Gea menatap kursi di sampingnya dengan tatapan penuh keheranan. "Ini Atta izin lagi?" tanyanya pada orang yang duduk di belakang dia."Iya, itu surat izinnya ada di meja guru," sahut Arlo.
Tidak terasa persahabatan mereka bertiga sudah bertahan 3 tahun.
"Padahal bentar lagi UN loh. Tapi sering banget Atta izin akhir-akhir ini. Mana mukanya pucet terus lagi."
"Tenang aja kali Ge. Lagian dia sering ketinggalan pelajaran, nilainya juga nggak bakal turun. Percaya sama gue."
*****
Atta tengah tertidur di kamar dia. Dengan tubuh yang ditutupi selimut tebal, dari kaki hingga bahunya.
"Ta, minum obatnya dulu sayang," Rea mencoba membangunkan putranya. Diusapnya perlahan dahi dia, hawa panas dapat dengan jelas Rea rasakan di telapak tangannya, saat memegang kening Atta.
"Atta, bangun dulu yuk." bisik Rea lembut.
Akhir-akhir ini, bocah itu memang kerap kali drop. "Kepala Atta pusing Mami," rintihnya mengutarakan apa yang dirinya rasakan, tanpa membuka kedua matanya.
"Atta makan dulu, terus obatnya diminum. Nanti tidur lagi nggakpapa," bujuk Rea masih mencoba merayu putranya.
Dengan mata dan kepala yang terasa semakin berat, Atta perlahan mengikuti apa yang Rea mau. "Pelan-pelan sayang," ujar Rea, mulai membantu anaknya untuk bangun dan bersender pada senderan ranjang.
"Sekolah Atta gimana Mi?"
"Mami udah kasih surat izin ke wali kelas kamu. Pak Mardi tadi yang nganterin."
Raut wajah Atta semakin terlihat sayu, "Yah Atta harus bolos lagi dong Mi? Atta udah kelas 6. Tapi malah sering izin."
"Nggak papa Ta, yang penting kamu sembuh dulu."
"Atta ndak mau nilainya jelek Mi. Apa lagi sampai ndak lulus nanti," kata Atta murung.
"Mami percaya kok Atta pasti bisa lakuin semua yang terbaik." Rea mengulurkan tangannya sambil mengusap lembut rambut Atta yang sudah terlihat memanjang.
"Masalah nilai Mami udah nggak nuntut apapun lagi dari kamu Ta. Mami cuma mau Atta sehat. Itu udah lebih dari cukup buat Mami."
"Susah Mi, tubuh Atta payah banget sekarang. Kehujanan sedikit demam. Makan sembarangan tau-tau diare. Minum es dikit batuk pilek."
"Makanya Atta harus pinter-pinter ngejaga tubuh kamu Ta. Mami selalu sediain payung kan di tas kamu? Jangan main hujan lagi. Jajan juga jangan sembarangan, Mami kan udah bawain bekel yang sehat dari rumah."
"Maaf ya Mi. Atta ngerepotin Mami terus. Atta sering banget bikin Mami khawatir," lanjut Atta merasa sangat bersalah, dengan wanita berhati malaikat di depannya.
"Udah ya, Atta nggak usah ngomong aneh-aneh. Sekarang Atta makan dulu ya buburnya. Mami suapin. Baru minum obat penurun panas habis ini."
Dengan telaten Rea menyuapi putranya. "Mami Atta udah kenyang." tolaknya, saat Rea kembali ingin menyuapinya.
Rea melirik bubur yang sudah termakan setengah. Wanita itu merasa lega. Paling nggak perut Atta sudah sedikit terisi.
"Yaudah sekarang Atta minum obatnya dulu ya. Biar cepet sembuh."
Atta menerima 2 butir obat yang Rea kasih. Tanpa banyak drama seperti yang sudah-sudah, dia segera menelannya. Bagi dia butiran obat sudah bukan lagi hal yang asing.
Perlahan rasa kantuk kembali menguasainya. "Atta ngantuk." tanpa di duga, Atta justru tidur dia membaringkan badannya dengan paha Rea yang sengaja dia jadikan sebagai bantalan.
"Mami di samping Atta terus ya. Jangan tinggalin Atta. Atta nggak bisa hidup tanpa Mami." setelah mengatakan hal tersebut, perlahan kedua mata Atta terpejam. Bocah itu kembali tertidur, karena efek obat yang baru saja dirinya minum.
"Mami sayang banget sama Atta." bisik Rea, sambil mengamati muka polos putranya.
Rea menatap botol obat dia atas nakas samping ranjang dengan tatapan hancur. 3 tahun. Sudah 3 tahun Atta menggantungkan hidupnya dengan ratusan butir tablet itu.
Setelah Atta tau dengan kondisinya yang sebenarnya, bocah itu tidak lagi rewel jika di suruh meminum ARV. Atta seolah sadar sepenting apa obat itu untuk kelangsungan hidupnya.
Jika ditanya apa yang Atta rasakan? Jawabannya dia merasa marah, andai saja Dave mau meluangkan waktu untuknya, menunggu di sebentar sampai acara makannya selesai, bukan justru meninggalkannya sendirian di Mall, berakhir dia yang hampir sama merenggang nyawa.
Atta udah semuak itu mendengar nama Dave, Atta sendiri tidak habis fikir, kenapa dia harus punya Papi seegois Dave, kenapa bukan Papa yang baik seperti Agam yang menjadikan Arlo sebagai prioritasnya.
Jika dulu Atta kerap kali menanyakan keberadaan Dave, sekarang justru sebaliknya. Yang ada Atta benar-benar tidak mau menyebutkan nama itu.
Bahkan jika Dave datang, tak jarang Atta mengacuhkannya, atau justru sibuk menghabiskan waktu dengan tumpukan buku di kamar dia.
*******
Keesokan harinya, Atta mengerjapkan kedua matanya. Tangan dia terulur untuk mengecek suhu tubuhnya sendiri. "Baguslah kalau udaj turun panasnya. Atta jadi ndak perlu bolos lagi," gumam dia dan perlahan mulai mencoba bangkit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.
15 menit berlalu, saat ini tampilan Atta terlihat lebih segar. Dia berkaca, mengamati penampilan dirinya sendiri di pantulan cermin.
Diusapnya kedua pipi dia yang mulai terlihat tirus. "Gini nih kalau jadi bocah penyakitan. Makan udah banyak tetep aja kerempeng!" rutuknya sebal.
"Kalian boleh hidup di darah Atta. Tapi awas aja kalau ngerepotin!" ocehnya pada virus di tubuhnya.
"Udah di kasih tempat berkembang biak tuh berterimakasih, bukanya bikin pemilik tubuh jadi susah. Nggak tau diri banget sih kalian jadi virus!" omelnya kesal.
Walaupun Atta sendiri tau, jika virus di dalam tubuh dia tidak akan sadar kalau sedari tadi dia tengah menyindirnya.
Setelah dirasa siap, Atta berjalan keluar kamar untuk menemui Rea. "Loh Atta udah bangun? Udah mau sekolah juga? Kan kamu masih sakit sayang," ujar Rea khawatir.
"Atta udah ndak papa kok Mi. Beberapa bulan lagi udah ujian. Atta ndak mau ndak bisa ngerjain soal gara-gara sering bolos."
"Tapi...."
"Mami, Atta udah sembuh loh. Tuh pegang kening Atta udah ndak panas lagi kaya bekasi." celetuknya masih mencoba menyakinkan Rea.
"Iya deh iya, Mami percaya."
"Yaudah yuk sarapan dulu, Atta mau makan sama apa biar Mami siapin?"
"Roti tawar aja Mi. Pake slai kacang. Atta lagi males makan nasi."
"ARV-nya jangan lupa diminum loh Ta," pesan Rea mengingatkan putranya. Atta membalas perkataan Rea dengan anggukan singkat.
"Wihhh, ndak terasa ya Mi. Tau-tau Atta udah hampir SMP aja."
"Iya, kamu SMP mau daftar di mana? Apa mau satu sekolah sama Gea, Arlo?"
"Ndak tau Mi, kalau sama Arlo kayaknya ndak deh. Dia mau sekolah di Bandung katanya. Kalau satu sekolah sama Gea bisa jadi. Tapi ya tergantung dia juga."
"Yaudah udah siang, Atta berangkat ya Mi," pamitnya setelah menghabiskan sepotong roti.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
******
26/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...