Atta menuruni tangga dengan langkah antusias. Ini untuk pertama kalinya Dave akan mengantarkan bocah berusia 8 tahun tersebut ke sekolahnya.
Terlihat seragam SD yang melekat sempurna ditubuh Atta. Lengkap dengan dasi yang mengantung di lehernya, juga ikat pinggang yang melilit di pinggang dia.
"Selamat pagi!" seru Atta menyapa Dave yang sudah duduk di meja makan, juga Rea yang tengah menyiapkan sarapan untuk suami juga anaknya.
"Pagi Ta," sahut Rea. Kembali melanjutkan rutinitas dia.
"Udah siap?" tanya Dave menatap putranya lekat-lekat. Dave sadar dia melewatkan pertumbuhan Atta selama ini, rasanya baru kemarin dia mengumandangkan adzan di telinga kanan Atta. Dan sekarang putranya sudah sebesar ini.
"Udah dong Pi," sahutnya. Setelah itu dia mendudukan dirinya di sebuah kursi.
"Topinya awas jangan sampai ketingalan Ta," pesan Rea.
"Iya Mi, aman kok. Udah Atta siapin di dalam tas."
"Atta mau bawa bekel nggak hari ini?" tawar Rea, sambil menatap lekat putranya memanti jawaban.
"Eummmm, mau deh Mi. Sama buah juga ya Mi."
"Iya, buahnya mau apa?"
"Apel aja, Atta lagi pengen makan itu soalnya."
Rea menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Atta makan dulu sarapannya, Mami siapin bekal kamu di belakang." setelah mengatakan hal tersebut, Rea berjalan menjauhi meja makan.
Atta mulai menikmati makanannya, Dave juga melakukan hal yang sama. "Gimana Pi. Masakan Mami enakkan?" tanya Atta meminta pendapat.
Dave menganggukkan kepalanya. Tak lupa dia mengacungkan ibu jarinya ke arah Atta. Tanda jika dirinya setuju dengan apa yang putranya ucapkan.
"Mami mah ndak ada lawan kalau masalah masak tuh. Orang Mami masaknya pake resep cinta. Dijamin makyussss!" ujar Atta hiperbola. Lengkap dengan mulutnya yang masih terisi penuh.
"Makanan di mulut telen dulu Ta, baru ngomong."
"Heheheh, iya Pi, iya. Maaaf."
"Sekolah kamu gimana selama ini? Ada kendala nggak?"
"Aman kok Pi. Lancar jaya tanpa hambatan."
"Inget ya Ta, di sekolah tuh belajar, nyari ilmu. Jangan nakal."
"Ya kalau Atta nakal berarti Attanya lagi khilaf Pi. Namanya juga manusia."
Rea ikut bergabung, lengkap dengan bekal yang sebelumnya dirinya siapkan. Suasana pagi ini terasa lebih ramai juga hangat. Kehadiran Dave berefek sebesar itu untuk Rea juga putranya.
"Makasih Mas," kata Rea tiba-tiba.
Mendengar hal itu, kening Dave seketika berkerut. Dia masih tidak bisa menebak kemana arah pembicaraan Istrinya. "Makasih buat?"
"Makasih udah luangin waktu kamu buat kita dari kemaren."
******
Atta memasuki ruang kelasnya dengan senyum lebar di bibir dia. Saat ini perasaan bocah itu bisa di bilang sangatlah membaik.
"Gini ya rasanya deket sama Papi?" gumam Atta sesekali tersenyum tipis.
"Nyaman. Hati Atta juga seneng."
Atta mengati kelasnya yang masih kosong, di dalam ruangan berwarna hijau itu hanya ada dirinya seorang. Dia melirik ke jam yang melingkar di lengan kirinya.
"Pantes belum pada berangkat. Masih jam 6 lebih 5 menit ternyata," ujarnya, sambil berjalan mendekati bangku tempat dirinya duduk.
Atta meletakkan tasnya, sebelum akhirnya dia juga menjatuhkan pantatnya di kursi berbahan kayu itu.
"Ngapain yak biar ndak bosen?" gumam Atta, sembari menatap langit-langit ruang kelasnya.
Tiba-tiba sebuah ide, terlintas di benak bocah itu. Atta membuka rasel, dan mengeluarkan buku gambar lengkap dengan kotak pensil dari dalam tasnya.
Bocah itu mulai mengoreskan pensilnya di buku gambar, mengambar 3 object. Atta benar-benar menuangkan imajinasinya dalam kertas polos tersebut.
Tidak sampai 15 menit karya lukisnya pun jadi. Terlihat Atta yang mengambar sebuah ayunan, yang terisi dirinya juga Rea, tak lupa Dave yang dia gambar di belakang ayunan. Dengan maksud Dave yang mendorong ayunn tersebut.
"Atta harap, orang-orang yang Atta sayang di penuhi kebahagiaan. Mami, Papi, Bi Sutin, sama Pak Mardi juga." ocehnya mengutarakan isi hati dia.
*******
Dave benar-benar menepati janji dia. Siangnya sepulang sekolah, mobil lelaki itu sudah terparkir sempurna di gerbang sekolah Atta.
"Kenapa lihatin Papi mulu Ta?" tanya Dave kepo. Dia sadar jika sepanjang perjalanan Atta kerap kali mencuri pandang ke arahnya.
"Muka Papi ganteng, jadi ndak heran kalau muka Atta sama gantengnya sama Papi," jawab Atta santai.
"Kamu kalau udah gede nanti, pasti lebih ganteng dari Papi," ujar Dave mengutarakan pendapatnya.
Mendenger hal tersebut, Atta menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Kalau itu mah udah jelas. Ndak perlu di ragukan lagi kegantengan Atta nanti. Bahkan bisa berkali-kali lipat dari Papi sekarang." ya Atta tetaplah Atta, bocah dengan tingkat percaya diri stadium akhir.
Dave terkekeh kecil mendengar celotehan Atta. Jika di bandingkan dengan Rafa, putranya yang satu ini terkesan lebih cerewet.
"Papi semalem kenapa? Tante Risa ada perlu apa?" tanya Atta kepo.
"Ouh, itu. Mama Risa cuma ngasih tau, kalau Rafa masuk rumah sakit."
"Pantes Papi buru-buru keluar semalem."
"Kalau Atta yang masuk rumah sakit juga, Papi khawatir ndak?"
"Loh, Atta kok ngomong gitu sih?"
"Atta cuma nanya Pi. Jawab aja ih. Gimana Papi khawatir juga ndak kalau Atta yang masuk rumah sakit?"
"Khawatir lah Ta. Kalian berdua kan sama-sama anak Papi."
Tanpa terasa mobil yang Dave kendarai sudah sampai di depan rumah Rea. Sebelum turun Atta membuka tasnya terlebih dahulu, dan mengeluarkan selembar kertas yang sebelumnya dia gulung dan di ikat pita. Atta memberikan kertas itu ke Dave.
"Buat Papi," Atta mengulurkan kertas itu.
Dave menerima barang yang Atta kasih dengan raut penuh kebingungan. "Apa ini?"
"Buka aja Pi."
Dave tanpa berlama-lam menuruti perintah Atta. Dengan perlahan dia menarik sampul pita itu. Dan kertar perlahan mulai terbuka.
Tubuh Dave mematung. Perasaannya terasa tidak bisa di jabarkan untuk sekarang ini. Terlihat sebuah lukisan yang tadi pagi Atta bikin. "Itu buat Papi. Maaf kalau gambar Atta jelek ya Pi. Papi mau kan simpen gambar itu?"
"Lukisan kamu bagus Ta. Papi akan jaga ini. Makasih ya,"
"Atta yang harusnya bilang makasih. Makasih Papi udah luangin waktunya buat Atta dari kemarin. Dan tentang kucing Atta udah maafin Papi kok, nanti bilangin ke Rafa ya Pi. Sampaiin maaf Atta ke Rafa, dari kemarin Papinya Atta pinjem di rumah Atta."
"Ta..."
Belum juga Dave melanjutkan ucapannya. Atta lebih dulu mendekatkam wajah dia. Dan mencium pipi kanan Dave. "Atta sayang sama Papi." setelah mengatakan hal itu, Atta meraih tasnya dan membuka pintu mobil. Bocah itu berlari begitu saja meninggalkan Dave.
Dave terdiam dengan semua kalimat yang Atta lontarkan. Dari awal hubungan Dave dengan Rea sudah tidak bisa di pertahankan. Dave juga ingin merawat dan menjaga Atta seperti yang di lakukan ke Rafa. Hanya saja kondisinya benar-benar tidak menungkinkan.
*****
17/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...