09-Iri

313 17 0
                                    


Setelah menempuh perjalanan hampir 20 menit, akhirnya Atta sampai juga di sekolahnya. Namun, tidak seantusias biasanya Atta justru masih setia duduk di kursi mobil tanpa berniat beranjak sedikitpun.

"Aden buru turun, udah siang ini. Makin terlambat yang ada." titah Mardi menatap majikannya heran.

Bukannya menuruti apa yang Mardi perintahkan Atta justru menggelengkan kepalanya pelan.

"Atta nggak mau turun Pak." lirihnya sambil menundukkan kepalanya, tangannya sengaja memainkan ujung dasi yang tergantung di lehernya.

"Lo kenapa?"

"Atta malu. Gigi Atta masih ompong. Nanti pasti Atta diledek sama temen-temen."

Mardi yang mendengar jawaban polos yang keluar dari mulut Atta, hanya terkekeh pelan. "Aden ngapain malu? Gigi ompong di usia Aden ini hal yang wajar kok."

"Iya wajar, tapi di kelas Atta cuma Atta yang ompong, temen-temen lainnya enggak."

"Bukan enggak Den, tapi belum. Percaya sama Bapak, nggak akan ada yang berani ledekin Aden."

"Tapi," raut keraguan semakin terlihat jelas di muka Atta, bibir dia juga manyun menunjukkan bahwa dirinya tengah merasa risau.

"Apa Aden mau puter balik aja?"

"Nggak mau, nanti Mami ngomel."

Setelah berfikir beberapa saat, Atta akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengambil keputusan. "Yaudah Pak, Atta mau masuk sekolah aja. Masa calon presiden bolos sekolah. Nanti ndak pinter dong Attanya."

Setelah mengatakan hal tersebut, Atta berniat untuk turun, tak lupa di raihnya sebuah tas yang sebelumnya tergeletak tidak berdosa di kursi belakang.

"Yaudah Pak, Atta belajar dulu ya." pamit Atta, dan merain tangan Mardi untuk dia cium.

Harus Atta akui, dia menyayangi sosok supir di depannya, bocah itu benar-benar mendapatkan figur seorang Ayah dari supirnya.

"Assalamulaikum," ujar Atta, setelah itu tangan bergerak untuk membuka pintu mobil.

"Waalaikumsalam. Belajar yang benar ya Den."

*******

Atta berjalan menelusuri koridor, dan tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya dia sampai juga di depan kelasnya.

Buat hari ini, bocah itu memang terlihat lebih pendiam tidak seaktif biasanya.

Setelah 3 jam pelajaran, bell istirahatpun berdering, hampir seluruh murid di kelas Atta dengan antusias berlarian ke luar.

Namun, tidak dengan seorang gadis yang lebih memilih menghabiskan waktu di dalam kelas, dia adalah Shena, orang yang dari awal sudah Atta tandai sebagai saingan terberatnya.

Di kelas ini hanya tersisa Atta dan Shena, Atta mengambil bekal yang sudah Rea siapkan. Perutnya kebetulan sudah berdemo dari 1 jam yang lalu, wajar saja dia tidak sempat sarapan tadi pagi.

Shena yang sadar jika di kelasnya masih ada Atta, hanya menundukkan kepalanya. Entah kenapa, Shena merasa sedikit segan jika harus berurusan dengan bocah itu.

Namun, sesekali Shena tidak bisa menahan rasa penasarannya, dia melirik ke arah samping, sembari mengamati gerak-gerik Atta. Kebetulan bangku mereka masih berada di urutan bangku yang sama, hanya berbeda baris. Shena di pojok kanan dekat jendela. Sedangkan Atta di pojok kiri dekat jendela.

Tatapan mata Shena jatuh pada bekal yang Atta bawa, sesekali dia dapat mendengar suara lirih Atta, yang terdengar antusias saat membuka bekal yang dia bawa. "Wih ayam kecap. Mami emang the best deh." ujarnya riang, dan tanpa menunggu waktu lama, Atta segera melahap bekal yang dia bawa.

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang