50-Awal atau Akhir?

1.3K 30 6
                                    

Bocah laki-laki terduduk di depan meja belajarnya. Dengan kepala yang di telumgkupkan di antara lipatan tangan dia.

Ccciitttt....

Bunyi pintu di buka oleh seseorang tidak membuatnya terurik sama sekali. "Atta bentar lagi masuk SMP. Tapi Mami malah udah ndak ada. Udah ndak bisa nemenin Atta lagi. Ndak bisa masakin Atta lagi. Ndak bisa nyiapin keperluan Atta lagi."

Dave yang baru saja masuk kamar putranya, hanya mampu tertegun. Dirinya dapat dengan jelas mendengar kalimat yang keluar dari bocah, yang saat ini tengah membelakanginya.

Sebagai seorang Ayah, dia merasa ikut andil dalam menorehkan sebagian luka yang putranya terima. Untuk kesekian kalinya Dave merasa gagal.

"Ta," panggil Dave, mulai mencoba mengajak bicara putra bungsunya. Sudah cukup dia memberi Atta waktu satu minggu ini. Dan sekarang saatnya mereka berbicara empat mata.

Dia tidak bergeming sama sekali. Bocah itu masih di posisi yang sama. Sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Dave. Lelaki yang dulu kerap kali dia rindukan. Lelaki yang sosoknya kerap kali dia nantikan. Yah. Namun, sekarang semuanya sudah berbeda. Atta sendiri merasa sudah tidak membutuhkan sosok Dave lagi.

"Ta, Papi mau bicara Nak."

"Atarangi. Sayang." tidak putus asa, perlahan Dave menjatuhkan lututnya di hadapan Atta. Kedua tangan kokoh dia meraih kedua tangan mungil si bungsu.

Atta melirik sekilas. Namun, sepatah kata pun tidak keluar dari mulut dia. Rasa kecewa yang dirinya rasakan benar-benar meluap akhir-akhir ini.

"Atta ikut Papi ya, kita tinggal bareng. Sama Mama Risa, sama Rafa juga." dengan lembut, Dave mencoba membicarakan apa yang sudah dirinya rencanakan dengan istrinya.

"Atta ndak Mau," ujarnya singkat. Bocah itu justru meraih sebuah buku dan bolpoin. Dan mulai menulis asal dengan maksud agar Dave berhenti menganggunya.

"Ta, Papi khawatir sama keadaan kamu sayang." Dave mengusap lembut lengan Atta.

"ATTA BILANG ATTA NDAK MAU PI!"

"Tapi....."

Atta tersenyum sinis, dia mengalihkan pandangannya dari buku di hadapan dia. Dan menoleh ke arah Dave. "Papi khawatir sama Atta?" tanyanya kembali mengulangi kalimat yang sebelumnya Dave utarakan.

Ia dapat dengan jelas melihat Dave yang menganggukkan kepalanya. "Kenapa khawatirnya baru sekarang?! Selama 9 tahun ini Papi perasaan ndak pernah ngerasa khawatir ke Atta!" celetuk Atta santai. Sudut bibirnya sedikit terangkat.

"Atta sakit Papi ndak ada. Atta kecelakaan Papi ndak jenguk. Atta minta waktu Papi ndak pernah di kasih! Terus sekarang apa yang bikin Papi tiba-tiba khawatir ke Atta? Gara-gara Mami udah mati?!"

Dave terdiam. Perkataan yang terlontar dari mulut putranya, terasa begitu menujuk. "Bukan gitu sayang," sanggah Dave dengan salah satu tangan yang dia ulurkan, dengan maksud ingin rasanya mengusap pipi Atta yang akhir-akhir ini mulai terlihat tirus. Namun, dengan segera Atta tepis.

Atta terkekeh sinis. Dia melemparkan bolpoint yang sebelumnya dia pegang.

"Ya emang gitu kenyataannya Pi!"

"Atta nanya deh sekarang. Anak Papi tuh sebenarnya berapa? Satu apa dua?"

"Papi ndak berperan apapun di hidup Atta. Selama ini yang sayang sama Atta cuma Mami. Yang perduli sama Atta cuma Mami."

"Papi minta maaf. Papi tau kesalahan Papi terlalu banyak sama kamu dan Mami kamu. Karena itu, Papi hanya mau nyoba nebus kesalahan Papi di masa lalu Ta."

"Kita tinggal bareng ya."

"Nggak mau. Atta mau di rumah ini aja."

"Ta, Papi nggak akan ngizinin kamu ada di rumah ini sendirian."

"Atas hak apa Papi ikut campur di hidup Atta?" dengan nada tajam, Atta melontarkan kalimat itu.

"Sekarang kamu yang milih, tetep di rumah ini tapi Bi Sutin dan Pak Mardi, Papi pecat, atau kamu ikut Papi, dan mereka berdua masih bisa bekerja di rumah ini," ujar Dave mencoba memberikan penawaran. Dave sendiri tau, sedekat apa mereka berdua dengan putranya. Dan bisa Dave tebak Atta tidak akan rela jika kedua orang itu pergi.

"Papi ndak bisa gitu dong main mecat orang sembarangan. Ini rumah Mami bukan rumah Papi. Papi ndak ada hak lakuin itu semua." sentaknya tidak terima. Bocah itu bangkit begitu saja dari posisi duduknya. Kedua tangan Atta terkepal sempurna. Kenapa satu persatu orang yang dirinya sayang harus meninggalkan dia?

Sudut bibir Dave tertarik. "Mereka berdua kerja di rumah ini Ta. Bukan ngasih jasa suka rela gitu aja buat ngurus kamu. Dan kamu sendiri tau bukan, orang kerja buat apa? Biar dapet uang. Punya duit berapa kamu buat ngegaji mereka?" tantang Dave menatap Atta remeh.

Atta memejamkan kedua matanya kuat-kuat. Dia ternyata melupakan satu hal.

"Bagaimana tawaran Papi? Papi bisa tetep gaji semua pegawai di rumah ini setiap bulannya. Dengan syarat, kamu ikut sama Papi."

Otak mungil Atta seketika di paksa untuk berfikir lebih keras. "Oke Atta ikut Papi," putusnya sambil menghela nafas kasar.

"Anak pintar, yaudah kamu istirahat sekarang. Besok pagi kita langsung pindah. Barang-barang kamu biar Bi Sutin yang urus." setelah mengatakan hal itu Dave meninggalkan kamar putranya.

Pintu tertutup dari luar, setelah memastikan jika sudah tidak ada orang lagi di kamarnya, perlahan Atta jatuh dan terduduk di lantai. Rasa sesak kembali menguasai perasaan bocah malang itu.

Sesekali di edarkannya pandangan dia menatap sekitar. "Kenapa orang-orang gede, pada doyan ngambil keputusan sesuka mereka?"

"Mami yang tiba-tiba pisah rumah sama Papi, yang bikin Atta nggak pernah dapet kasih sayang Papi."

"Dan Papi yang main nyuruh Atta buat ngikutin semua permintaan dia?"

"Kenapa mereka pada seenaknya?"

"Atta juga manusia, Atta juga punya perasaan. Kenapa nggak ada yang bisa ngerti?" rintihnya mulai meluapkan semua rasa sakit hati yang mengerogoti perasaannya.

"Atta cape."

"Atta udah ndak kuat."

"Atta sendiri."

"Dan Atta ndak mau ninggalin rumah ini, di rumah ini Atta bisa ngerasa deket sama Mami."

"Atta nggak mau ikut Papi, Tapi, Attta juga ndak mau kalau Bi Sutin sama Pak Mardi pergi."

Lagi dan lagi lelehan anak sugai terbentuk dari sudut mata Atta. Rasanya sudah tidak terhitung, dalam 1 minggu ini sudah berapa kali dia nangis.

"Mi, Atta mau ikut Mami aja boleh ndak?" gumamnya, sambil memandang figura yang berisi foto cantik Rea.

Atta berjalan keluar ke kamar Rea, malam ini untuk terakhir kalinya, dia ingin tidur di sana. Di ruangan yang mengingatkan dengan sosok malaikatnya yang sudah tiada.

Atta menatap sesak ruangan itu, dia menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Atta benar-benar berharap jika semesta tidak sekejam ini dengan dirinya.

Bocah itu berjalan tertatih menuju lemari yang menyimpan pakaian Rea, dengan tangan bergetar dia meraih sebuah baju yang kerap kali Rea kenakan.

Atta masih setia berdiri di depan lemari berwarna putih tulang itu. Lelehan air mata kembali berjatuhan, membasahi baju yang tengah dirinya remat, dengan segala emosinya.

Dia menundukkan kepalanya, dan menciumi kain yanh saat ini tengah dirinya genggam. Bau lavender menguasai indra penciumannya. Wangi yang identik dengan sosok Rea selama ini.

"Mami, Atta kangen."

"Mi, kapan jemput Atta?"


Ending.......

*******

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang