3 bulan setelah kepulangan Atta dari rumah sakit, Rea mendapat telfon dari pihak rumah sakit. Dan disitulah awal dari semuanya terjadi.
"Kami benar-benar meminta maaf kepada Ibu, karena tidak melakukan prosedur, yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit, waktu melakukan proses transfusi darah. Saya baru saja dapet pasien yang meninggal karena kasus percobaan bunuh diri Bu. Dan setelah di selidiki pasien memiliki riwayat penyakit HIV. Naasnya almarhum yang meninggal adalah orang yang sudah mendonorkan darahnya ke putra Ibu."
"Yang saya khawatirkan Atta anak Ibu juga terjangkit virus itu. Karena mendapat donor darah dari penderita. Saya benar-benar meminta maaf atas kecerobohan kami sebagai Dokter."
Seperti kaset rusak. Ucapan itu terus saja berulang di telinga Rea.
"Apa lagi ini Tuhan?" lirihnya sambil meremas ponsel yang dirinya genggam.
"Ya Allah Atta."
Setelah mendapatkan kabar tersebut Rea segera membawa Atta untuk melakukan berbagai macam tes. Guna mengetahui kondisinya yang sebenarnya.
"Mi kita mau ngapain ke rumah sakit? Siapa yang sakit Mi?" tanya Atta mempertanyakan keheranannya.
"Mami mau periksain kesehatan kamu Ta. Sama minta vitamin ke dokter."
"Lah Atta kan ndak sakit, buat apa cek-cek segala?"
"Kamu nurut aja ya Ta. Mami mohon." pinta Rea gelisah.
Setelah hampir 3 jam menunggu, hasil tes pun akhirnya keluar. Raut wajahnya seketika menegang. Perasaan marah mengusai diri dia tanpa bisa Rea kendalikan.
"Siapa yang patut saya salahkan Dok? Siapa yang bertanggung jawab atas kesialan yang menimpa anak saya?" tanya Rea menatap tajam dokter serta suster di depannya. Suara Rea tercekat. Fakta yang baru saja dirinya ketahui sukses bikin dunia dia runtuh dalam sekejap.
Nasib buruk kembali terjadi. Ketakutan Rea berubah menjadi kenyataan. Atta positif sebagai salah satu penderita HIV di usianya yang masih dibawah umur.
"Mami," panggil Atta ikut bergabung, dan berjalan mendekati Rea. Bocah itu baru saja dari toilet.
"Mami kenapa?" tanya Atta sedikit khawatir. Terlebih saat dia melihat wajah Rea yang memerah, serta urat lehernya yang sedikit tertarik.
Menyadari keberadaan putranya. Rea sebisa mungkin mengendalikan diri dia. Rea benar-benar tidak mau Atta tau, mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
"Mami nggak papa Ta. Kita pulang sekarang ya," ajak Rea menarik lengan kanan Atta dengan sedikit kencang.
Atta terdiam, dia bisa merasakan jika Rea mencengkram tangan kanannya dengan kuat. Juga langkah kaki Rea terburu. Tapi untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi bukanlah hal yang tepat. Atta tau jika mood Maminya sedang memburuk.
"Mami jalannya pelan-pelan. Atta ndak mau Mami jatuh."
Tanpa Rea dan Atta sadari, setetes air mata jatuh dari sudut mata Rea.
*****
Rea menatap putranya yang tengah terlelap dengan tatapan penuh kehancuran. Dunia Rea terasa berhenti seketika. Fakta yang baru saja dia ketahui sukses menikam hatinya tanpa mengenal ampun.
HIV? Lelucon macam apa ini? Apa belum cukup putranya selama ini menderita? Kenapa semesta secandu itu menyakiti putranya?
Rea menatap nanar sebuah obat yang tersedia di atas nakas, tepat di samping ranjang putranya. Dengan tangan yang gemetar hebat, Rea meraih botol itu. ARV atau yang sering di kenal dengan istilah Anti-Retroviral.
"Kamu mungkin akan jadi sahabat buat putraku ke depannya," lirihnya dengan lelehan air mata. Sebisa mungkin Rea menahan isak tangisnya agar tidak sampai pecah. Rea sendiri tidak mau Atta terbangun, dan menanyakan beberapa hal yang buat saat ini belum dirinya temukan jawabannya.
Penjelasan dari dokter berulang kali terputar di otaknya bagai kaset rusak. Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban, pihak rumah sakit siap menanggung seluruh biaya pengobatan Atta sampai lelaki itu sembuh, sebagai bentuk kelalaian pihak rumah sakit.
Yang menjadi pertanyaan, kapan Atta bisa sembuh? Virus-virus sialan itu sudah mulai berkembang biak di tubuh putranya.
Rea sendiri tidak tau siapa yang patut dirinya salahkan saat ini. Pihak rumah sakitkah? Dave Suami dia yang sulit dihubungi saat kondisi Atta di ambang kematian? Atau pemuda yang menjadi pendonor untuk Atta beberapa bulan lalu? Atau jutru dirinya sendiri yang tidak dapat melakukan apapun?
Kepala Rea terasa ingin pecah memikirkan masalah yang berulang kali menyerang keluarganya. Hingga tanpa sadar, isak tangisnya sudah tidak bisa lagi dirinya bendung.
Atta mengerjapkan kedua matanya saat pendengaran dia menangkap suara tangis seseorang yang terdengar menyakitkan.
"Mami," panggil Atta, dapat dia lihat Rea yang duduk di sudut ranjang membelakanginya. Juga punggung wanita cantik itu yang bergetar hebat.
"Mami nangis? Siapa yang jahatin Mami? Bilang Atta Mi? Biar Atta marahin orang itu!" cercanya sambil mendekatkan tubuh mungil di ke arah Rea.
Masih dengan posisi yang sama, Rea hanya terdiam. Sambil menutupi muka dia dengan kedua tangannya.
Tangisan Rea semakin pecah, untuk saat ini dia benar-benar tidak bisa menahan rasa sakit di dalam hatinya. Sesak, dada wanita itu terasa sesak. Bahkan untuk sekedar menghirup oksigen rasanya terlalu sulit.
Merasa tidak memukan jawaban apapun. Atta memilih turun dari ranjang. Dia segera berpindah posisi tepat di hadapan Rea.
Tubuh mungilnya terduduk di lantai, kedua tangannya Atta gunakan untuk memeluk pinggang ramping Rea.
"Mami kalau mau nangis, nangis aja. Ndak papa," bisik Atta lembut, sambil mengusap-usap punggung Rea.
"Mami, ada Atta di samping Mami. Bagi semua rasa sakit Mami buat Atta. Mami masih punya Atta. Mami ndak sendiri." Dengan suara lembutnya Atta mengucapakan rentetan kalimat itu. Bukannya makin tenang tangis Rea justru terdengar semakin jelas.
Masalahnya justru putranyalah yang tengah dirinya tangisin. Dia takut kelak Atta akan kalah dengan penyakitnya. Dia takut Atta tidak akan bertahan lama. Dirinya juga takut jika Atta akan di kucilkan. Dia tidak terima jika nanti banyak pasang mata yang menatap tubuh putra kesayangannya dengan tatapan hina, dengan tatapan jijik karena takut tertular virus yang ada di tubuh putranya.
Ya begitu banyak ketakutan yang menghantui Rea saat ini. Jika boleh ingin rasanya dia menukar kesehatannya untuk kesembuhan dia. Masa depan Atta masih panjang.
"Mami, jangan bikin Atta takut. Mami kenapa?" tanya Atta sekali lagi. Bahkan dia ikut berkaca-kaca. Baginya kebahagiaan Rea adalah yang patut dirinya utamakan.
"Papi jahat ya Mi?"
"Papi nyakitin hati Mami ya Mi?" cerca Atta masih mencoba menebak segala kemungkinan.
"Atta jangan tinggalin Mami ya Nak. Atta harus sama Mami terus." kalimat itu keluat begitu saja dari mulut Rea. Dia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya nanti, jika putranya lebih dulu di ambil ke pangkuan sang pencipta.
"Atta nggak akan ke mana-mana Mi. Atta janji."
******
25/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...