"Eumm, makasih udah nganter aku," cicit Shena, merasa sedikit tidak enak.
"Sama-sama, sekarang kan kita sahabat," celetuk Keyla santai.
"Besok berangkat sekolah bareng ya, nanti aku jemput." Dengan tatapan penuh binar, Keyla mengatakan hal tersebut.
Awalnya Shena berniat menolaknya, "Tapi..."
"Nggak ada tapi-tapian. Sekarang kamu masuk, bersihin diri kamu, dan besok pagi aku ke sini kita ke sekolah bareng."
"Eum, iya. Makasih Keyla."
"Makasih juga Om, Tante. Maaf Shena ngerepotin kalian," ujarnya merasa sungkan.
"Nggak papa sayang, Tante malah seneng, kalau di sekolah barunya Keyla udah punya temen, apalagi orangnya sebaik kamu." Fara tersenyum tulus, menatap bocah seusia putrinya itu.
"Yaudah kalau gitu, Shena masuk dulu ya Om, Tante." pamitnya sambil membuka pintu mobil.
Setelah memastikan jika Shena sudah aman sampai rumahnya, Soni kembali menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah Shena yang tampak luas.
Shena berjalan perlahan memasuki rumahnya, sepi, sunyi, sekaligus dingin. Di bangunan mewah itu Shena merasa hampa, tidak ada kehangatan yang benar-benar dirinya rasakan. Keluarga? Bocah malang itu terlalu asing dengan kata tersebut.
Shena memasuki kamarnya. Dia menjatuhkan tas berwarna biru laut begitu saja di lantai. Setelah itu Shena berdiri tepat di depan cermin, mengamati pantulan dirinya sendiri dengan tampilan yang bisa di bilang sangat berantakan.
Air mata Shena kembali menetes dari sudut matanya, tanpa suara dia mengambil gunting yang terletak di meja belajar dia. Shena memejamkan matanya beberapa saat. Sebelum tangannya kembali terulur untuk mengusap rambutnya sendiri.
"Selamat tinggal," pamit Shena pada rambut panjangnya. Dengan tangan bergetar Shena mulai perlahan memotong rambut dia sendiri.
"Nggak papa, nanti masih bisa panjang lagi," lirihnya saat melihat lantai yang sudah di penuhi dengan potongan rambut dia.
Jika bukan ulah teman-temannya yang memotong asal rambut Shena, dia pasti tidak akan melakukan hal ini. Rambut yang sebelumnya sepinggang, sekarang hanya tersisa sebahu.
"Nggak papa. Shena masih tetep cantik kaya Bunda kok," ujarnya dengan suara tercekat saat mengamati penampilan dirinya sendiri di layar cermin.
Kedua mata Shena sudah memerah. Sebisa mungkin dia menahan agar isak tangisnya tidak sampai pecah. Terlebih saat berulang kali banyangan kelakuan buruk temannya dengan tidak tau diri, terputar di otak Shena seperti kaset kaset rusak.
"Bun, Shena cape."
"Shena sendiri."
"Kakak jauh, dan Ayah jarang pulang."
"Shena juga takut setiap ke sekolah." rintihnya sembari memeluk erat figura berisi foto Nathalie, yang tengah mengandung dirinya.
"Kalau Bunda hidup, pasti Shena punya temen ngobrol. Pasti Bunda mau kan dengerin semua yang Shena rasain?"
"Shena nggak minta dilahirin Bun, kalau pada akhirnya itu justru bikin Bunda tidur buat selama-lamanya."
Sekuat apapun dia menahan, isak tangisnya perlahan mulai terdengar. Ada rasa sesak yang luar biasa di dalam hatinya. Ada luka yang menganga lebar. Ada begitu banyak beban yang bahu mungilnya pikul. Dan selama ini dia atasi sendiri.
*****
Malam harinya pintu kamar Shena di ketuk dari luar. Terlihat Sumi pembantu di rumahnya yang memanggil gadis itu untuk makan malam.
"Non Shena, makan dulu Non."
"Iya Bi," sahutnya singkat.
Shena berjalan menuruni tangga. Sampai akhirnya dia sampai di meja makan. Shena hanya terdiam saat melihat Zet selaku Ayahnya yang saat ini ada di ruangan yang sama dengan dirinya.
Begitu banyak pertanyaan di kepalanya. Namun, tidak berani Shena utarakan. Bahkan untuk sekedar menyebut ayahnya Shena merasa kelu. Dari kecil dia sudah terbiasa sendiri, dan momen Zet yang pulang ke rumah, dia merasa aneh.
Shena duduk di salah satu kursi dengan canggung, satu patah katapun belum dia ucapkan. Entah sekedar menanyakan Zet kapan pulang, atau bagai mana kabar Zet. Shena benar-benar merasa seasing itu dengan sosok lelaki bertubuh kekar di depan dia. Hubungan Ayah dan anak itu terasa hambar.
Shena mulai menikmati makanannya, sesekali Zet melirik ke arah putrinya sendiri. Putri yang jarang sekali mendapatkan kasih sayang darinya.
Di tengah acara makannya. Suara Zet terdengar memecahkan keheningan. "Gimana kabar kamu Shena?"
"Baik."
"Sekolah kamu gimana ada masalah?"
"Enggak," jawab Shena singkat. Sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya. Setelah makanan di piringnya habis tanpa sisa, Shena meraih gelas berisi air untuk meredakan tenggorokannya.
Zet mengamati setiap gerak-gerik Shena. Ternyata putrinya sudah tumbuh sebesar ini. "Shena mirip banget kaya kamu Nathalie." batin Zet terasa hatinya di tikam tanpa mengenal ampun.
Sadar jika ada yang memperhatikannya, Shena memilih segera bangkit untuk kembali menuju ke kamarnya sendiri.
"Besok Ayah berangkat lagi ke Surabaya Shen," kata Zet memberitau.
"Iya," sahut Shena kembali melanjutkan langkah kakinya tanpa menoleh ke arah Zet.
Zet sadar jika tembok di antara dia dan putrinya terlalu kokoh berdiri menjulang. Dia sendiri belum menemukan cara untuk merobohkan tembok itu. Zet sadar ini semua karena keegoisannya. Hanya saja, Zet benar-benar tidak sanggup jika harus melihat wajah Shena setiap harinya. Itu sebabnya dia memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktunya di luar. Sibuk ribuan lembar kertas yang harus dia tandatangani setiap harinya.
*****
Waktu menunjukkan pukul 21:00, Shena masih sibuk dengan buku-buku di depan dia. Mukanya terlihat serius memecahkan puluhan soal matematika.
"Non bibi bawain susu," ujar Sumi memasuki kamar Shena dan berjalan mendekati gadis itu.
"Iya Bi. Makasih ya."
Sumi duduk di ranjang Shena, dia menatap gadis yang sejak bayi sudah dirinya rawat. "Non Shena kapan potong rambutnya?" tanya Sumi kepo sekaligus heran. Biasanya Shena akan meminta Sumi untuk memotongkan rambut dia.
"Tadi Bi."
"Siapa yang motongin?"
"Shena sendiri. Heheheh, jelek ya?" tanya Shena menatap Sumi meminta pendapat wanita berkepala empat itu.
"Cantik kok Non. Tapi kenapa di potong rambutnya? Dan kenapa nggak panggil Bibi kaya biasanya."
"Eummmm, Shena bosen aja sama rambut panjang. Suka gerah juga."
"Tadi Shena lihat Bibi masih sibuk masak. Makanya Shena nyoba potong rambut sendiri," kilahnya mencari alasan yang terbilang masuk akal.
"Bi, Shena kangen Bunda," gumam Shena tiba-tiba.
"Kira-kira Bunda marah nggak ya sama Shena?"
"Loh marah kenapa Non? Non Shena itu putri kesayangan Nyonya Nathalie. Dulu aja sewaktu Non masih di dalem perut, Nyonya pasti rajin bikin baju, topi, sepatu, di rajut pake tangannya sendiri."
"Kan Shena yang bikin Bunda pergi."
"Kalau waktu itu Bunda nggak hamil Shena, pasti sekarang keluarga ini bakal hangat banget. Bunda yang masih hidup, Ayah juga nggak bakal lembur terus atau bolak-balik ke luar kota. Dan Kak Sean yang mungkin nggak akan ikut oma buat tinggal di luar negri."
Tanpa Shena dan Sumi sadari, Zet sedari tadi memdengarkan pembicaraan keduanya. Lelaki itu berdiri di depan pintu kamar Shena. Kedua tangannya terkepal sempurna, begitu banyak emosi yang tengah menguasai perasaannya.
"Maaf," batin Zet sendu.
******
25/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...