14-Marah

330 11 0
                                    


Bocah berseragam SD itu menatap ragu ke arah bangunan yang berdiri kokoh di depannya. Di otak mungilnya sudah terbayang semarah apa Rea nantinya. Atta menghela nafas kasar beberapa kali, sebelum akhirnya mulai memutuskan untuk membuka pintu bercat abu yang sebelumnya tertutup rapat.

"Assalamualaikum Mami, Atta pulang," cicitnya seraya berjalan mendekat ke arah Rea yang saat ini tengah bersantai ria di ruang tamu sambil memaiinkan ponselnya.

Senyum di bibir Rea terukir sempurna, saat melihat putranya yang baru saja pulang. Namun, perlahan senyum itu sirna begitu saja. Melihat muka masam Atta, Rea tentu sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.

Rea menatap Atta dingin. Pandangannya sontak berubah menjadi tajam, tidak ada tatapan hangat seperti biasanya, dan harus Atta akui, dirinya berasa benci ada di situasi ini.

Tangan Rea terulur, bermaksud meminta hasil ulangan hari ini. Atta tentu faham dengan apa yang Rea mau, bocah itu akhirnya mulai menurunkan ransel dari pungungnya dan membuka untuk mengambil kertas yang Rea nantikan.

Atta menundukkan kepalanya. Tangannya terulur memberikan barang yang Rea mau. Masih dengan posisi yang sama, dapat Atta dengar helaan nafas kasar dari Maminya.

"Ingat apa yang kemarin Mami minta?" tanya Rea dingin.

Lidah bocah itu terasa kelu. Tidak ada satu suarapun yang keluar dari mulutnya. Yang Atta mampu lakukan hanyalah menganggukkan kepalanya singkat.

"Mami nanya Atarangi!" seru Rea yang sepertinya masih tidak puas, dengan respon anaknya.

"Ingat Mami," lirih Atta dengan suara bergetar.

"Ingat apa yang kemarin kamu janjikan ke Mami?!" sentak Rea sekali lagi.

"Ingat Mami."

"Terus ini apa Atarangi! Kenapa cuma 90 nilai yang bisa kamu dapatkan?! Mana janji kamu kemarin?! Soal mudah kaya gini aja kamu nggak bisa ngerjain. Gimana Papi kamu bisa berperilaku adil ke kamu. Gimana dia nggak ngutamain Rafa, kalau kamunya aja nggak bisa diharapkan!" geram Rea lepas kendali. Wanita itu melemparkan lembar ulangan Tepat di muka Atta.

Atta memejamkan matanya. Sakit. Satu kata yang mampu menggambarkan apa yang dirinya rasakan saat ini. Bukan lemparan Rea. Namun, lebih ke ucapan wanita itu.

"Maafin Atta, Mi," cicitnya dengan suara tersendat. Tanpa dirinya sadari sudut matanya mulai mengeluarkan cairan bening. Tapi sebisa mungkin Atta menahan isak tangisnya agar tidak semakin pecah. Atta benar-benar mau membuat Maminya semakin marah.

"Maaf kamu nggak guna Ta!"

"Mami cuma mau nilai kamu sempurna!"

"Mami mau yang terbaik buat anak Mami!"

"Tapi kenapa sesusah ini kamu kabulin permintaan Mami?" tanya Rea lepas kendali. Dada Rea terlihat naik-turun, serta nafasnya yang terdengar tidak beraturan. Tatapannya yanh masih menyeramkan, serta kedua matanya yang menatap Atta penuh rasa kecewa.

"Jawab Mami Ta, kenapa kamu sesusah ini kabulin permintaan Mami?!" sentak Rea sekali lagi, didekatinya tubuh Atta yang bergetar hebat, dan di guncangkannya kedua bahu putranya dengan kasar.

Atta benar-benar seperti tidak mengenal sosok wanita di depannya. Rea terlihat menyeramkan. Bocah malang itu hanya memejamkan kedua matanya, dengan lelehan air mata yang mengalir deras, dan perlahan isakannya yang sedari tadi Atta tahan mulai terdengar.

"Kenapa harus kamu yang jadi anak Mami?"

"Kenapa bukan Rafa, yang jelas lebih hebat dari kamu?"

"Kenapa lagi dan lagi, Mami harus ada di bawah keluarga perebut itu?" racaunya merasa tidak terima.

Rea terlihat kacau sekarang, kedua matanya juga mulai memerah, dia masih setia menguncangkan kedua bahu Atta berkali-kali.

"Maaf Mami, Maafin Atta. Atta salah. Atta bakal belajar lebih giat lagi kok. Mami udah ya jangan nagis lagi, Atta bakal lebih hebat dari Rafa, Atta bakal jadi nomer satu Mi," bocah itu memberanikan diri untuk menjawab perkataan Rea. Mendengar racauan yang keluar dari mulut Maminya, Atta merasa hancur. Dia faham mental Rea sudah dari lama bermasalah. Bahkan tidak jarang Atta melihat Rea yang menggonsumsi obat penenang, juga sesekali Maminya yang rutin ke psikiater.

"Maaffin Atta Mami, Maaf. Atta bener-bener minta maaf udah bikin Mami kecewa,"

Dengan langkah tertatih Atta berjalan mendekat bermaksud memeluk tubuh Maminya, Melihat Rea yang histeris seperti sekarang membuat Atta merasa gagal sebagai anak.

Atta memeluk tubuh Rea, baru beberapa detik Rea lebih dulu menghempaskan tubuh Atta dari pelukannya, hingga bocah itu terpental dan tubuhnya menabrak lemari.

Brraakkkk!

Prraannkkk!

Darah segar keluar dari kening Atta, Rea yang melihat hal itu bukannya merasa iba, justru meninggalkan tubuh Atta begitu saja.

"Renungkan kesalahan kamu Atarangi!" gumam Rea. Setelah mengatakan hal itu Rea berjalan menaiki tangga meninggalkan putranya yang saat ini tengah terluka.

Sutin dari arah dapur datang tergopoh-gopoh, saat mendengar suara benda jatuh, dan dirinya dikagetkan dengan kondisi anak majikannya yang tengah menangis tanpa suara sambil tangannya meremas kuat-kuat kertas penyebab Maminya sekecewa ini.

"Mami, maaffin Atta."

"Aden, kenapa bisa luka kaya gini? Bibi obattin yuk dahinya," ajak Sutin, wanita paruh baya itu jelas merasa iba, dia faham betul mengenai apa yang terjadi. Dan ini bukan kali pertama Rea lepas kendali seperti sekarang ini.

Pandangan Sutin seketika tertuju ke vas bunya yang pecah berserakan di lantai. Ya tadi sewaktu Rea mendorong tubuh Atta, sebuah vas bunga dari atas lemari jatuh dan mengenai kening Atta.

"Mami marah sama Atta Bi."

"Atta bikin Mami sedih."

"Atta bikin Mami kecewa," isak Atta merasa putus asa. Pipinya yang sudah bawah juga ingus yang kelaur dari hidungnya.

"Masalah nilai lagi Den?" dengan hati-hati Sutin menanyakan hal tersebut.

Atta menganggukan kepalanya lemah, "Atta semalem ketiduran, jadi nggak belajar, dan Mami marah waktu lihat nilai Atta jelek."

Darah segar masih mengalir, membentuk aliran sungai dari kening bocah malang itu. Luka di dahinya benar-benar tidak Atta hiraukan. Baginya yang terpenting Rea bisa memaafkannya dan akan kembali hangat seperti semula.

Hati Sutin merasa tercubit, dia dengan perlahan mulai mengapai tangan mungil Atta yang terkepal sempurnya meremas sebuah kertas.

"Bibi lihat ya hasil ulangan Aden," tutur Sutin lembut.

Atta menyerahkan apa yang Sutin minta, sebuah kertas yang suda tidaj berbentuk sudah berpindah tangan sekarang, Sutin membuka gulungan kertas itu, dan pandangannya dapat menangkap nilai 90 di sudut kertas.

"Ini nilai Aden udah bagus kok, Aden kan anak hebat. Bibi aja sampai bangga sama Aden," Sutin masih berusaha untuk menghilangkan kesedihan di hati Atta.

"Masih jelek Bi. Belum 100," bantah Atta, dan air matanya kembali mengalir deras.

"Atta takut Mami nggak mau sama Atta lagi. Tadi Mami bilang kenapa bukan Rafa yang jadi anak Mami. Nanti Atta sama siapa kalau Mami nggak mau sama Atta lagi. Atta takut," lirihnya, Atta benar-benar terlihat kacau sekarang.

"Den, Aden tenang aja. Nyonya itu sayang banget sama Aden. Nyonya lagi cape aja makanya ngomong kaya gitu." Sutin mengusap pelan kedua sudut mata Atta, mata Atta benar-benar sembab. Hidung mungilnya juga terlihat memerah.

*******

13/01/23

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang