43-Fakta

353 8 2
                                    

Atta kecil berumur 11 tahun menatap Rea dengan tatapan jengahnya. Terlihat Rea yang tengah menyiapkan butiran obat yang harus Atta konsumsi.

"Minum obatnya dulu Ta," ujar Rea mengulurkan sebutir obat berwarna putih kearah putranya.

"Libur dulu Mi minum vitaminnya." kaya Atta bermaksud menolak untuk menelan pil itu.

"Lah kok libur? Nggak boleh gitu dong sayang." terhitung sudah 12 bulan Atta mulai mengkonsumsi Antiretroviral. Semenjak mengetahui kondisi kesehatan anaknya, Rea mulai mengupayakan semua yang terbaik untuk Atta.

Atta menutup mulutnya sendiri, dengan tangan mungilnya. "Nggak mau Mami, obatnya pait." ujarnya menolak mentah-mentah.

"Kata Mami itu cuma vitamin, libur sehari gapapa kali Mi. Atta bosen harus minum obat terus-terusan. Kaya orang penyakitan aja. Kenapa sih Mi, semenjak Atta kecelakaan Atta harus minum vitamin itu terus-terusan?"

Atta menatap muka Rea, bocah itu benar-benar menantikan jawaban dari Maminya. "Tubuh Atta mulai gampang sakit semenjak kecelakaan waktu itu, jadi kata Dokter Mami harus kasih Atta vitamin biar Atta nggak gampang batuk, sama pilek." balas Rea, mencoba menjelaskan dengan jawaban yang sesederhana mungkin, untuk dicerna oleh otak anaknya.

*******

2 tahun berlalu, kali ini Atta sudah duduk di bangku kelas 6. Atta yang tengah kesusahan mencari jawaban PR-nya, dengan cerdasnya Atta meminjam ponsel milik Rea. "Mami boleh Atta pinjam ponsel Mami, Atta mau browsing tugas. Buat dikumpulin besok. Atta nyari-nyari dibuku belum juga nemu." kata Atta memberikan penjelasan, agar Rea mau meminjami ponselnya.

"Boleh, ambil aja di kamar Mami." sahut Rea masih sibuk dengan masakannya.

Setelah mendapat persetujuam dari Maminya, Atta kembali ke kamarnya, dia mulai mencari jawaban di ponsel pintar milik Rea. "Akhirnya selesai juga." ujar Atta merasa lega.

Perlahan, pandangan Atta jatuh ke arah sebuah botol obat, yang Rea simpan diatas nakas miliknya. Atta yang mulai kepo dengan segera mencari tau tentang obat tersebut. Melalui ponsel Rea.

Diketiknya sebuah merk sesuai seperti yang tertulis di luar botol. Atta tengah terfokus membaca rentetan kalimat demi kalimat. Dan mulai mencari tau apapun yang ingin dia ketahui.

Perlahan airmata Atta mulai mengalir dari sudut matanya, Atta menangis tanpa suara. Namun terlihat jelas bahwa fakta yang barusaja dia ketahui, sudah berhasil membuatnya terkejut sekaligus ketakutan.

Rea memasuki kamar Atta, wanita cantik itu berniat menyuruh anaknya, untuk makan malam. "Atta belajarnya sambung nanti, sekarang Atta makan dulu yuk." ajak Rea, wanita itu menghampiri tubuh anaknya yang tengah duduk di depan meja belajarnya.

Rea merasa ada sesuatu yang aneh dari Atta. Dapat Rea lihat tubuh Atta yang tengah bergetar hebat. Tidak biasanya Atta hanya diam saja saat dia memanggilnya.

"Sayang," pangil Rea, wanita itu mulai menyentuh bahu Atta.

Akhirnya suara isak Atta terdengar, Rea sontak terkejut. Dirinya merasa kaget. Mengetahui Atta yang tiba-tiba menagis tanpa sebab.

"Atta, Atta kenapa sayang?" tanya Rea, dia berjongkok di sebelah kursi yang Atta duduki.

"Mami Atta sakit apa?" pertanyaan itu akhirnya kembali keluar.

Deg.

Jantung Rea terasa berhenti seketika. Untuk pertama kalinya kalimat itu terlontar dari mulut Atta.

"Att...Atta, sehat. Nggak sakit apa-apa." jawab Rea tersendat.

"Mami bohongkan? Mami nggak suka Atta bohong. Tapi kenapa Mami bohongin Atta selama ini Mi?"

Dengan mata yang sembab, hidung memerah serta pipi yang terlihat basah, Atta kembali melanjutkan ucapannya. "Atta kena HIVkan Mi?"

Mulut Rea terbuka sempurna, perlahan matanya ikut berkaca-kaca. "Atta kamu?" pandangan Rea jatuh kearah ponselnya. Matanya melirik pada tulisan di layar ponsel. Terdapat berbagai macam artikel, yang menjelaskan mengenai penyakit yang baru saja Atta sebutkan.

"Jawab Atta Mami! Mami jangan diem aja. Atta marah kalau Mami masih diem!"

"Atta sakit HIVkan Mi?"

Hanya anggukan kepala yang mampu Rea berikan, sebagai bentuk respon dari pertanyaan yang Atta lontarkan.

"Atta nggak perlu khawatir sayang, HIV cuma penyakit kaya demam yang kasih obat juga sembuh." lanjut Rea dengan suara yang dia buat semenyakinkan mungkin.

Atta menggelengkan kepalanya beberapa kali. Airmatanya masih setia berjatuhan. "Mami bohong! Kalau HIV cuma penyakit kaya demam yang bentar aja bisa sembuh, kenapa Atta harus minum obat-obat itu selama 3 tahun ini Mami?"

Harus Rea akui, Atta merupakan anak yang cerdas, dan cukup kritis cara berfikirnya, melebihi anak seusianya.

"Atta mohon sama Mami. Jangan bohongi Atta lagi. Kasih tau Atta Mi." isak tangis bocah itu terdengar semakin jelas.

Rea menggangukkan kepalanya lemah.

"Atta nggak mau mati Mami, Atta masih mau sama Mami. Atta belum mau dikubur. Terus jadi makanan cacing." ujarnya menjelaskan ketakutannya.

"Enggak sayang, Atta nggak bakal kemana-mana. Atta bakal sembuh. Percaya sama Mami." isak tangis Rea mulai terdegar, dengan segera dia menarik Atta kedalam pelukannya.

"Tapi, tadi Atta baca, HIV belum ada obatnya Mi. Yang setiap hati Atta minum cuma obat biar virus Atta nggak semakin banyak." balasnya dengan mata yang semakin memerah.

"Atta belum mau pergi Mami, Atta masih mau sama Mami. Atta takut." lirihnya dengan punggung yang semakin bergetar.

Rea yang tidak sanggup mendengar ocehan anaknya hanya mampu menarik tubuh mungil Atta kedalam pelukannya. Guna memberi ketenangan kepada Atta yang tengah kalut.

"Ssssttttt, Atta sayang. Dengerin Mami. Atta nggak bakal kemana-kemana. Umur Atta masih panjang. Atta nggak perlu takut sayang." ujar Gea mencoba menyakinkan Atta. Ditangkupnya pipi bocah itu. Diusapnya perlahan air mata Atta yang masih menetes.

"Mami sayang Atta, dan Mami nggak akan biarin Atta kenapa-kenapa."

"Atta percaya kan sama Mami?" tanya Rea, mengusap lembut jejak air mata di wajah putranya.

"Atta masih bisa sembuh kan Mi?" dengan tatapan sendu Atta menanyakan hal itu. Walaupun dirinya sudah tau jawabannya, Atta hanya mau berharap jika kelak akan ada keajaiban untuknya.

"Pasti. Anak hebat Mami pasti bisa sembuh." Rea kembali memeluk tubuh ringkih putranya. Dia mengecup beberapa kali puncak kepala bocah dalam dekapannya itu.

Tanpa bisa Rea tahan, air matanya kembali mengalir. Sakit perasaannya terasa sangat sakit sekarang. Ibu mana yang rela jika putranya jadi penderita HIV? Virus yang sampai sekarang belum ada obatnya. Virus yang bahkan jadi sumber kematian banyak orang.

Sepasang ibu dan anak itu berpelukan seerat mungkin. Mereka tengah saling menguatkan satu sama lain. Dunia benar-benar tengah menjatuhkan keduanya ke titik terendah mereka.

"Atta anak hebat. Kita hadapi semuanya sama-sama ya Ta."

"Ada Mami yang lebih hebat," sahut Atta lirih, dalam pelukan Rea.

*****

26/03/23

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang