20-kekeh

233 15 0
                                    


Atta tersentak. Tatapannya seketika berubah. Sebisa mungkin dia memastikan pendengarannya jika baru saja telinga dia salah menangkap informasi.

"Mami barusan bicara apa? Maaf pendengaran Atta sedikit bermasalah," tanya Atta mencoba memastikan. Dengan perasaan harap-harap cemas, Atta kembali memasang indra pendengarannya lebar-lebar.

"Atarangi, Kamu ikut Papi kamu ya. Jangan tinggal sama Mami lagi," ulang Rea, mengucapkan kalimat yang sama persis, dengan yang dirinya ucapkan beberapa detik lalu.

Atta terdiam. Jatungnya seperti berhenti mendadak. Sakit itu yang hati Atta rasakan kali ini. Bahkan rasa sakitnya berkali-kali lipat dari rasa pusing di kepalanya.

Sepersekian detik, sorot mata Atta tiba-tiba berubah. Dia menatap Rea dingin. Ini kali pertama Rea melihat tatapan itu dari mata putranya.

Kedua tangan Atta mengepal sempurna. Meremat selimut rumah sakit yang menutupi kaki dia.

"Mami usir Atta?" tanyanya dengan nada penuh kekecewaan.

"Ta,"

Ucapan Rea terpotong begitu saja, "Mami masih marah sama Atta gara-gara Atta nggak sepintar Rafa makanya Mami usir Atta?"

"Atta bisa kok belajar lebih keras lagi, kalau perlu Atta nggak usah tidur."

"Besok... Besok Mami beliin Atta buku baru ya Mi. Buat kelas 2. Atta bakal gunain waktu libur kenaikan kelas kok buat mempelajari semua materi baru."

"Kalau perlu Mami daftarin Atta buat les private juga Mi."

"Atta bisa kok lebih unggul dari Rafa. Atta janji. Tapi jangan usir..."

Belum juga Atta menyelesaikan ucapannya, Rea keburu meletakkan jari telunjuknya tepat di mulut Atta. "Ta, bukan gitu sayang. Mami nggak marah sama Atta. Mami sayang sama kamu Ta. Karena itu Mami minta kamu buat tinggal sam Papi kamu."

"Sayang gimana Mi? Atta sayang Mami. Dan Atta mau deket-deket sama Mami. Atta mau ada di samping Mami. Kenapa Mami nggak mau sama Atta?" sorot mata Atta seketika berubah sendu. Rasa sesak tengah menguasai perasaan bocah berusia 8 tahun itu.

"Atta dengerin Mami sayang. Mami cuma nggak mau Atta terluka kalau dekat Mami. Mami nggak mau Atta sakit lagi kaya sekarang."

"Atta justru bakal lebih sakit kalau jauh sama Mami!"

"Ta kan Atta yang bilang kalau Atta kangen Papi? Kalau Atta mau deket sama Papi? Kalau Atta mau dipeluk Papi?" sebisa mungkin Rea masih mencoba untuk merayu anak tunggalnya. Jangan katakan Rea ibu yang jahat, dia punya penyakit mental. Dan dirinya tidak mau Atta semakin terluka saat dia lepas kendali seperti yang sudah-sudah.

"Harus ya Mi Atta sama Papi, tapi harus jauh dari Mami? Kenapa nggak Papi aja yang pindah ke rumah kita. Kita sama-sama bertiga Atta, Mami, sama Papi."

Gelengan lemah Rea tunjukkan. Setelahnya Rea tersenyum miris. "Maaf Ta, kamu tau sendiri kan jawabannya?"

Atta menyerkitkan dahinya. Rasa pening kembali hadir. Bahkan kepalanya terasa lebih berat dari beberapa waktu lalu. Atta menunduk sambil memegangi keningnya sendiri.

"Ta...." pekik Rea panik, saat melihat cairan berwarna merah pekat mengalir dari hidung Atta dan mengotori selimut berwarna putih yang Atta kenakan.

Pandangan Atta berubah menjadi sayu. Semua yang dia lihat berputar begitu saja. Perlahan kelopak mata Atta kembali tertutup. "Mi, jangan suruh Atta tinggal sama Papi," pintanya lirih sebelum sepenuhnya kehilangan kesadaran.

Tubuh Atta jatuh di pelukan Rea, Rea yang panik segera menekan bell untuk memanggil dokter. Setelah itu Rea kembali membaringkan tubuh lemah Atta.

Rea mengambil beberapa lembar tisu untuk mengusap darah yang berasal dari hidup putranya. "Mami juga nggak mau pisah sama kamu Ta. Kamu alasan Mami masih bertahan sampai detik ini," ujar Rea dengan suara tersendat. Diusapnya pelan rambut hitam Atta yang mulai memanjang, bahkan sudah menutupi kening.

Tidak sampai 5 menit, dokter pun datang ke ruangan Atta, dan segera memeriksa kondisi bocah yang saat ini tengah terbaring lemah dengan mata terpejam.

*********

Atta mengerjapkan kedua matanya. Dia tersadar 4 jam setelah dirinya pingsan. Tatapan bocah itu seketika berubah menjadi sendu, saat dirinya mengingat obrolannya dengan Rea.

Perasaan tidak terima kembali hadir menyelimuti hati Atta. Setetes air mata tanpa dia sadari jatuh begitu saja dari pelupuk matanya. "Kenapa Mami jahat, nyuruh Atta pergi dari rumah dan Tinggal sama Papi?" gumamnya lirih, dengan posisi tubuh miring menatap tembok rumah sakit yang di dominasi warna biru laut.

Rea memasuki kamar Atta, dia baru saja dari ruangan dokter untuk membahas mengenai kesehatan putranya, dan saat dia kembali bisa dilihat Atta yang sudah kembali tersadar.

"Atta makan dulu yuk Mami suapin. Ini udah jam makan siang." ajak Rea yang sadar jika Putranya melewatkan jam sarapan paginya.

Tidak seperti biasa, kali ini Atta hanya diam tanpa merespon ucapan Rea sedikitpun. Bocah itu masih diselimuti perasaan takut dan kecewa. Takut dia benar-benar berpisah dengan Rea, dan kecewa sama keputusan yang sudah Rea ambil.

Rea membantu Atta untuk duduk. Setelah itu dia meraih bubur di atas nakas. Dia mengaduk bubur yang sudah rumah sakit siapkan. Rea menarik sebuah kursi, dia duduk di depan ranjang Atta agar mempermudah dirinya menyuapi anaknya.

"Ta, buka mulutnya sayang." Titah Rea lengkap dengan sendok berisi bubur ayam, yang sudah terulur di depan mulut Atta.

2 menit berlalu Atta masih bungkam. Bahkan dia sengaja membuang pandangannya ke arah lain, tanpa berniat melirik Rea sedikitpun.

"Sayang, ini Mami ngomong sama Atta loh. Jahat banget masa Maminya dicuekkin sih." dengan nada pura-pura sedih Rea mengatakan hal tersebut.

Rea sadar mood Atta sedang buruk sekarang, dan dia sendiri tau apa penyebabnya. Mungkin obrolannya dengan Atta beberapa jam lalu yang mengganggu fikiran bocah itu.

"Atta marah sama Mami?" tanya Rea lembut, dia meletakkan bubur ke tempat semula. Kemudian Rea mengusap pelan pipi pucat putranya.

"Ta,"

"Atta nggak mau ikut Papi Mi. Atta nggak mau tinggal sama Papi kalau harus ninggalin Mami," ujar Atta mulai mengucapkan kegundahannya.

"Ta tapi ini buat kebaikan kamu sayang. Mami nggak mau Atta semakin terluka kalau deket sama Mami."

"Justru Atta bakalan sakit kalau jauh sama Mami. Atta mohon Mi, jangan usir Atta. Atta mau sama Mami aja." dengan mata berkaca Atta mengatakan hal tersebut.

Dan tangisan yang sedari tadi dia tahan akhirnya pecah. Punggung Atta bergetar hebat, dengan suara isak tangis yang memenuhi seluruh ruangan. Lelehan air mata semakin deras berjatuhan membasahi pipi Atta.

"Di sana nanti ada Mama Risa juga Ta, yang bisa gantiin Mami. Ada Rafa juga kakak kamu, yang bisa kamu ajak main sama belajar bareng sayang. Atta nggak bakal kesepian lagi kaya di rumah."

"Tapi nggak ada Mami. Atta cuma mau sama Mami. Bukan yang lain Mi."

******

14/02/23

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang