisyah yang menyusul Hindun ke kamarnya bersama Nenek.

"Ini apa maksudnya?" tanya Hindun.

"Ning, itu bukan apa-apa."

Ustadzah Aisyah mencoba mengambil foto tersebut, namun Hindun segera menjauhkan tangannya.

"Ustadzah masih suka sama Bang Alfian? Abang udah punya istri, Ustadzah."

"Apa? Kamu masih suka sama cucu saya?" tanya Nenek yang baru saja masuk ke kamar Ustadzah Aisyah.

"Nek, maafin saya," Ustadzah Aisyah langsung duduk dan merangkul kedua lutut Nenek.

"Maafin saya yang sudah lancang menyimpan foto Gus Alfian, padahal Gus Alfian sudah berkeluarga."

"Ikut saya. Hindun, mana fotonya."

Nenek pun berjalan menuju dalem, bersama dengan Ustadzah Aisyah dan Hindun, Hindun sesekali melirik mantan kakak iparnya dengan tatapan sulit dimengerti.

"Kupikir sudah move on," ucap Hindun pelan.

Diruang tengah, Abi, Umi, Alfian, Yusuf yang bersiap untuk ke aula namun ditahan dengan kedatangan Nenek, Hindun, dan Ustadzah Aisyah.

"Kalian semua duduk," titah Nenek.

Mau tidak mau, semua duduk di ruang tengah.

"Ada apa Buk?" tanya Abi.

"Dia," Nenek menunjuk ke arah Ustadzah Aisyah, dan semuanya dibuat bingung.

"Kenapa buk?" tanya Umi.

"Aisyah masih suka sama Alfian, ini buktinya," Nenek menunjukkan foto tersebut.

"Aisyah sudah terlalu cukup menahan pedihnya hati melihat Alfian dan Mutiara selama ini, Alfian kamu harus tanggung jawab, kamu harus menikah dengan Aisyah."

"Nek," Ustadzah Aisyah sangat takut, ia tidak mau jadi benalu di rumah tangga Gus dan Ningnya itu.

"Kenapa harus tanggung jawab Nek?" tanya Alfian tidak mengerti.

"Kasian Aisyah, selama ini ia menyimpan rasa sendirian, kamu sudah membuat Aisyah jatuh cinta, jadi kamu harus menikahinya."

"Nek, jangan nek, Aisyah gak mau merusak kebahagiaan Gus Alfian sama Ning Mutiara," ucap Ustadzah yang kini tengah menahan tangis dan malu.

"Loh kenapa Aisyah? Kalian semua gak setuju? Oke!"

Nenek kedapur dan kembali ke ruang tengah dengan mengabil pisau.

"Kalau kalian tidak mau menuruti permintaah saya, lebih baik saya mati."

"Ibu, ini bisa dibicarakan baik-baik," ucap Abi yang mulai panik.

"Lagian Alfian sudah punya istri dan anak, Ibu," sambung umi.

"Banyak drama banget," lirih Yusuf pelan, disaat yang lain panik, hanya dia yang santai dan duduk.

"Nek, jangan egois begini Alfian sudah punya istri dan anak," ucap Alfian, mencoba memberi pengertian.

"Menikah dengan Aisyah atau saya mati."

"Nek, saya mohon, saya tidak mau menikah dengan Gus Alfian," Ustadzah Aisyah menangis dia merasa sangat merasa bersalah.

"Oke," perlahan pisau tersebut mulai melukai tangan Nenek, Alfian dibuat bingung.

"Nek, Alfian cinta sama Mutiara, Alfian tidak mungkin menduakan Mutiara nek."

"Kenapa tidak ada yang mau mendengarkan saya."

Darah makin banyak berceceran, Alfian tidak punya pilihan lain, namun semain ia ditekan oleh sang Nenek, bayangan Mutiara semakin jelas dipikirannya.

"Nek sudah," Alfian berhasil merebut pisau tersebut, beruntungnya luka tersebut tidak parah.

Plaak

"Kamu bukan cucu saya, mana Alfian yang dulu selalu mendengarkan saya, Alfian yang selalu saya banggakan pada cucu yang lain, sampai cucu yang lain merasa iri sama kamu, tapi ini balasan kamu."

Alfian duduk didepan Nenek, "Maafin Alfian nek, tapi Alfian sangat mencintai Mutiara."

"Jangan panggil saya Nenek, saya bukan nenek kamu, kamu bukan cucu saya."

Alfian menangis, jujur ia sangat sakit hati mendengar ucapan sang nenek, namun ia masih memohon pada sang nenek agar mau mengerti.

"Nek, Alfian sudah punya istri, Alfian sudah punya anak."

"Kamu kenapa tidak mau mendengarkan nenek? Nenek sayang kamu," nenek duduk menyamaratakan dengan Alfian, "Mau ya menikah dengan Aisyah, dia perempuan baik."

Lagi-lagi Alfian menggelengkan kepalanya,  "Daripada harus menduakan istri Alfian, lebih baik Alfian mati nek, Alfian tidak akan menikahi siapapun kecuali Mutiara, cuma Mutiara istri Alfian."

Ustadzah Aisyah menangis dalam diam, air matanya begitu deras mengalir, ia sangat menyesal dulu telah melepaskan lelaki yang sangat sholeh.

"Ning, saya permisi," pamit Ustadzah Aisyah pada Hindun, ia sudah tidak kuat, ia cemburu namun ia juga sadar diri, siapa dia, siapa Mutiara dan Alfian.

****

"Astagfirullah.... "

Mutiara yang mengupas apel tangannya tiba-tiba terkena pisau, ia segera mencuci tangannya yang kini mulai bercucuran darah.

"Kok perasaan aku jadi gak enak gini ya?"

Mutiara mencoba menghiraukan perasaannya, ia kembali mengupas apel dan membawa ke dalam kamarnya.

Mutiara meraih ponselnya, disana ia mengetik sesuatu di layarnya.

"Assalamualaikum sayang?"

"Waalaikum salam, Mas. Kapan pulang?"

"Ada apa sayang?"

"Gak ada apa-apa, kalo mau pulang hati-hati ya mas."

"Iya sayang, sebentar lagi mas pulang."

"Yaudah, Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Mutiara menyentuh dadanya, perasaannya sedikit tenang, namun gelisah itu masih ada, ia tidak tahu apa penyebabnya.

***

Hai teman, dukung selalu cerita aku ya, jangan lupa vote dan komen biar aku makin semangat nulisnya, follow juga akun ini ya, terima kasih 😊😊.

Bye bye

Dia DoakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang