"Bagaimana kondisi Anak gue Rani?" tanya Rea yang baru saja datang. Tadi saat Rea tengah sibuk menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk Atta. Seseorang menghubunginya dia adalah Rani, sahabat Rea yang bekerja sebagai dokter psikolog di rumah sakit tempat Atta dirawat.
Rani yang tengah bertugas seketika panik saat melihat seorang bocah yang sangat dikenalnya terbaring lemah di atas bankar, yang didorong oleh beberapa suster. Dari info yang Rani dapat Atta merupakan korban tabrak lari.
"Gue belum tau, kita tunggu Dokter yang meriksa Atta keluar ya." Dipeluknya tubuh Rea yang terlihat bergetar.
"Gue takut Atta kenapa-kenapa Ran. Cuma dia penyemangat hidup gue," lirihnya. Berbagai fikiran buruk berlomba-lomba memenuhi otak Rea. Sungguh dia belum pernah setakut ini sebelumnya.
"Mas Dave, Mas Dave mana Ran? Tadi... Tadi Atta pamit pergi sama Papinya. Kenapa bisa Atta jadi kaya gini?" tanya Rea histeris. Bahkan saking paniknya Rea sampai lupa mengunakan alas kaki."
Rani menggelengkan kepalanya. "Gue nggak tau, gue nggak lihat Dave sama sekali. Tadi Atta di anter sama bapak-bapak yang nolongin dia."
"BRENGSEKKK!!"
"Kalau tau dia bawa Atta cuma buat mau ngebahayain nyawa Atta, nggak bakal gue izinin mereka pergi!" isak tangis Rea semakin terdengar memilukan. Ibu mana yang tidak panik jika anaknya tengah terbaring lemah tidak bedaya.
Dan yang ditunggu akhirnya tiba. Seorang Dokter keluar dari ruang rawat Atta.
"Dok gimana keadaan Anak saya? Atta... Atta baik-baik ajakan Dok? Dia nggak papa kan Dok?" dengan tatapan penuh harap Rea memandang sang Dokter.
"Maaf Bu, Anak Ibu tengah kritis sekarang, ada keretakan pada kaki dan tangannya. Dia juga membutuhkan golongan darah secepatnya."
"Ambil Dok! Ambil darah saya buat nyelamatin nyawa Atta."
"Tapi golongan saya beda sama anak saya," racau Rea semakin frustasi.
"Di rumah sakit ini ada stok darahkan Dok?" tanyanya penuh harap.
"Maaf Bu, stok darah di RS kosong. Ditambah lagi golongan darah Anak Ibu termasuk langka AB rhesus negatif."
"Tolong usahain secepatnya ya bu. Kalau bisa kurang dari 1 jam harus sudah ada pendonor. Kalau begitu saya permisi dulu," ujarnya pamit undur diri.
"Tenang Re, jangan panik kita cari solusinya sama-sama," kata Rani mencoba menenangkan kekalutan Rea.
"Mas Dave, Mas Dave punya darah yang sama kaya Atta." Rea meraih HPnya, tujuannya satu sekarang yaitu menghubungi suaminya.
Dipanggilan kelima telfonnya baru diangkat oleh Dave.
"Hallo Re kenapa?"
"Masss Atta....."
Belum juga Rea menyelesaikan ucapannya Dave terlebih dahulu memotong pembicaraan istri pertamanya.
"Atta pulang dianter supir, maaf ada yang harus kuselesaikan disini. Aku lagi nyari Rafa yang dari tadi belum pulang" setelah mengatakan hal itu, pangilan ditutup sepihak oleh Dave.
Saat dicoba untuk melakukan pangilan lagi, nomer Dave sudah tidak bisa dihubungi.
"BAJINGAN!"
"BAPAK NGGAK PUNYA HATI!" ujar Rea merutuki ketidakperdulian suaminya.
Rea terduduk di lantai rumah sakit, bersender pada diding kamar rawat anaknya. "Gue harus apa sekarang Ran? Nyawa Atta taruhannya."
"Hapus air mata lo Re! Kita nggak ada waktu buat nangis-nangis nggak jelas kaya gini. Bangkit dan mulai cari jalan keluarnya."
40 menit berlalu mereka masih belum juga mendapatkan apa yang Atta butuhkan. Ponsel Dave dan Risa sama sekali tidak bisa dihubungi.
Hingga ditengah keputusasaan mereka seorang cowok berusia 19 tahun datang menghampiri mereka. "Permisi Tan, saya nggak sengaja lewat dan dengar Tante sedang butuh golongan darah AB- ya?"
Mendengar pertanyaan dari pemuda itu dengan segera Rea mengganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Jika boleh saya mau bantu Tan, goldar saya sama kaya yang Tante butuhin."
"Kamu serius Nak?"
"Iya Tan."
Karena benar-benar mengejar waktu, mengingat kondisi Atta yang semakin memburuk. Dokter segera melakukan transfusi darah tanpa melalui prosedur yang rumah sakit tetapkan. Itu semua semata-mata untuk menyelamatkan nyawa Atta.
*****
"Atta sayang, bangun yuk. Istirahatnya jangan kelamaan." gumam Rea berulang kali menciumi salah satu punggung tangan Atta yang terbebas dari infus.
Ini sudah hari ke dua, dan putranya belom juga berhasil melewati masa kritisnya.
Berulang kali, Rea merutuki suaminya. Satu hal yang terlintas di fikiran dia. Kenapa semua ini harus menimpa putranya? Kenapa harus Atta yang ada di situasi sekarang?
"Ta, kalau Mami ngelarang kamu, buat ketemu sama Papi apa kamu akan baik-baik aja? Apa kamu akan terima dengan keputusan yang Mami ambil?"
Rea mengulurkan tangan kanannya, dia mengusap pelan kening Atta yang terbalut perban. Kedua mata bocah itu masih terpejam sempurna.
"Atta cepet bangun ya, Mami punya kado yang belum sempet Atta lihat."
"Maafin Mami sayang. Maaf Mami gagal jagain kamu untuk kesekian kalinya."
Ditengah lamunan Rea, pintu ruang rawat Atta tiba-tiba terbuka. "Nya, Nyonya pulang dulu ya. Istirahat. Kasihan tubuh Nyonya. Aden biar saya yang jagain," ujar Sutin, sosok yang baru saja sampai di ruangan itu, lengkap dengan seluruh barang keperluan Atta.
"Nggak Bi. Saya mau jagain Atta. Saya mau nungguin dia sampai bangun." Dengan suara bergetar Rea menjawab perkataan Sutin.
Bagaimana bisa dirinya istirahat di rumah, jika fikiran dan hatinya hanya tertuju ke bocah yang sampai saat ini belum juga membuka kedua matanya.
Rea mengamati setiap inci wajah Atta yang terlihat damai. Dan perlahan, pandangannya tertuju ke lengan bocah itu. Terdapat luka memanjang yang sudah mulai mengering.
Rea ingat betul penyebab luka itu. Ya emosi Rea kembali tidak terkendali, sewaktu kuis Matematika yang putranya jalani hanya mendapat nilai 95.
"Maaf Ta, Maaffin Mami. Izinin Mami nebus semua dosa yang telah Mami perbuat ke kamu."
"Mami janji, Mami nggak akan nyakitin kamu lagi sayang. Mami nggak akan banyak nuntut kamu. Mami ngebebasin kamu lakuin apapun yang bikin Atta seneng," gumam Rea dengan punggungnya yang sedikit bergetar.
"Aden pasti sembuh Nya. Percaya sama saya." Sutin mengusap pelan bahu majikannya. Bermaksud untuk sedikit memberikan Rea sebuah ketenangan.
"Makasih ya Bi. Makasih juga Bibi udah jagain Atta selama ini."
Sutin tersenyum tipis. "Aden itu hebat Nya. Dan saya yakin, dia nggak akan nyerah gara-gara ini." sesekali Sutin membayangkan tingkah polos Atta, sekaligus kecerewetan anak itu.
Atta yang jiwa keingintauannya kelewat tinggi, yang sesekali membuatnya kewalahan menghadapi pertanyaan yang bocah itu lontarkan.
"Bi Atta mau nanya deh. Matahari sama gunung kan deketan tuh Bi, dan setau Atta matahari kan panas, terus kenapa orang-orang kalau berada di puncak gunung bukannya kepanasan malah kedinginan?"
"Bi kantong Mama kanguru kok bisa ya buat ngumpet anak kanguru. Kok ndak sobek ya Bi ya?"
"Bi, Atta juga mau tau, air kelapa itu asalnya dari mana ya Bi? Siapa yang ngisiin?"
"Bi kata guru agama Atta, surga kan ada di bawah kaki ibu. Terus kaki Mami kan ada dua, berarti Atta punya dua surga dong Bi?"
Sekelibat bayangan pertanyaan random Atta terlintas begitu saja, dan tanpa sadar kedua mata Sutin ikut berkaca-kaca.
*******
23/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...