13-Gusar

207 13 0
                                    


Sepanjang perjalanan pulang Atta hanya terdiam. Pandangannya dia alihkan ke arah luar jendela, sembari menatap kosong jalanan ibu kota yang terlihat padat. Beberapa kali Mardi mendengar helaan nafas kasar anak dari majikannya.

"Aden kenapa? Ada masalah? Kok diem aja dari awal masuk ke mobil," tanya Mardi, sembari melirik sekilas ke arah Atarangi.

"Atta nggak papa Pak. Cuma lagi puasa ngomong aja," sahutnya tanpa minat. Kepala bocah itu tengah di penuhi bayangan Rea yang tengah menatapnya murka. Takut, satu hal yang menguasai perasaan Atta sekarang. Bahkan kedua tangan mungilnya meremat kursi yang sedari tadi dia duduki.

15 menit berlalu, Atta masih betah menatap ke luar jendela, dan Mardipun sepertinya sedang tidak ingin menganggu bocah di sampingnya. Hingga suara Atta tiba-tiba terdengar. "Pak, tolong berhentiin mobilnya Pak!" titah Atta, mendengar hal itu, sebenarnya Mardi merasa heran, hanya saja dirinya segera menepikan mobil yang dia kendarai, dan mulai memberhentikannya seperti permintaan Atta.

Saat mobil sudah sepenuhnya berhenti, tanpa diduga, Atta membuka pintu mobil dan berlari keluar. Mardi menatapnya heran. Namun, dirinya tetap memeperhatikan apa yang akan Atta lakukan. Jika termasuk di luar batas wajar baru dirinya bertindak.

Kedua bola mata Mardi, tidak luput dari bocah yang tengah berjalan tergesa menghampiri seseorang, Mardi merasa tidak begitu asing dengan muka gadis yang Atta temui.

"Hallo," sapa Atta yang tiba-tiba berdiri mengagetkan gadis itu. Bocah cantik seusia dirinya, yang tengah menatap Atta penuh kekhawatiran. Dia takut anak laki-laki di depannya akan berperilaku buruk.

"Aku Atta." Atta mulai mengenalkan dirinya, sambil mengulurkan salah satu tangan kananya, bermaksud agar gadis di depannya mau membalas uluran tangan dia.

Bukannya menjawab atau membalas uluran tangan Atta, gadis dengas tas ungu yang berada di belakang punggungnya, justru menatap Atta was-was. Sesekali kedua kaki mungilnya mulai berjalan mundur, bermaksud menghindari Atta.

"Hey, Atta nggak jahat kok. Kamu nggak usah takut. Atta juga udah kaya, jadi nggak bakal nyulik apalagi ngejual kamu," oceh Atta saat menyadari, jika gadis berambut sebahu itu tengah menatapnya tidak nyaman.

"Nama kamu siapa?" Atta mulai berani menayakan hal pribadi tentang gadis yang di temuinya di jalan itu.

Hening, tidak ada balasan apapun dari pertanyaan Atta. Namun, Atta tidak kehabisan ide, dia melirik sekilas ke name tag yang terpasang sempurna di baju seragam gadis itu.

"Ouuuhhhh, Rayla toh nama kamu. Cantik namanya," ujar Atta masih berusaha mencairkan suasana.

"Kamu baru aja pulang sekolah? Kok nggak bareng sama saudara kembar atau kakak kamu? Mama kamu ke mana kok nggak jemput?" cerca Atta tidak bisa menahan kekepoannya.

Rayla gadis yang sedari tadi Atta ajak bicara, hanya menunjukkan tatapan sendu dari kedua sorot bola matanya.

"Kamu kok tau aku punya kembaran?" untuk pertama kalinya, Rayla merespon Atta. Namun, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan. Ditambah lagi suara klakson pengendara lain yang sedikit menganggu interaksi sepasang bocah SD itu.

"Tau dong, kita kan tetanggaan. Orang rumah Atta aja di depan rumah Rayla," dengan antusias Atta menjawab keheranan Rayla.

Mendengar jawaban yang terdengar dari mulut Atta, Rayla menatap Atta sedikit tidak percaya. Rayla memang kemampuan otakknya sedikit lambat, untuk mengingat muka orang-orang yang baru di temuinya. Wajar saja jika Rayla merasa kaget, saat tiba-tiba ada seorang bocah yang berdiri di depannya.

"Kamu mau pulang? Bareng sama Atta aja yuk. Rumah kitakan searah." ajak Atta, sambil sesekali menatap wajah Rayla.

"Eh, tapi." Rayla bermaksud menolak ajakan Atta. Dia merasa tidak biasa ada di posisi ini.

"Udah ngakpapa, ayo. Dari pada jalan kaki lama. Cape juga," rayu Atta lagi, sembari menarik salah satu pergelangan tangan Raylan dan menuntunnya menuju mobilnya yang terparkir 4 meter dari jarak mereka berdua berdiri.

Atta membuka pintu belakang, dia lantas menyuruh Rayla buat masuk, dan disusul dirinya di sebelah gadis itu. Setelah itu Atta menutup pintu mobil. Dia menatap ke arah supir yang ada di depannya.

"Pak Mardi, Atta duduk di belakang ya, nemenin temen Rayla." Mendengar hal itu, Mardi tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanyaa.

"Kamu sekolah di mana?" Atta mulai menanyakan apa yang ingin dirinya ketahui.

"Di SD Bumi Pertiwi." lirih Rayla menundukkan kepalanya. Aneh itu yang Rayla rasakan kali ini. Diaa tidak biasa berinteraksi. Dengan siapapun, dan tiba-tiba ada orang baru yang mmenghampirinya dan menanyakan berbagai macam hal kepadanya.

"Ouh, jauh juga ya," celetuk Atta yang sadar jika jarak sekolah gadis di sampingnya dua kali lipat dari jarak sekolahnya.

"Sekarang kelas?"

"Satu,"

"Wihhhh, sama dong kaya Atta. Atta juga kelas satu."

Sepanjang perjalanan benar-benar diisi oleh kecerewettan Atta yang mengintrograsi Rayla, menanyakan ini itu dan segala macamnya ke gadis yang baru saja dia kenal. Rayla sendiri hanya menjawab singkat pertanyaan-pertanyaan Atta. Kepribadian kedua bocah itu benar-benar bertolak belakang.

Mardi yang mendengarkan semua ocehan anak majikannya, hanya terkekeh kecil. Dalam hatinya dia merasa lega, akhirnya wajah Atta tidak murung lagi, seperti 30 menit lalu.

Hingga tanpa mereka sadari, saat ini mobil yang mereka naiki sudah sampai di halaman rumah Atta. Mereka berdua turun dari mobil. Sebelum pergi Rayla menyempatkan diri untuk mengucapkan terimakasih terlebih dahulu ke lelaki yang baru saja memberikan tumpangan kepada dirinya.

"Eum, makasih Atta, udah bantuin aku." cicit Rayla merasa tidak enak. Kepala dia sengaja di tundukkan sambil memegangi tali tas yang dia gendong di punggungnya.

"Sama-sama Rayla, kalau kamu mau, kita bisa kok berangkat sekolah dan pulang bareng-bareng. Nanti Atta jemput ke sekolah kamu," tukas Atta memberikan sebuah penawaran.

"Ah, nggak. Nggak usah. Aku udah biasa kok berangkat dan pulang sendiri," tolak Rayla spontan. Rayla benar-benar membatasi dirinya dari orang luar. Dia tidak ingin dekat ataupun menaruh kepercayaan lebih ke orang lain. Walaupun sekedar dalam zona pertemanan. Rayla hanya takut waktu menghancurkan lagi perasaannya untuk kesekian kalinya. Rayla, bocah malang itu sudah terlalu kenyang kehilangan orang-orang yang dia sayang.

"Aku pulang ya, makasih sekali lagi Atta,"

"Makasih juga Bapak supir," Rayla menolehkan mukanya menghadap Atta dan Mardi secara bergantian. Sebelum akhirnya bocah itu berjalan menjauh, melangkahkan kakinya meninggalkan halaman rumah Atta.

Atta menatap punggung Rayla dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Dia dapat melihat sorot mata gadis itu yang terlihat berbeda.

"Den,"

"Aden!" seru Mardi membuyarkan lamunan Atta,

"Ah, iya Pak,"

"Ngapain Aden ngelamun, buru masuk ke rumah," titah Mardi, yang segera dibalas anggukan lemah dari bocah itu.

Atta seketika merasa tubuhnya berubah menjaadi kaku, bulir-bulir keringat mulai menetes dari dahinya.

Takut, panik, gusar, kata yang menggambarkan kondisi hati Atta saat ini. Dia takut menghadapi amarah Maminya. Namun, ketakutan terbesarnya dia takut menatap sorot mata penuh kekecewaan dari mata cantik Maminya.

******

08/01/23



Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang