23-Perjuangan.

290 17 0
                                    

Atta mengerjapkan kedua matanya. Tengah malam dia terbangun. Bocah itu melirik ke atas jam yang terletak tidak jauh dari posisinya sekarang.

"Atta haus," gumamnya sambil mengusap tenggorokannya yang terasa kering. Sesekali dia menelan ludahnya kasar.

"Euummm, ke dapur aja kali ya. Ambil minum." pikir dia. "Lagian baru jam 9 malem. Hantu kayaknya belum diizinin keluar deh, sama Mamanya hantu buat ganggu manusia." ujarnya sibuk berdialog dengan dirinya sendiri.

"Lagian kalau Atta tetep di sini. Terus ndak minum, terus Atta mati kehausan, yang ada nanti Atta jadi member baru di rombongan hantu-hantu dong."

"Hiihhhh, Atta ndak mau. Enak aja!" serunya dan semakin yakin untuk keluar dari kamarnya, agar rasa dahaga yang sedari tadi menyerang dia bisa terobati.

Dengan langkah pelan Atta berjalan mendekati pintu. Kalian sudah tau bukan tujuan bocah nakal itu? Yah Atta hanya ingin ke dapur untuk mengambil segelas air minum.

Atta melangkahkan kakinya menuruni tangga. Dengan mata sayu, dia sebisa mungkin sampai ke tempat tujuan. Walaupun sesekali dia bergidik ngeri membayangkan jika ada rombongan mahluk halus yang datang tanpa diundang.

"Om hantu, Tante hantu. Jangan ganggu Atta ya. Atta cuma haus. Butuh minum. Kalian ngumpet aja nggakpapa jangan munculin diri di depan Atta," ocehnya sambil menuangkan teko kedalam gelas kaca yang tengah dirinya pegang. Sesekali dia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan sesuatu.

Atta menegluk cairan bening itu dengan terburu. Setelah dirasa rasa hausnya mulai sirna, dengan perlahan Atta meletakkan gelas yang baru saja dia pakai di wastafle dapur.

"Terimakasih Om hantu, Tante hantu buat kerjasamanya. Semoga dosa kalian di ampuni sama Allah, Aamiin. Yaudah Atta mau ke atas dulu." pamitnya, kemudian dengan langkah tergesa Atta berjalan kembali menuju kamarnya.

Di tengah perjalanan. Atta sempat berhenti di depan kamar Dave dan Risa. Yang kebetulan sedikit terbuka. Dan dengan keponya Atta justru mendekatkan telinganya ke arah pintu, untuk mendengakan apa yang sedang sepasang suami-istri itu bicarakan.

"Atta gimana Mas?" tanya Risa sambil menatap suaminya. Yang berada di ujung ranjang.

"Maksud kamu?" Dave balik melemparkan kebingungannya.

Saat ini di ruangan yang bisa di bilang cukup luas, terlihat 3 orang manusia berbeda usia. Dave, Rafa, juga Risa. Dapat Atta lihat juga Rafa yang sudah tertidur lelap dan berada di antara kedua orang tuanya.

"Mas beneran mau nganterin Atta pulang besok?" tanya Risa memastikan. Sesekali dia mengusap pelan rambut Rafa agar tidur putranya semakin nyenyak.

"Nggak Ris. Atta tetep di sini. Sampai aku yakin  kalau luka-luka di tubuh Atta bukan ulah Rea. Aku nggak mau putra aku semakin kenapa-kenapa ke depannya." kata Dave menatap langit-langit kamarnya.

"Iya, aku setuju. Aku juga khawatir sama kondisi kesehatan Atta."

Atta yang memang masih berada di pintu, dapat dengan jelas mendengar obrolan kedua orang dewasa itu. Kedua tangan Atta terkepal sempurna. Dan dengan segera dia berjalan menuju kamarnya.

"Enak aja Papi mau inkar janji. Papi kan udah pingky promise sama Atta tadi siang. Kok mau diingkari sih!" decaknya sebal.

"Atta bisa kok pulang sendiri. Ndak perlu di anter Papi." rutuk Atta sambil berjalan ke arah ranjang tempat tidurnya. Dia kemudian membaringkan badannya.

"Tapi sekarang Atta ngantuk! Jadi buat malam ini Atta mau numpang bobok dulu di rumah ini. Besok pagi baru kabur." dan perlahan kedua mata Atta mulai terpejam, sesekali dia menguap dan tidak membutuhkan waktu lama kesadarannya perlahan mulai menghilang.

******

Tepat saat adzan subuh Atarangi terbangun. Dia terduduk di atas ranjang tempat tidurnya. Ingatan dia berkelana, dan sesaat Atta mulai tersadar dengan rencananya.

"Atta pulang sekarang aja kali ya. Orang-orang kayaknya belum pada bangun deh. Kalau nanti-nanti yang ada Atta di bohongi lagi sama Papi."

Tanpa memikirkan apapun, dia segera berusaha agar bisa keluar dari bangunan itu. Beruntungkan, keberuntungan memihak kepadanya. Dia bisa keluar dari sana tanpa hambatan sedikitpun.

Dengan perlahan dia membuka gerbang yang memang tidak di kunci. "Aman." serunya kegirangan.

Atta berlari meninggalkan rumah Dave. Hawa dingin yang menusuk di tulangnya tidak dia hiraukan sama sekali. Wajar saja. Jam baru menunjukkan pukul 04:30 WIB.

Sesekali dia memeluk tubuhnya sendiri, dan sialnya saat ini pakaian yang Atta kenakan justru piama tidur berlengan pendek.

"Eeeerrrrrr.... Dingin."

Hari masih terlihat gelap. Bahkan, matahari sepertinya masih enggan menjalankan tugasnya.

"Ini Atta pulangnya gimana? Masa jalan kaki sampai rumah?" tanyanya kebingungan. Namun, dia tidak punya pilihan lain. Jalanan juga terlihat masih sepi. Tidak ada satupun kendaraan yang berlalu-lalang.

"Nggak papa deh. Anggap aja olahraga pagi," celetuk Atta, dan mulai berlari kecil menuju rumah yang selama ini dia tinggali.

Waktu terus berjalan. Sesekali Atta mengusap peluh yang menetes dari dahinya. Dia hampir 2 jam berjalan. Tetapi belum juga sampai di tempat tujuan.

"Atta cape," keluhnya dengan nafas yang terengah-engah. Wajar saja dia belum sepenuhnya pulih. Dan kemarin baru saja keluar dari rumah sakit. Harusnya bocah itu masih membutuhkan waktu istirahat yang cukup sekarang.

"Atta haus, Atta juga laper," dengan bergantian Atta mengusap tengorokannya yang terasa kering. Juga perutnya yang sedari tadi mulai mengeluarkan alunan merdu, tanda jika tubuhnya memerlukan nutrisi.

"Ndak papa Ta. Bentar lagi sampai kok." gumamnya mencoba menyemangati dirinya sendiri.

"Cacing, demonya ditunda dulu bisa ndak? Minta makannya nanti aja pas Atta udah di rumah. Atta ndak punya uang soalnya buat beli makanan," lirihnya dengan suara sendu. Jika boleh dia ingin menangis sekarang. Kakinya yang terasa cape sedari tadi berjalan. Punggungnya yang masih sakit. Rasa perih yang menyerang perutnya. Juga kepala dia yang sedari tadi terasa pening.

45 menit berlalu, Atta menghela nafas lega saat gerbang bercat hitam milik rumahnya, sudah terlihat. Jujur dia merasa sudah tidak memiliki tenaga sedikitpun.

Dengan langkah tertatih, juga tangan yang sesekali memegangi perutnya Atta mencoba berjalan menuju pintu berwarna abu yang menjadi akses untuk dirinya memasuki rumah.

Hampir 3 jam dia berjalan, akhirnya perjuangan Atta tidak sia-sia. Perlahan sudut bibirnya terangkat.

Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Atta mengetuk pelan pintu di depannya. Yang memang masih terkunci dari dalam.

Jika ditanya kenapa tidak menekan bell, jawabannya tubuh Atta masih terlalu pendek. Atta bisa saja naik ke atas kursi yang memang tersedia di depan rumahnya. Hanya saja dia merasa sudah memiliki tenaga tambahan.

Tok...tok...tok....

Diketuknya pintu itu perlahan. Sesekali Atta memejamkan kedua matanya, saat rasa sakit kembali menyerang kepalanya.

"Mami... Buka pintunya," pinta Atta.

Ckklek....

Pintu terbuka seperti harapan Atta. Dan dapat dirinya lihat wajah cantik wanita yang sangat Atta rindukan.

"Atta kangen Mami," lirih Atta dengan mata berkaca.

Perlahan pandangan Atta berubah menjadi buram, semua yang dirinya lihat seperti berputar.

BBBBRRRUUUKKKK....

"AATTTAAA!!!"

********

19/02/23

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang