Sesekali Gea mencuri pandang ke sosok bocah di sampingnya. Jujur entah kenapa dia merasa sedikit tertarik dengan lelaki itu, Gea ingin bisa menjalin pertemanan dengan Atta. Setidaknya dari yang dirinya amati, dia merasa jika nasibnya dan orang yang baru saja dia kenal tidaklah jauh berbeda.
"Kenapa orang-orang dewasa pada egois ya?" gumaman itu terdengar begitu saja, memecahkan keheningan yang sejak beberapa menit lalu ikut bergabung diantara mereka berdua.
"Orang tua kamu gitu juga ndak?" tanya Atta pada gadis di sampingnya.
Sayangnya, Gea hanya menanggapi pertanyaan Atta dengan muka bodohnya. Sekaligus menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu nanya sama aku?"
Terdengar helaan nafas kasar dari Atta. Atta memejamkan kedua matanya, dengan maksud menahan emosi yang siap meluap. Entah kenapa untuk hari ini mood bocah itu memanglah sedikit memburuk.
"Atta nanya sama semut yang lagi baris," ketusnya sambil mengamati rombongan semut yang tidak jauh dari posisinya.
"Ouh," sahut Gea santai. Seolah mempercayai perkataan konyol yang terlontar dari mulut Atta.
"Kamu kok ngeselin sih?" kedua mata Atta melotot. Menatap Gea tajam.
"Aku salah apaan? Ini aku dari tadi diem aja loh?" tanya Gea merasa tidak terima.
"Atta nanya sama kamu. Kurang kerjaan banget Atta ngeganggu semut yang lagi gotong royong," decak Atta kelewat sebal.
"Sama kok. Mama sama Papa juga ada kumat-kumatnya," ungkap Gea, sesekali terdiam membayangkan apa yang terjadi di keluarganya.
"Kumat?"
"Hem,"
"Orang dewasa emang kadang gitu ya, suka ngerasa paling bener sendiri. Dan berakhir anak-anaknya yang jadi korban." lanjut Gea, dengan tatapan yang perlahan mulai terlihat sendu.
"Tapi nggak papa, selama aku masih punya abang, semuanya akan baik-baik aja."
Atta sepertinya sedikit tertarik dengan arah pembicaraan Gea. Kepala dia menoleh, menatao gadis tomboy di sampingnya. "Kamu punya abang?"
Terlihat Gea yang menganggukan kepalanya. "Punya, namanya Abang Sion, dia baik. Selalu belain aku kalau Mama lagi ngomel."
"Terus Lea siapa? Tadi kamu sempet nyebut nama itu soalnya."
"Lea adik aku, dia cuma beda 1 tahun dari aku. Kalau sama abang, aku beda 8 tahun dari dia."
"Wihhh, rumah kamu pasti rame ya?"
"Ya gitu deh."
"Kamu sendiri gimana? Punya kakak? Atau punya adik?"
Atta terdiam beberapa saat. Otaknya sibuk menyusun kalimat dari pertanyaan Gea. "Aku punya satu Kakak, tapi beda Mami," lanjut Atta.
Gea mengerutkan dahinya heran. Dia sedikit kesulitan mencerna ucapan teman barunya itu. "Hah maksudnya gimana?"
"Ayah aku punya istri 2. Terus punya anak aku dari Mami sama Rafa dari istri satunya."
"Emang boleh ya punya istri banyak banyak kaya gitu?" lanjut Gea polos, karena yang selama ini dia ketahui jika seseorang tidak boleh punya istri lebih dari satu.
"Boleh lah itu buktinya Papi aku aja bisa."
"Orang gede emang paling ribet ya Ta ya. Padahal mah satu aja cukup nggak bakal habis. Kenapa nambah-nambah coba?"
Atta mengangkat kedua bahunya, tanda jika dirinya sendiri tidak tau jawabannya.
"Berarti rumah kamu rame juga dong, punya 2 mama."
Atta tertawa hambar. Sebelum akhirnya dia menajawab. "Rame dari mananya? Orang Atta aja cuma berdua sama Mami."
"Papi kamu tinggal sama istri satunya?"
"Iya,"
"Kenapa nggak bareng-bareng aja. Ngumpul satu rumah?"
"Mana Atta tau, tapi Atta bersyukur. Paling ndak Atta masih punya Mami. Atta ndak tau gimana jadinya kalau Mami pergi dari hidup Atta."
Gea mencuri-curi pandang ke bekas luka baru dari tangan Atta. "Bukannya Mami kamu nyakitin kamu ya Ta?"
"Luka ini bukan sepenuhnya salah Mami kok. Attanya aja yang nakal. Jadi Mami marah," sahut Atta sambik mengamati goresan luka memanjang di lengannya sendiri.
Pembicaraan kedua bocah itu terus berlanjut, hingga tanpa sadar langit sudah mulai menghitam. Tanda jika sang surya sudah mulai selesai menjalankan tugasnya.
"Udah hampir magrib, kita keasikan ngobrol sampai lupa waktu. Atta mau pulang, takut Mami khawatir. Gea juga pulang udah hampir malem, nanti di culik tante kun-kun." ujar Atta sambil bangkit dari kursi tersebut. Tidak lupa dia juga beraih tas yang terletak tidak berdosa tidak jauh dari tempat dia duduk.
"Iya," sahut Gea mengikuti apa yang Atta lakukan. Keduanya berjalan beriringan. Hingga di sebrang jalan Atta dan Gea mengambil arah yang berbeda.
"GEA!" seru Atta berbalik dan memanggil nama teman barunya itu. Merasa ada yang menyebut namanya, Gea menoleh, dia mendapati Atta yang tersenyum lebar, jauh dari ekspresi pertemuan pertama mereka beberapa jam lalu.
"Atta seneng ketemu dan ngobrol banyak sama Gea, sampai ketemu lagi," teriak Atta dari jarak 5 meter.
Sudut bibir Gea ikut tertarik. Matanya perlahan mulai menyipit hampir tertimbun pipinya yang tembem. "Gea juga seneng ketemu Atta. Sampai jumpa juga Ta."
*****
Sepanjang perjalanan pulang, Atta hanya menunduk sesekali kakinya menendang batu-batu kecil yang menghalangi langkah kaki dia.
Perutnya sedari tadi sudah berbunyi, seharian ini perutnya sama sekali tidak terisi makanan. Tadi dia bangun kesiangan dan tidak sempat sarapan. Waktu istirahat Atta juga tidak ke kantin. Dan siangnya dia justru pergi menjauh dari rumah waktu mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.
Dengan rasa takut, Atta berjalan perlahan memasuki gerbang rumahnya. Terlihat Mardi yang berjalan tergesa menghampiri bocah itu. "Aden dari mana aja Den? Orang rumah khawatir seharian nyari Aden?" tanya Mardi panik.
"Atta cape, Atta masuk dulu ya Pak." pamitnya tanpa menjawab pertanyaan yang Mardi lontarkan.
Atta terus berjalan, hingga sampailah dia di depan pintu. Kedua tangannya terangkat untuk membuka pintu rumahnya.
"Mami," panggil Atta, menghampiri wanita cantik yang tengah terduduk di sofa, dengan air mata yang bercucuran membasahi pipi Rea.
Rea menoleh, bahunya seketika meluruh. Perasannya berubah menjadi rasa lega. "Atta kamu dari mana aja sih?! Mami khawatir. Mami takut kamu kenapa-kenapa Ta," seru Rea berjalan tergesa menghampiri putra semata wayangnya.
Rea memutar-mutarkan badan Atta, bermaksud memastikan sesuatu, jika Atta memang baik-baik saja.
"Atta ndak papa Mi. Maaf ya Atta bikin Mami khawatir. Maaf Atta pergi tanpa pamit." sesalnya dengan kepalan yang dia tundukkan menatap ubin tempat dirinya berpijak.
"Atta kenapa sayang, ada masalah? Cerita sama Mami Ta!" perintah Rea, menatap putranya lembut. Karena tidak biasanya Atta seperti ini.
"Atta ndak papa kok Mi. Tadi Atta cuma nyari angin. Terus malah ketemu temen baru di taman. Terus ngobrol banyak tau-tau hari udah sore. Dan perut Atta sekarang laper pake banget Mami." jelasnya panjang lebar. Sesekali tangam mungilnya mengusap perutnya sendiri, yang masih terbungkus seragam sekolahnya.
******
20/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...