Atta terdiam. Tatapan matanya sontak berubah menjadi dingin. Setelah itu dia menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya hingga ujung rambut.Dave sadar jika dirinya kembali menorehkan luka di hati putranya. "Euuummm, Re..."
Rea bangkit dari tempat tidur, saat menyadari apa yang akan terjadi.
"Pergi Mas, Risa kayaknya lebih butuh kamu."
Kebimbangan seketika menyelimuti perasaan lelaki berkepala tiga itu, dia melirik ke arah putranya yang tidak menimpulkan pergerakan apapun.
"Atta?"
"Ini bukan yang pertama buat dia, aku rasa Atta juga bakal ngerti."
"Eummmm," Dave bergerak gelisah, di satu sisi, dirinya sudah berjanji dengan Atta. Namun, di sisi lain salah satu putranya juga membutuhkan kehadiran dirinya.
Ponsel Dave kembali berdering, dengan langkah tergesa Dave berlari meninggalkan ruangan tersebut.
Setelah memastikan jika tidak ada orang lain lagi selain mereka berdua, Rea berjalan perlahan mendekati ranjang. Wanita cantik itu duduk di ujung tempat tidur.
"Atta, sayang," panggil Rea, bermaksud menarik ujung selimut yang menutupi wajah putranya.
"Atta ngantuk Mi." responnya singkat. Sambil memegangi ujung selimut agar tidak sampai terbuka.
Rea tersenyum miris, batinnya sebagai seorang ibu ikut merasakan sesak. Terlebih saat mendengar nada bicara Atta yang sedikit parau. Bisa dirinya tebak jika putranya tengah mati-matian menahan isak tangisnya agar tidak sampai pecah.
"Atta kalau mau nangis-nangis aja Ta, nggak papa. Mami tau kok kalau hati Atta lagi sakit."
Tepat setelah Rea menyelesaikan kalimatnya, isak tangis Atta akhirnya pecah. Dengan perlahan Rea membuka selimut yang menutupi wajah putranya. Dapat Rea lihat wajah Atta yang sudah basah, juga mata dan hidungnya yang memerah. Tidak lupa punggung dia yang bergetar hebat, tanda jika rasa sakit yang dirinya rasakan tidaklah main-main.
"Salah ya Mi Atta pengen Papi tetep di sini malam ini? Papi udah janji tadi sama Atta. Kenapa di ingkarin?"
"Kenapa Papi tetep pergi Mi?"
Rea menarik tubuh Atta ke dalam pelukannya. Ini bukan kali pertama Dave mengabaikan mereka berdua, tapi kenapa rasa sakitnya masih sama? Dan kenapa putranya yang selalu ada di posisi ini. Tidak bisakah sedetik saja bocah itu mendapatkan apa yang dia mau?
"Atta anak Papi juga kan Mi?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir mungil Atarangi. Hal yang selama ini dirinya simpan akhirnya mampu dia ucapkan.
"Mami tolong jawab Atta, Atta anak Papi juga kan? Sama kaya Rafa kan Mi?" ulangnya semakin tersedu. Dia merasa hatinya teramat sesak. Nafas Atta terdengar semakin tidak beraturan. Satu hal yang menghancurkan perasaan bocah malang itu, ekspektasinya sendiri. Dia benar-benar sudah membayangkan sehangat dan senyaman apa ada di tengah-tengah kedua orang tuanya. Momen yang sampai sekarang masih menjadia angan-angan semata.
Perlahan lelehan air mata itu membasahi pipi Rea, ingin rasanya wanita cantik itu meneriakkan kepada dunia, jika Dave memang ayah kandung Atta. Namun, rasanya untuk saat ini dirinya tidak mampu melakukan hal itu, rasa sesak sama luar biasanya menguasai perasaan dia. Yang mampu Rea lakukan hanyalah membungkam bibirnya rapat-rapat, sembari mencoba menahan isak tangisnya.
"Mami jawab Atta. Atta nanya sama Mami. Atta anak Papi juga kan Mi? Iya kan?" tanyanya dengan suara tercekat.
Sepang ibu dan anak itu sama-sama memumpahkan kesedian, yang selama ini mereka berdua pendam. Jika boleh jujur Rea ingin mendapat perlakuan yang sama seperti Risa istri kedua suaminya. Dia juga ingin Atta mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Namun, kenapa sesusah itu? Kenapa semesta tidak pernah memihak kepada mereka berdua?
"Mi,"
"Atta bukan Anak Papi ya?" kali ini Atta merubah pertanyaannya.
Merasa tidak mampu lagi, mendengar kalimat demi kalimat yang lebih menyayat hati Rea lagi. Dengan nafas tersendat, Rea mencoba menjawab pertanyaan yang Atta lontarkan. "Kamu Anak Papi Dave Ta. Anak Papi sama Mami."
"Tapi kenapa perlakuan Papi ke kita beda Mi? Kenapa Mami harus keluar dari rumah itu? Kenapa Atta cuma berdua sama Mami?!" tanyanya semakin tidak terkendali. Kedua tangan Atta terkepal sempurna. Segala macam emosi telah menyatu menjadi satu. Sebagai seorang anak, apakah salah jika Atta ingin punya keluarga yang lengkap?
"Mami, Atta cuma punya Mami."
"Cuma Mami yang sayang sama Atta."
"Mami jangan pernah tingalin Atta ya, cukup Papi aja. Kalau ndak ada Mami, Atta nanti sama siapa Mi?" lirih Atta mendekap tubuh Rea seerat yang dirinya mampu.
Tanpa mereka berdua sadari, Dave berdiri mematung di depan pintu. Lelaki itu mendengar apa yang istri dan anaknya bicarakan.
Jujur Dave merasa posisinya juga serba salah. Dave menghela nafas perlahan, sebelum dia memutuskan untuk kembali membuka pintu kamar Rea.
"Loh, ada acara apa ini pelukan. Kok Papi nggak di ajak?" tanya Dave sambil berjalan mendekat. Seolah tidak ada terjadi apapun.
Tubuh Rea dan Atta sama-sama mematung. Mereka berdua secara serentak melepas pelukan mereka. Dan menoleh ke sumber suara.
"Papi."
"Mas."
Ujar keduanya secara bersamaan.
"Mas kenapa masih di sini?" tanya Rea dengan mata mengerjap tidak percaya.
Bukannya menjawab pertanyaan Rea, Dave justru membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuk tersebut. Melihat hal itu tentu saja, Atta menatap Papinya heran.
"Papi katanya mau pergi," ujar Atta ketus. Lengkap dengan bibir yang dia manyunkan.
"Nggak jadi, Papi kan udah janji malam ini mau tidur sama Atta," sahut Dave kelewat santai.
Tadi Risa memang sempat menghubungi dia untuk membero tahukan jika, Rafa masuk ke rumah sakit karena keracunan. Beruntungnya saat ini kondisi putranya sudah membaik. Masalah Rafa, dia bisa menjenguknya besok setelah mengantarkan Atta ke sekolah.
"Boong," ketus Atta menatap Dave tanpa minat. Untuk kali ini dia tidak mau berharap lebih lagi, dia tidak ingin hatinya kembali terluka untuk kesekian kalinya.
"Kok bohong sih. Ini Papi udah tiduran di sini masa Atta masih belum percaya?"
"Nanti juga kalau Atta tidur Papinya kabur." gerutunya sambil memeluk guling yang tidak jauh dari posisi duduk dia.
"Yaudah kalau Papi nggal boleh nginep di sini. Papi mending pergi aja." dengan muka yang dia buat pura-pura merajuk, Dave perlahan bangkit bermaksud pergi meninggalkan kamar itu.
"Loh kok Papi mau pergi beneran sih! Ah nggak asik!" seru Atta tidak terima. Salah satu tangannya dia gunakan untuk menahan lengan kokoh Dave.
Melihat pemandangan di depannya, bibir Rea tertarik membentuk senyuman. "Makasih Mas, makasih udah milih tetap tinggal buat malam ini." batin Rea merasa sangat bersyukur.
"Ya kan Atta nggak suka Papi di sini." celetuk Dave, masih mencoba mengoda putranya.
"Kok Papi nyebelin sih. Mi lihat Mi. Papinya ngeselin," adu Atta menatap wajah Maminya bermaksud meminta bantuan.
"Itu mata kenapa Ta, merah gitu," goda Dave sambil menoel pelan pipi tembem Atarangi.
"Kemasukan nyamuk tadi." sahutnya tanpa berfikir panjang.
"Kemasukan nyamuk kok bisa merah banget gitu?" merasa belum puas mengoda putranya, Dave justru semakin gencar melancarkan aksinya.
"Kan kemasukan nyamuk makanya merah. Orang kulit Atta kalau di gigit nyamuk aja pada merah-merah. Apa lagi mata Atta, mata kan lebih sensitif Pi." alibinya dengan logika yang dia punya.
Dave menarik Atta ke dalam pelukannya. "Maaffin Papi sayang, Papi tau Papi salah." Dengan penuh ketulusan dia mengatakan hal itu. Sesekali di ciumnya puncak kepala Atta. Momen ini bisa di bilang langka, melihat hubungan mereka yang sudah lama tercipta jarak.
********
16/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...