48-Hancur

719 16 3
                                    

Tubuh ringkih Atarangi dipeluk erat oleh Sutin dan Mardi. Berulang kali Atta memberontak dalam rengkuhan kedua orang dewasa itu.

"Lepasin Atta Bi, Pak!" serunya dengan sisa tenaga yang dirinya punya.

"Atta mau marahin orang-orang jahat itu. Pak Mardi sama Bi Sutin kenapa nggak bantuin Atta?!" teriak Atta geram.

Dengan sekuat tenaga Atta masih mencoba memberontak, dan usaha bocah berusia 13 tahun itu tidak sia-sia. Dirinya dapat terbebas dari pelukan pembantu dan supirnya.

"JANGAN DI TUTUP!" teriak Atta spontan. Sebisa mungkin dia menghalangi orang-orang yang mulai akan menimbun jenazah Rea.

Sesaat orang-orang yang ada di sana hanya mampu terdiam beberapa detik. Hingga akhirnya Dave memberi kode untuk melanjutkan acara pemakaman istrinya.

"ATTA BILANG JANGAN DITUTUP!"

"Den, jangan kaya gini Den. Kasian Nyonya Rea." Sutin kembali mendekat ke arah Atarangi, dia tau sehancur dan sekehilangan apa Atta saat ini. Karna dirinya saksi sedekat apa hubungan Atta dengan Maminya.

"Bi, Mereka jahat Bi!"

"Atta harus marahin mereka,"

"Den...."

"Kalau Mami ditutup pakai tanah kasian Bi. Mami nggak bisa nafas. Nanti Atta nggak bisa lihat Mami lagi, nggak bisa peluk Mami lagi." rintihnya mulai menyuarakan segala rasa sakit yang dia rasakan.

Kedua mata Atta benar-benar sudah memerah, nafasnya juga terlihat sudah tidak beraturan.

"Aden ingat kan kalau semua yang hidup, pasti akan berpulang? Ini sudah takdir Allah Den. Aden nggak bisa ngerubah itu." dengan nada selembut mungkin, Sutin mencoba memberikan Atta pengertian. Dia harap perlahan bocah dalam pelukannya bisa mengikhlaskan kepergian Rea.

Dave kembali memberi kode agar pemakaman Rea kembali di lanjutkan.

Atta menatap Dave geram, wajahnya semakin memerah, terlihat ada emosi yang besar yang tengah menguasainya saat ini.

"Papi puas lihat Mami Atta pergi?!" tanya Atta tatapan penuh rasa amarah.

Perlahan Atta berjalan menedekati Dave, "Papi puas lihat Mami Atta nggak bisa bangun lagi?!"

"Ini kan yang Papi mau dari lama?"

"Ta..."

Ucapan Dave terpotong, "Kenapa bukan Papi aja yang mati? Kenapa harus Mami?!" perkataan itu terlontar begitu saja dari mulut bocah yang baru lulus SD. Hal itu tentu membuat beberapa pelayat tersentak.

"Kamu ngomong apa Atta! Itu Papa Rafa, dan kamu nggak ada hak nyuruh Papa Rafa mati." seru Rafa tidak terima.

"Diam kamu! Kamu nggak tau apa-apa mending nggak usah banyak omong!" sentak Atta menatap Rafa tajam, marah. Dia benar-benar marah dengan semua orang saat ini.

"Harusnya yang mati tuh Papi sama Mama kamu. Bukan Mami Atta. Kalian semua manusia jahat yang nggak pantas hidup!" ujarnya sambil menunjuk Dave dan Risa bergantian.

"Atta jaga ucapan kamu,"

"Papi nyuruh Atta jaga ucapan Atta, tapi Papi sendiri nggak bisa jaga tingkah laku Papi!"

Atta melirik ke arah gundukan tanah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Perlahan air mata Atta semakin deras keluar, tanpa sedikitpun ada niatan untuk dirinya cegah. "Atta beneran udah nggak bisa lihat muka cantik Mami lagi? Ini Atta beneran udah nggak bisa dengerin suara Mami lagi?" batinnya merasa tidak terima.

Dengan langkah tertatih Atta berjalan mendekati gundukan tanah yang baru saja menimbun Maminya. Atta terduduk tepat di samping makam, yang sudah tertabur berbagai macam bunga.

"Mami," rintih Atta dengan suara nyaris tidak terdengar. Tangan dia terulur, sesekali dia mengali makam Rea dengan kedua tangannya sendiri. "Mami jangan pergi. Atta nggak mau ditinggal Mami," pintanya penuh permohonan. Walaupun dia sendiri paham mau sekeras apapun usahanya, Maminya tidak akan kembali kedalam pelukannya.

Siapa yang tidak menangis melihat pandangan menyesakkan ini? Hampir semua orang di tempat itu meneteskan air matanya.

"Mami,"

Tiba-tiba tubuh Atta di peluk erat oleh 2 orang dari arah samping kanan dan kiri. Seseorang seusia dirinya.

"Ta maaf kita baru dateng," bisik salah satu dari orang itu.

"Arlo, Gea. Atta udah nggak punya Mami. Mami Atta udah pergi sekarang." lirihnya menatap kosong gundukan tanah di depannya.

"Arlo sama Gea enak, masih punya Mama sama Papa, tubuh kalian juga sehat. Kenapa Atta nggak bisa kaya kalian?"

Tangis ke tiga sahabat itu pecah, Gea dan Arlo ikut merasa sakit melihat Atta yang seperti ini. 30 menit lalu mereka mendapat kabar dari grup kelas mereka jika Mami Atta meninggal.

Hal itu tentu membuat mereka, yang merupakan sahabat dekat Atta merasa kaget, mereka masih ingat betul sebahagia apa Atta beberapa jam lalu, saat kepala sekolah mengumumkan jika dirinyalah peraih nilai UN tertinggi. Namun, kenapa sekarang justru rasa sakit yang sahabat mereka alami?

4 jam lalu.

Atta menatap kedua sahabatnya, senyum manis benar-benar terjaga di bibir mungil Atta.

"Ciiie yang nilainya memuaskan." goda Gea sambil menaik-turunkan kedua alisnya, dengan maksud mengoda Atta.

"Hehheh, apa sih." sahut Atta dengan wajah sedikit memerah.

"Ciieee, yang malu-malu kucing." saat ini gantian Arlo yang meledek sahabatnya.

"Selamat ya Ta, perjuangan kamu nggak sia-sia." ujar Arlo sambil mengulurlan tangan kanannya.

"Makasih Arlo,"

"Ini masih jam 10, mau main dulu apa pada langsung pulang?" tanya Gea, menatap Arlo dan Atta bergantian.

"Aku sih terserah kalian aja, mau main dulu boleh, mau langsung pulang juga nggak masalah." jawab Arlo kelewat enteng.

"Euumm, maaf yah. Atta mau langsung pulang aja, mau ngasih kejutan buat Mami." tolaknya, sambil menatap kedua temannya penuh rasa bersalah.

Atta meninggalkan Arlo dan Gea, dari belakang keduanya sama-sama tersenyum tulus. "Aku seneng lihat Atta bisa meraih apa yang dia impikan selama ini," celetuk cewek dengan rambut yang dikucir kuda itu. Dia tau sekeras apa usaha Atta selama ini, untuk membahagiakan Maminya.

"Sama, aku juga ikut seneng," sambung Arlo menimpali.

"Ta, Atta bisa anggap Mama Arlo, jadi Mama Atta juga kok. Arlo malah seneng berbagi Mama ke Atta."

"Iya, Atta juga bisa anggap Bunda Gea, jadi Bunda Atta juga kok." sambung Gea masih mencoba menenangkan sahabatnya yang tengah kalut.

"Dari kecil Atta nggak sama Papi ngak papa, Atta sakit juga nggak papa, tapi Atta nggak bisa kalau nggak sama Mami." batin Atta sesak.

"Atta jangan kaya gini yah, kasihan Tante Rea. Emangnya Atta mau lihat Tante Rea sedih di sana?" Gea menanyakan hal itu, di usapnya pelan punggung Atarangi yang naik turun, sesekali isakan kecil dari mulut Atta bisa Gea dan Arlo dengar.

"Mami aja nggak kasian sama Atta. Mami ningalin Atta, padahal Mami tau, Atta masih butuh Mami. Atta nggak bisa hidup sama Mami."

********

26/03/23

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang