10- Murung.

295 16 2
                                    


Atta meraih tangan kanan Rea, sadar jika tangannya digenggam oleh putranya, Rea menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah darah dagingnya.

"Ada apa Ta? Mau beli mainan yang lain?" tawar Rea, mulai menebak apa yang putranya mau.

Mendapat pertanyaan seperti itu lantas bocah itu menggelengkan kepalanya, karena memang bukan itu yang Atta mau. "Bukan mainan lagi Mi, ini satu aja udah cukup."

"Terus?" tanya Rea lagi,

"Hehehheeh, itu. Perut Atta udah laper Mi. Dari tadi demo mulu warganya." celetuk Atta, sambil mengusap-usap perutnya sendiri, dengan salah satu tangannya.

Rea hanya terkekeh, "Yaudah mau makan apa?" Rea segera melirik ke arah lengannya, dan matanya membola sempurna, saat jam sudah menunjukkan pukul 15:00. Pantas saja Atta ngeluh lapar.

"Terserah deh Mi, apapun pasti Atta makan kok."

Rea lantas menuntun tangan kanan Atta, dan membawa ke sebuah restoran yang ada di mall itu.

Mereka berdua duduk di kursi yang sudah disediakan. Terlihat Rea yang sedang membolak-balikan buku menu seraya mencari makanan yang kiranya pengen dia makan.

"Atta mau pesen apa sayang?" tanya Rea, wanita itu menoleh, dan menatap wajah putranya lekat.

"Ta," panggil Rea sekali lagi, saat belum juga mendapat balasan dari putranya.

"Atta!" seru Rea, nada bicaranya sedikit dia naikkan.

"Eeehhhh, iya Mi. Kenapa?" tanya Atta sedikit linglung.

"Ini Mami nanya, kamu mau pesen apa? Katanya laper. Eh malah ngelamun."

"Atta nggak jadi laper Mi, Atta cape. Pulang aja yuk! Kita makannya di rumah aja." ajak Atta, bocah itu menatap Rea penuh permohonan. Nada bicaranya juga mulai terdengar sendu.

Rea menangkap ada yang tidak beres dengan putranya, sontak menoleh ke belakang. Dirinya ingin memastikan hal apa yang sudah berhasil merusak mood putranya.

Saat sudah mendapatkan jawaban, Rea perlahan bangkit. Dan mengulurkan tangannya ke arah Atta.

"Yaudah yuk kalau mau pulang," diusapnya lembut rambut putranya.

Sepanjang perjalanan dari Mall menuju parkiran, Atta hanya menundukkan kepalanya lesu. Dan Rea tau apa penyebabnya.

Tidak sampai 10 menit, akhirnya mereka berdua sampai juga di tempat parkir, dan segera menuju mobil. Rea mengendari mobilnya meninggalkan tempat itu.

"Atta kenapa diem aja?" tanya Rea, bertanya seolah dirinya tidak tau apa-apa.

"Atta nggakpapa Mi. Cuma mendadak nggak selera makan aja di tempat itu. Pake jin penglaris di sana tuh." ceplos Atta asal-asalan. Wajahnya terlihat masih murung, dan tatapannya yang dari tadi menoleh ke samping jendela. Seolah menyembunyikan muka manyunnya dari Rea.

"Hhuuusst, sembarangan kalau ngomong." sahut Rea,

"Atta lihat Mami sayang," pinta Rea, salah satu tangannya masih memegang stir mobil, dan satunya lagi dia gunakan untuk mencolek lembut pipi gembil Atta.

Mendapat perintah itu. Mau tidak mau, dirinya mengikuti kemauan Rea, ditatapnya wajah cantik milik Maminya saat ini tengah tersenyum sambil memandangnya.

"Ada yang nggak enak di hati Atta?"

Bocah di samping Rea hanya menganggukkan kepalanya, tanpa menjawab apapun.

"Atta marah?" tanya Rea lagi,

Dan masih anggukan yang Atta beri, sebagai respon bahwa dirinya membenarkan ucapan Maminya.

"Karena lihat Papi kamu makan di sana sama Mama Risa, dan Rafa?"

Untuk kali ini Atta hanya terdiam, tidak memberi respon apappun. Entah gelengan atau anggukan.

"Ta,..." panggil Rea, setelah itu dia menepikan mobilnya sejenak di pinggir jalan, untuk sekedar memberikan pengertian kepada putranya.

"Sayang,"

Perlahan kedua mata Atta memerah, dia memainkan jari-jarinya, sekaligus menundukkan pandangannya agar Rea tidak sadar jika cairan bening itu mulai terproduksi dari kedua matanya.

"Atta kesel Mi."

"Atta Marah."

"Atta juga kecewa sama Papi." dapat Rea dengar suara Atta yang semakin melirih.

"Atta tau kok, mereka istri dan anak Papi juga, mereka berhak deket sama Papi. Tapi yang Atta nggak bisa terima, kenapa Papi lupa sama kita Mi? Kenapa Atta nggak bisa kaya anak-anak yang lain? Yang bisa deket sama Papinya."

"Atta juga mau ngerasain kaya yang tadi Atta lihat. Atta, Mami, sama Papi makan bareng di luar. Tapi nggak bisa. Jarak kita sama Papi kayaknya jauh banget."

Mendengar kata demi kata yang Atta ucapkan, Rea hanya mampu terdiam. Bibirnya terasa kelu, dan sebisa mungkin dia menahan agar air matanya tidak ikut jatuh di depan putranya.

"Bahkan kemarin 3 hari Atta sakit Papi dateng ke rumah juga nggak. Padahal Atta udah kirim pesan ke Papi. Tapi lagi-lagi Papi cuma bisa ngasih alesan kalau lagi banyak kerjaan."

"Tapi kenapa tadi Atta lihat Papi justru keluar makan di luar Mi? Kenapa nggak Papi gunain buat nemuin kita?"

"Atta juga nggak minta sering-sering sama Papi kok. Atta cuma kangen aja, hampir 3 bulan Papi nggak kerumah."

Merasa tidak sanggup lagi mendengar kalimat yang keluar dari mulut putranya, yang dapat Rea lakukan hanyalah menarik tubuh Atta, yang saat ini tengah bergetar hebat kedalam pelukannya.

"Papi nggak sayang sama Atta ya Mi?" kepala Atta mendongkak menatap wajah Rea yang terlihat terkejut dengan pertanyaan spontannya.

"Papi sayang kok sama Atta, cuma waktunya mungkin belum tepat aja buat Papi dateng ke rumah."

"Atta ngerasa sepi Mi, nggak ada temen. Apalagi kalau Mami lagi pemotretan."

"Maaf ya sayang, selama ini Mami jarang ada waktu buat Atta." ujar Rea penuh sesal.

"Nggak papa, Atta ngerti kok. Mami nyari uang kan buat Atta. Buat makan Atta, buat sekolah Atta, buat beli mainannya Atta juga."

"Attatuh anak hebatnya Mami, dan Mami bangga punya Atta." ujar Rea mendekatkan ujung hidungnya ke hidung mancung putranya.

"Atta nggak perlu takut kesepian lagi sayang, 1 bulan lagi Mami berhenti kok dari dunia hiburan. Mami jadi bisa ngabisin waktu lebih banyak sama Atta." papar Rea mulai memberitahukan jika sebentar lagi dirinya pensiun.

Raut wajah Atta terlihat bingung. Namun, tidak ada binar bahagia di pancaran matanya. "Mami di pecat? Nanti kita nggak punya uang lagi dong. Nanti Atta nggak bisa jajan banyak lagi, nggak bisa makan enak, nggak bisa beli mainan! Mimpi buruk itu Mi!" pekik Atta heboh, wajahnya bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi.

Tawa Rea seketika terdengar, tinggah putranya memang selalu di luar nalar. Di acaknya rambut Atta beberapa kali.

"Ini Atta serius lo Mi. Kok Mami malah ketawa sih!" rutuknya tidak terima.

"Mami memang sengaja mau keluar dari dunia model, dan sekarang lagi nunggu kontra Mami habis aja."

"Duit Mami masih banyak, kita nggak bakal bangkrut!" celetuk Rea penuh percaya diri. Setelah itu dia melanjutkan perjalanannya menuju rumah.

Dan sepanjang perjalanan, ocehan Atta mulai terdengar, bocah itu hanya memastikan jika dirinya tidak akan benar-benar bangkrut.

Rea melirik sekilas ke arah putranya, dalam hati, dirinya bersyukur mood Atta telah kembali membaik.

*********

28/12/22





Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang