49-Kehilangan yang Sesungguhnya

965 25 2
                                    

Atta memasuki kamarnya dengan tatapan kosong. Dikuncinya pintu kamar Atta terlebih dahulu. Malam ini dia bener-bener tidak membutuhkan siapapun. Kedua mata bocah itu sudah sangat bengkak. Satu hal yang saat ini dia rasakan, Atta merasa dunianya hancur dalam hitungan jam.

"MAMI JAHAT SAMA ATTA!"

"MAMI NINGGALIN ATTA!"

"MANA JANJI MAMI YANG MAU BARENG-BARENG SAMA ATTA?!"

"KENAPA MAMI MILIH BUAT PERGI DULUAN?!"

teriaknya kembali lepas kendali, di berantakinnya semua barang-barang di kamar dia. Buku pelajarannya, baju-baju dalam lemari, serta bantal, selimut juga sprai yang sudah tergeletak tidak berdosa di atas lantai.

Yang terlintas di otak Atta, saat ini dia hanya ingin meluapkan semua rasa sakit hatinya.

Atta menatap tajam ke arah figura kaca berisikan foto dirinya dan Rea yang tengah berpelukan. Dia lantas bangkit dan melemparkan figura itu ke tembok kamarnya.

PRRANNKKKK....

Pecahan figura itu mengambarkan sehancur apa perasaan Atta.

"Mami ingkar janji, Mami bohongin Atta," isaknya lirih, dan perlahan tubuhnya mulai jatuh meluruh. Kaki dia terlalu lemas untuk menopang berat badannya sendiri.

"Mami kamar Atta berantakan. Biasanya Mami ndak suka lihatnya kan. Biasanya Mami ngomel-ngomel ke Atta."

"Mami, Atta ndak mau sendiri. Atta mau ikut Mami."

******

Keesokan harinya, kesadaran Atta mulai kembali. Dia pingsan di lantai tanpa seorangpun tau.

Bocah itu berjalan tergesa ke arah pintu, meninggalkan ruang kamarnya yang persis seperti kapal pecah.

Atta berjalan menuruni tangga, terlihat Dave, Risa, dan Rafa yang masih berada di rumah dia. Namun, Atta sama sekali tidak memperdulikan keberadaan mereka. Kali mungilnya melangkah menuju dapur.

Dari kejauhan Dave juga Risa menatap gerak-gerik bocah itu.

Atta berjalan menuju rak piring, dan mulai mengambil sebuah piring juga sendok.

"Aden laper, bentar ya. Masakan Bibi bentar lagi mateng kok. Aden duduk dulu di meja makan." titah Sutin sedikit merasa bersyukur akhirnya majikannya mau keluar kamar juga. Setelah kemaren benar-benar tidak mengizinkan siapapun masuk kedalam kamarnya.

Bukannya menuruti perintah Sutin, Atta justru berjalan ke tempat di mana biasanya Rea menyimpan makanannya.

Dengan tatapan kosong, dia meraih sebuah mangkok yang terisi makanan kesukaan dia. Atta membawa mangkok itu ke meja makan.

Sutin dengan lembut menahan tangan Attarangi yang akan menyuapkan sesuap lauk ke dalam mulutnya.

"Aden jangan makan ayam kecap itu ya, nunggu masakan bibi jadi dulu. Nggak lama kok. 5 menitan lagi udah siap."

Namun, lagi dan lagi dirinya kembali mengabaikan nasehat Sutin. Atta justru mulai memakan makanan di depannya, dengan lelehan air mata yang perlahan kembali membanjiri pipinya.

"Den, jangan di makan ayam kecapnya. Itu udah basi sayang." Sutin mengatakan hal tersebut dengam suara tercekat.

Wanita itu merasa khawatir, dia perlahan mulai meraih mangkok di depan Atta, bermaksud untuk disingkirkannya.

"JANGAN AMBIL MAKANAN ATTA BI!" sentaknya menatap Sutin tajam. Emosi dia benar-benar tidak terkendali.

"Den, ini udah basi. Udah nggak layak makan. Ayam ini masakan kemaren. Bibi masakin ayam kecap yang baru ya buat Aden," tawar Sutin, dan kembali bermaksud mengambil makanan yang sedang Atta makan.

"ATTA BILANG JANGAN AMBIL MAKANAN ATTA! BIBI PUNYA TELINGA NGGAK SIH!" teriak Atta sambil memukul meja dengan kedua tangannya.

"Tapi...."

"Atta mau makan masakan Mami. Jangan ganggu!" tegasnya. Dan kembali melanjutkan aksinya. Atta ingat, kemarin sebelum berangkat sekolah Atta sempat meminta Rea untuk memasakkannya makanan kesukaan bocah itu. Belum juga dirinya menikmati masakan Rea, Maminya lebih dulu memberikan dia kejutan yang mungkin tidak akan pernah dirinya lupakan sampai kapanpun.

"Ini terakhirnya Atta makan masakan Mami. Besok-besok kalau Atta mau lagi gimana?" batinnya menatap nanar beberapa potong ayam di depannya.

Atta tidak memperdulikan mau rasanya sudah mulai asem, atau teksturnya yang sudah berlendir. Yang ada di fikirannya ini masakan Maminya, yang pastinya akan sangat dia rindukan kedepannya.

Sutin menatap gerak-gerik Atta dengan tatapan iba. Sebagai seseorang yang sudah merawat Atta dari bayi, dia tentu tau sesakit apa perasaan bocah itu.

Ada 9 potong paha ayam yang Atta makan tanpa nasi. Di depannya sudah ada sisa tulang. Saat ini sisa 1 paha yang sedang dirinya makan.

Dan isak tangis Atta terdengar histeris tiba-tiba saat ayam-ayam di depannya sudah habis tanpa sisa.

"Aden," Sutin memeluk erat tubuh Atarangi.

"Nangis aja Den. Bibi tau hati Aden sakit banget sekarang." Sutin mengusap lembut punggung bocah, yang saat ini berada dalam pelukannya.

"Mami jahat Bi. Mami ninggalin Atta." rintihnya dengan tangisan yang terdengar menyayat hati Sutin.

"Atta masih mau makan masakan Mami Bi."

"Atta masih butuh Mami, buat rawat Atta."

"Buat nemenin Atta."

"Atta sendiri sekarang."

"Ada Bibi Den. Bibi yang akan gantiin tugas Nyonya buat jagain Aden, Bibi nggak akan ninggalin Aden."

Sutin ingat betul, kemarin pagi tidak biasanya Rea datang menemui Sutin dan memeluk erat tubuh wanita yang sudah di anggapnya sebagai Ibunya sendiri.

Rea berulang kali mengatakan, "Saya titip Atarangi Bi."

Atta melepaskan pelukan Sutin. Dengan tatapan kosong, dia menatap bekas piring kotor di depannya. Sebelum akhirnya bocah itu kembali mengeluarkan kalimat yang membuat hati Sutin kembali tercubit. "Kata guru agama di sekolah Atta, orang yang meninggal karena bunuh diri, nggak bakal masuk Surganya Allah. Pasti bakal dimasukin ke Neraka."

"Atta nggak mau Mami masuk Neraka Bi. Atta nggak mau Mami di siksa sama malaikat di sana."

"Aden Doa'in Nyonya ya. Biar semua dosa-dosa Nyonya di ampuni sama Allah. Biar Nyonya juga tenang di sana. Mami Aden orang baik Den."

Dari kejauhan Dave menatap putranya dengan tatapan yanh tidak bisa di artikan. Ingin rasanya mendekat atau sekedar memberikan beberapa kalimat penenang untuk putranya itu, nyatanya Dave sedikit tau diri. Dia tau Atta masih menyimpan dendam terhadap perlakuan dirinya selama ini.

"Maaf Ta. Maaffin keegoisan Papi," batin Dave sendu.

"Mas nggak mau ke sana? Atta butuh Papinya sekarang." tawar Risa, yang faham jika suaminya tengah merasa bimbang.

Hanya gelengan singkat yang Dave tunjukan. "Biarin Atta sama Bi Sutin dulu Ris. Saat ini cuma Bi Sutin yang bisa bikin Atta sedikit tenang. Aku nggak mau, kehadiran aku justru bikin emosi Atta semakin lepas kendali."

"Kita rawat Atta ya Mas, kita gantiin tugas Mbak Rea. Atta masih butuh sosok Ibu dan Ayah."

"Iya, 1 minggu lagi kita ajak Atta buat tinggal sama kita," kata Dave, dengan tatapan yanh masih setia menatap putra bungsunya.

"Izinin Papi menebus semua kesalahan Papi Ta. Papi janji nggak akan nyakitin kamu lagi. Papi akan lakuin semua yang terbaik buat kamu sayang."

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang