11-Janji.

248 12 0
                                    


Atta memasuki rumahnya, dia sengaja berjalan terlebih dahulu meninggalkan Rea, sambil memeluk mainan barunya. Kepala Atta dia gelengkan ke kanan dan kiri, seolah menandakan jika perasaannya sudah kembali membaik.

Dari belakang Rea hanya tersenyum kecil menatap putranya.

Rea melangkahkan kedua kakinya untuk mengikuti jejak Atta, bocah itu saat ini tengah membuka mainan yang baru saja dia beli. Belum juga Atta mencoba memainkannya Rea keburu menghentikan niat Atta.

"Mainnya nanti Ta, makan dulu. Tadi katanya laper." tukas Rea sambil berjalan menuju dapur membawa makanan yang sebelumnya dia beli sewaktu perjalanan pulang.

"Iya, iya maaap," balasnya, setelah di rasa mainannya berada di tempat yang aman, Atta segera menyusul Rea.

Bocah itu duduk manis di sebuah kursi. Tangannya sengaja dia gunakan untuk menopang dagunya. Sambil pandangannya tidak henti menatap gerak gerik Rea, yang sepertinya tengah sibuk menyiapkan nasi dan piring untuk makan mereka berdua.

Rea mulai mendudukkan dirinya di depan Atta. Tangan dia terulur untuk mengambilkan putranya nasi lengkap dengan lauk dan sayur dan air putih untuk Atta minum.

Sekedar info Atarangi alergi susu, dia bisa sesak nafas jika mengonsumsi minuman tersebut.

Di tengah acara makannya, suara Atta tiba-tiba terdengar. "Mi, itu tetangga baru kitakan punya anak 3, kok Atta jarang lihat anak satunya ya?" kata Atta mulai mengutarakan keheranannya.

"Maksud kamu?"

"Iya, itu orang yang nempatin rumah di depan itu loh. Itu kan punya anak 3 kan ya Mi? Seusia Atta 2 dia kembar cewek semua. Sama satu lagi cowok tapi tuaan dia dari Atta."

"Atta lihat-lihat, mereka kaya jarang sama anak mereka satunya yang cewek. Kalau pergi-pergi pasti nggak di ajak."

"Husssttttt, jangan suka ngomongin keluarga orang sayang. Kan bisa aja anak satunya lagi nggak bisa ikut," sahut Rea sambil sesekali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Bukan gitu Mi, Atta cuma kasihan sama anak itu. Attakan pengen ngajak dia kenalan tuh, biar di rumah Atta ada temen. Tapi baru Atta mau sapa, dia udah buru-buru masuk ke rumah. Pasti kaya gitu terus. Atta aja heran. Emang muka Atta nyeremin ya Mi?"

Rea yang mendengar ocehan Atta, hanya mengacak lembut rambut putranya. "Mungkin emang begitu Ta karakternya, pendiem, pemalu. Jadi kurang nyaman deket sama orang baru. Nggak kaya kamu bawel poll. Mami aja kadang sampai angkat tangan ngadepin kebawelan kamu."

"Bukan bawel Mi. Atta cuma mencoba menyukuri nikmat yang udah Allah kasih buat Atta. Atta udah dikasih mulut ya Atta gunain buat ngomonglah. Masa mau diem-diem aja. Rugi!"

"Udah beresin dulu makannya, jangan ngomong mulu. Keselek ntar kamunya," pesan Rea menimpali.

"Iya, Mi. Ini Atta lanjut makan kok."

Suasana hening beberapa saat. Hingga nasi di piring keduanyapun mulai habis tanpa sisa. Rea bangkit dari tempat duduknya, sambil membawa bekas piring kotor yang sengaja dia tumpuk dan di bawanya ke wastafle untuk dia cuci sekalian.

Atta mengekori jejak Maminya. Dan dia sengaja duduk di meja pantri untuk mengawasi Rea. Entahlah bagi Atta melihat rutinitas Maminya adalah hobby yang nggak bisa dia lewatkan.

"Besok Atta ada ulangan matematika kan?" tanya Rea, dirinya masih sibuk menyabuni piring kotor yang baru saja mereka pakai.

Atta menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sebagai bentuk bahwa dirinya membenarkan pertanyaan Rea.

"Atta tau kan, apa yang harus Atta lakukan?" Rea bertanya sembari menata piring yang baru saja dia cuci ke rak piring.

"Tau. Nilai Atta harus sempurna kan, Mi?"

"Bisa?"

"Atta usahain ya Mi?"

"Mami mau jawaban pasti Atarangi!"

Atta terdiam, dia menghela nafas sejenak, lantas mejamkan kedua matanya beberapa detik. Momen seperti ini adalah salah satu perlakuan Rea yang membuat bocah itu sedikit merasa tertekan.

"Iya Atta janji, besok nilai sempurna yang akan Atta dapatkan!" ujarnya penuh ketegasan. Namun, harus Atta akui. Dirinya merasa sedikit risau. Terlebih jika mengingat Shena, gadis itu satu sekolah bahkan, satu kelas dengannya. Atta merasa sekeras apapun dia berusaha mengalahkan Shena termasuk sebuah ketidak mungkinan.

"Bagus. Ini baru anak Mami. Yaudah sana Atta mandi dulu. Bau banget badan kamu tuh."

Mendengar celetukkan Rea, seketika Atta merasa hawa tegang yang baru saja menguasai mereka berdua memudar.

"Iiisshhhhh, Mami! Atta nggak bauk. Orang badan wangi gini dibilang bau." bocah itu turun dari tempat duduknya, sesekali dia menciumi keteknya secara bergantian, bermaksud memastikan sesuatu.

Perlahan kening Atta menyerkit sempurna, saat sebuah bau yang sedikit kurang sedap dapat hidungnya deteksi.

"Nggak bau?" tanya Rea serasa menahan tawa.

"Bau asem Mi. Atta baru inget tadi ada jam olahraga disuruh main sepak bola buat anak cowok. Jadi wajar kalau Atta bau keringat." Atta menunjukkan cengiran polosnya, sambil mengaruk-garuk dahinya sendiri.

"Yaudah Atta mau mandi dulu," katanya sambil berjalan menjauhi dapur. Tujuannya saat ini adalah kamarnya sendiri.

15 menit berlalu, Atta baru saja selesai mandi. Dia sengaja keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk yang dia lilitkan di pinggangnya. Dengan badan yang tanpa menggunakan sehelai kainpun.

Atta berjalan menuju lemari, tempat pakaiannya tersimpan. Setelah menemukan apa yang dirinya cari, Atta segera memakainnya.

"Dah nggak bauk asem lagi. Udah wangi. Udah ganteng juga." ujar Atta percaya diri. Dia berjalan ke kamar mandinya, untuk menggantungkan handuk basah yang baru saja dia pakai.

Setelah itu Atta berjalan ke ranjangnya, dan menjatuhkan dirinya untuk berbaring di kasur empuk itu. Kedua tangannya sengaja dia lipat untuk dijadikannya sebagai bantalan. Pandangan mata Atta, menatap kosong langit-langit kamarnya.

Perlahan lirihan Atta mulai terdengar, memecahkan kesunyian. "Atta takut, kalau besok dapat nilai jelek dan bikin Mami kecewa." gumam Atta risau.

Hingga perlahan rasa kantuk datang dan menguasai dirinya. Kesadaran Atta perlahan menghilang. Dirinya terlelap masih dengan posisi semula.

Beberapa saat kemudian, Rea memasuki kamar putranya. Dia lantas membenarkan posisi tidur anaknya, dan menyelimuti tubuh Atta.

"Maafin keegoisan Mami Atarangi. Mami hanya mau semua yang terbaik buat Atta."

Rea sadar, dirinya belum bisa sepenuhnya jadi ibu yang baik buat putranya. Kerap kali Rea tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri yang berakhirnya, dengan dirinya yang melukai fisik serta batin putranya.

Rea menatap wajah Atta sendu. Dirinya kerap kali merasa berdosa, di sini, putranya adalah korban dari keegoisan dirinya dengan Dave.

Setelah puas menatap wajah damai putranya, Rea perlahan berjalan menuju pintu keluar. Tidak lupa ditutupnya pintu kamar Atta, sebelum dirinya meninggalkan kamar bernuansa biru langit itu.

******

30/12/22

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang