Waktu semakin berlalu, dan tanpa terasa sudah 5 bulan sejak Dave mengunjungi Atta pada saat itu, dan semenjak hari itu Dave belum pernah lagi mengunjungi putranya.
Sepanjang perjalanan pulang Atta terlihat tidak sesemangat biasanya. Terlalu banyak hal yang otak mungilnya fikirkan.
"Aden kenapa tumben diem aja?" tanya Mardi yanga merasa jika ada yang berbeda dengan majikannya.
"Atta ndak papa Pak. Cuma ngantuk aja. Nanti kalau udah sampai rumah tolong bangunin Atta ya Pak."
"Iya Den, siap."
Suasana kembali hening, terlebih saat Mardi melirik ke bocah yang memang sedang memejamkan kedua matanya, di samping kursi yang dirinya duduki.
"Den, bangun. Sudah sampai Den," ujar Mardi, sambil menepuk pelan pipi Atta bermaksud membangunkan anak itu.
Atta mengeliatkan tubuhnya. Dan perlahan kedua matanya sedikit demi sedikit mulai terbuka. Dia mengamati sekitar dan benar saja, mobil yang dirinya naiki sudah sampai di depan halaman rumahnya.
"Itu Papi di sini Pak? Tumben," tanya Atta saat melihat jik mobil Dave terparkir tidak jauh dari posisinya sekarang.
"Yaudah Atta turun dulu Pak," pamitnya. Setelah itu Atta meraih tas dia, dan berjalan keluar memasuki rumah.
"Ingat Mas! Kamu masih punya istri dan anak selain dari keluarga yang kamu bangga-banggakan itu."
"Aku dan Atta masih hidup, kamu nggak bisa lepas tanggung jawab gitu aja!" sentak Rea tidak terima.
"Siapa yang lepas tanggung jawab Rea? Aku masih rutin kirim uang buat menuhin kebutuhan kamu dan Atta selama ini. Aku rasa itu udah lebih dari cukup!"
"Gila kamu ya Mas! Atta juga butuh waktu dan kasih sayang kamu! Kalau soal uang, harta warisan yang aku punya sangat cukup buat menghidupi Atta sampai besar nanti. Tapi bukan itu yang aku mau. Bukan itu yang Atta butuhin. Tolong bagi waktu kamu sedikit aja buat Atarangi. Dia juga darah daging kamu Mas!"
"Harusnya kamu sadar Re! Kamu nggak bisa nuntut aku untuk berperilaku adil sama kalian. Posisi kalian berdua jelas beda dihati aku. Risa dia wanita pilihan aku. Sedangkan kamu? Kamu cuma wanita yang terikat denganku karna sebuah perjodohan nggak jelas itu!"
Rea mendengar perkataan suaminya tentu sakit hati. Harga dirinya terasa seperti diinjak-injak oleh sosok pria didepannya.
"Perjodohan nggak jelas? Perjodohan nggak jelas kamu bilang? Terus kenapa nggak kamu tolak aja tawaran Mama Desi waktu itu Mas? Sikap kamu yang kaya gini justru nyakitin aku dan Atta." Rea memandang penuh kemuakkan.
"Diam kamu kan? Nggak bisa jawab kan! Soalnya dari awal aku tau niat busuk kamu Mas. Kamu nikahin aku cuma buat mempertahanin warisan yang kamu punya biar nggak jatuh ketangan Adik kamu."
"Kalau nggak lihat Atta, udah dari lama aku minta cerai Mas! Tapi aku nggak seegois itu. Masih ada anak kamu yang tiap malem nanyain dimana Papinya!"
"Bagus kalau kamu mau kita pisah! Masalah Atta kamu nggak perlu khawatir, dia bisa ikut aku kalau itu yang kamu risauin."
"Enteng banget bilang mau bawa Atta! Selama ini kamu kemana aja? Atta anak aku dan aku nggak akan biarin siapapun misahin aku sama dia! Termasuk kamu!"
Seorang bocah SD dengan tas gendong di bahunya mendengar jelas sautan demi sautan dari dalam rumah. Dan dari suaranya bisa Atta simpulin siapa yang tengah beradu argumen kali ini.
Atta mengintip sejenak dari balik pintu, setelah cukup puas menyaksikan perdebatan antara kedua orang tuanya, dengan langkah tertatih bocah itu pergi melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.
Sepanjang perjalanan Atta hanya menunduk, dan disinilah dia sekarang. Kaki mungilnya membawa Atta kesebuah taman tidak jauh dari komplek rumahnya.
Atta duduk disalah satu kursi, saat ini jam menunjukkan pukul 12:00, dan dia hanya termenung menatap kosong kearah depan. Diabaikannya perutnya yang sejak tadi keroncongan minta diisi.
Sebuah pemandangan mampu membuat perasaannya sedikit teriris, sakit tapi tidak berdarah.
Terlihat seorang anak laki-laki seusianya, yang tengah duduk diayunan, dengan seorang Pria yang mendorong ayunan anak itu serta seorang wanita cantik berjilbab yang sesekali menyuapi anak itu dengan buah yang dia bawa.
"Andai keluarga Atta kaya gitu." gumamnya lirih.
Atta menatap lengannya sendiri dan di gulungnya lengan baju yang menutupi tangannya. Terlihat bercak memar kemerahan yang nyaris berubah berwarna ungu di lengan mungilnya.
Dengan perlahan Atta menatap lengannya yang terluka serta menatap interaksi sebuah keluarga di depannya. "Rasanya punya keluarga lengkap gimana sih?"
"Rasanya disayang Papi gimana sih?"
"Atta mau ngerasain juga,"
"Kenapa Atta nggak bisa kaya mereka?"
"Papi jarang pulang, sekalinya pulang cuma buat berantem sama Mami," lirih bocah kelas 2 SD itu.
"Kenapa yang mereka pada mentingin ego mereka masing-masing?"
Ditengah lamunananya, seorang bocah cewek seusia Atta, dengan rambut digerai tiba-tiba datang dan duduk disebelahnya.
"Aku duduk disini ya" ujar bocah itu, dan duduk tanpa menunggu Atta memberinya izin.
Melihat kedatangan seseorang, Atta hanya meliriknya sekilas, moodnya masih buruk. Bahkan dirinya merasa enggan untuk berbicara.
Dengan polos, gadis itu menatap wajah Atta, diamatinya lamat-lamat penampilan Atta yang nampak kacau.
"Kamu belom pulang? Kok masih pakai seragam lengkap sama sepatu dan tas juga?" tanyanya masih kepo.
"Loh, kok mata kamu merah? Kamu nangis?" tanya cewek itu menatap Atta dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Membuat beberapa helai rambutnya jatuh menutupi sebagian pipinya.
Atta yang mulai jengah, perlahan membalikkan tubuhnya. Dan berbalik menatap gadis disampingnya.
"Kamu siapa sih? Tiba-tiba datang terus nanya-nanya mulu kaya Dora! Berisik tau nggakk!!" sentak Atta kesal.
"Aku Geastrofy Latisya. Orang-orang manggil aku Gea" ujar bocah itu dengan muka polosnya. Tidak lupa di ulurkan tangan Gea bermaksud untuk mengajak Atta bersalaman.
"Nggak nanya!" sahut Atta ketus.
"Lah, kan tadi kamu nanya aku siapa. Ya aku sebutin nama aku." oceh Gea, membalas ucapan Atta.
Gea mengamati penampilan Atta dari atas sampai bawah. Atta yang risih hanya memberi pelototan tajam, kepada gadis yang menurutnya kurang ajar itu.
"Apa sih lihat-lihat!" seru Atta kurang suka.
"Itu tangan kamu kenapa? Kok luka-luka gitu?" tanya Gea saat melihat kemeja panjang Atta yang sedikit tergulung. Gea berniat memegang pergelangan tangan Atta, yang segera ditepis olehnya.
"Jangan dipegang. Sakit!"
"Itu kenapa?" masih dengan rasa keingintauannya Gea menanyakan hal tersebut.
"Dipukul Mami"
"Mami kamu galak ya sampe mukul-mukul gitu? Sama dong kaya Mama aku. Dia juga suka mukul-mukul. Apa lagi kalau Lea nangis, pasti aku dipukul juga sama Mama."
"Mami Atta nggak galak, cuma lagi cape aja. Terus Atta nakal makanya Atta dipukul."
Gea membulatkan bibirnya. "Oooooooo nama kamu Atta?"
"Iya."
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
Fiksi Umum#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...