Atta mengerjapkan kedua matanya. Rasa pening tiba-tiba hadir, sesekali dia memejamkan matanya untuk menetralisir cahaya yang menerobos retinanya."Atta mimpi buruk," gumamnya saat mengingat mimpi yang baru saja dirinya alami.
"Perut Atta laper," dia mengusap perutnya, saat menyadari jika cacing-cacing didalam sana mulai mengeluarkan aksi unjuk rasa, kepada yang pemilik tubuh.
"Makan dulu deh." putusnya. Setela mengatakan hal itu dia segera turun dari ranjang tempat tidurnya, dan berjalan menuju pintu. Atta berjalan menuruni tangga menuju dapur. Namun, baru di anak tangga terakhir tubuhnya lantas mematung melihat pemandangan di depannya.
Sutin dan Mardi yang menyadari keberadaan Atta, secara serentak berjalan mendekat dan menarik tubuh Atta ke dalam pelukannya.
"Ini ada apa Bi?" tanya Atta otaknya masih mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
Seketika cairan bening dari sudut matanya mulai berjatuhan. Dia baru sadar jika mimpi buruknya memanglah nyata.
"Atta tadi cuma mimpi Bi. Kok sekarang nyata sih?" tanya Atta dengan suara bergetar.
Atta memberontak di dalam pelukan Sutin dan Mardi, dia mengingat semuanya. Dengan langkah tertatih Atta berjalan mendekati jenazah Rea yang saat ini sedang di bacakan yasin. Selembar kain menutupi tubuh Rea dari ujung kaki sampai muka wanita itu.
Atta mengulurkan tangannya, dia membuka penutup kepala Rea, kedua matanya semakin memanas. "Mami, Mami kalau ngantuk pindah yuk bobonya. Di kamar aja yang ada kasurnya. Di sini dingin Mi." bisik Atta lembut. Dia benar-benar berharap jika Rea hanya tertidur dan akan segera bangun, kemudian menjalankan kewajibannya seperti biasanya.
"Mami, Mami denger Atta kan? Atta nggak mau Mami sakit. Pindah yuk."
Kedua mata Rea terpejam sempurna. Kain kafan membungkus tubuh kurus Rea. Hancur. Satu kata yang saat ini Atarangi rasakan.
Bertepatan dengan itu Dave datang beserta Risa dan Rafa. Risa menutup mulutnya tidak percaya. "Mama tante Rea udah meninggal?" tanya Rafa polos.
Atta yang mendengar pertanyaan itu, sontak menatap Rafa tajam. "JAGA OMONGAN KAMU! MAMI ATTA MASIH ADA! NGGAK MENINGGAL KAYA YANG KAMU BILANG!" teriak Atta hilang kendali.
"Mami bangun," ujar Atta lagi. Tangan mungilnya mencoba melepaskan ikatan yang melilit di tubuh Rea.
Sutin yang sadar dengan hal itu semakin merengkuh tubuh malang Atta. Airnya matanya tidak berhenti menetes sejak 3 jam yang lalu. Sutin merasa sakit sekaligus kehilangan. Namun, dirinya sadar jika bocah di dalam pelukannya berribu kali merasakan rasa sakit yang dia rasakan.
"Aden lagi apa sayang?" tanya Sutin dengan suara tersendat.
"Atta mau lepasin ikatan di tubuh Mami Bi. Atta mau nyuruh Mami ganti baju. Atta nggak suka lihat Mami di pakein kain kafan kaya gini." isak Atta terdengar memenuhi ruangan. Bahkan para pelayat ikut meneteskan air matanya.
Dave berjalan mendekat. Dia memeluk tubuh putranya. "Atta, ikhlasin Mami kamu ya."
"Rea, bangun. Jangan tinggalin Atarangi. Lihat sehancur apa anak kita sekarang." batin Dave mulai merasakan rasa bersalah yang teramat sangat. Andai dirinya bisa adil, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.
Tadi pagi Rea memang menghubunginya, mendiang istrinya menyerahkan hak asuh Atta ke tangannya. Namun, dirinya tidak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini.
"Mami! Bangun. Atta marah nih sama Mami kalau Mami nggak bangun!" seru Atta dalam pelukan Dave. Bocah itu masih yakin jika Rea tidak akan tega meninggalkannya. Suara Atta bahkan nyaris hilang. Hari ini benar-benar seperti mimpi buruk untuknya.
Atta memberontak dalam pelukan Dave. Dia lantas berjalan menaiki tangga dengan terburu. Tidak sampai 2 menit Atta kembali membawa sesuatu dari tangannya.
Setelah itu Atta berlari menuju jasad Rea yang terbujur kaku. "Mami lihat ini. Ini penghargaan dari sekolah Atta. Ini buat Mami. Atta pinter loh Mi. Atta dapat peringkat satu kaya yang Mami mau. Mami bangun yuk. Kasih selamat ke Atta. Kasih hadiah buat Atta. Ayo Mami bangun. Mami peluk Atta terus masakin makanan yang Atta suka." ocehnya sambil menggerak-ngerakkan tubuh Rea, yang sama sekali tidak memberikan respon.
Ruangngan itu benar-benar dipenuhi isak tangis para manusia yang menatap peristiwa itu.
Sadar jika usahanya sia-sia. Atta perlahan menolehkan mukanya menatap pembantu serta supir yang selama ini menemaninya. "Bi Sutin. Pak Mardi. Mami Atta kenapa nggak mau bangun? Mami kenapa ninggalin Atta? Atta nakal ya makanya Mami nggak mau sama Atta lagi?" lelehan air mata masih setia mengalir membasahi pipi gembil bocah yang baru lulus sekolah dasar itu.
Lidah Sutin terasa kelu. Dia memeluk Atta seerat yang dirinya mampu. "Aden, Aden yang sabar ya sayang. Aden nggak boleh kaya gini. Kasian Nyonya Rea." diciumnya puncak kepala Atta beberapa kali.
"Mami Atta minta maaf kalau Atta nakal. Tapi Mami jangan tinggalin Atta. Atta sama siapa setelah ini. Atta cuma punya Mami." gumamnya sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.
"Atarangi. Masih ada Papi sayang. Papi akan jagain Atta setelah ini." Dave meraih salah satu tangan putranya. Darah dagingnya yang dia temui beberapa bulan sekali.
"Atta nggak mau sama Papi. Atta mau sama Mami aja."
Atta terdiam beberapa saat. Sebelum akhirnya dia kembali mengeluarkan suaranya. "Papi jahat!"
"Papi bikin Mami pergi."
"Selama Mami hidup, Papi cuma bisa nyakitin perasaan Mami sama Atta."
"Papi bikin orang yang Atta sayang ninggalin Atta."
"Atta nggak papa kok, nggak punya Papi. Atta juga nggak papa Papi mau sama Rafa terus. Tapi Atta nggak mau kehilangan Mami."
"Atta maunya sama Mami aja, nggak mau sama yang lain." Nafas Atta terdengar tidak beraturan. Matanya sudah sangat bengkak. Ingus juga mulai mengalir dari hidungnya, Namun, sama sekali tidak dia hiraukan.
"Kalau Atta ada salah, harusnya Mami bilang, biar Atta perbaiki. Bukan main pergi kaya gini."
"Atta minta Maaf kalau belum bisa jadi anak yang baik buat Mami. Atta minta maaf Mi, baru bisa kabulin permintaan Mami sekarang."
"Nanti yang bangunin Atta buat berangkat sekolah siapa Mi? Yang nyiapin baju seragam siapa? Nanti kalau ada PR yang nggak bisa Atta kerjain, Atta nanya siapa Mi? Kalau Atta kangen ayam kecap buatan Mami gimana?"
"Atta harus apa setelah ini Mi? Atta binggung. Atta juga takut." kata demi kata terus Atta lontarkan di depan jenazah Maminya. Tangan mungil Atta mengusap muka Rea, dari dahi, Alis, mata, pipi, hidung, mulut. Semua tidak luput dari usapan lembut Atta.
Tatapan mata Atarangi berubah menjadi kosong. Dia tidak memperdulikan apapun saat ini.
Sutin menatap Atta iba. Dia tau sehancur apa Atta. Dia tau sedekat apa hubungan Atta dengan Rea. Mereka berdua benar-benar saling menguatkan serta melengkapi satu sama lainnya.
"Nyonya. Nyonya yang tenang ya di sana. Semoga semua amal baik Nyonya di terima di sisi Allah. Masalah Den Atta, Atta nyonya nggak perlu khawatir. Saya akan jangain Aden seperti anak kandung saya sendiri." batin Sutin, menatap muka pucat Rea.
*********
26/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...