19-Keputusan

313 15 0
                                    

Rea, wanita berkepala tiga meremat botol obat yang sedari tadi dia genggam. Dalam fikirannya berulang kali terlintas perilaku kekerasan yang dia lakukan ke putra tunggalnya. Rea ingin bisa mengendalikan dirinya sendiri. Namun, tidak semudah itu.

Dia didiagnosis intermittent explosive disorder yaitu penyakit mental di mana penderitanya merasa kesusahan dalam mengatur emosi. Amarahnya yang berlebihan terkadang membuat Rea melakukan tindak kekerasan kepada Atta, salah satunya saat anak itu tidak mengabulkan ekpektasi Rea.

Jika di tanya penyebab mental Rea terganggu, maka jawabannya adalah Dave suaminya sendiri. Lelaki itu kerap kali melampiaskan rasa emosinya ke Rea. Tak jarang dia melakukan KDRT dengan Rea sebelum menikah dengan Risa, istri keduanya.

Ditambah lagi perlakuan Dave kepada kedua istrinya yang berbanding terbalik, yang semakin memperburuk kondisi Rea, itu sebabnya tepat saat Atta berusia 4 tahun Rea memilih angkat kaki dari rumah Dave. Tetapi hubungan keduanya masih sepasang suami-istri. Hanya saja sesekali Dave akan mengunjungi istri dan putranya, juga rutin mengirimi Rea uang setiap bulannya untuk kebutuhan mereka.

Sudah dari lama Rea merasa ada yang tidak beres dengan dirinya sendiri, karena itu dia mulai memberanikan dirinya untuk datang ke psikiater 1 tahun lalu. Dan Rani sahabat SMAnya yang juga berprofesi sebagai psikolog, merekomendasikan Dina dokter psikiater terbaik di rumah sakit tempat dirinya bekerja untuk menangani kesehatan mental Rea.

"Aku pengen sembuh," gumam Rea lirih, dengan mata yang memerah.

Rasa sesal menguasai perasaan Rea kali ini. Berulang kali dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa ini memang yang terbaik untuk putranya. Rea tidak mau menyakiti fisik juga perasaan Atta lebih dalam lagi.

"Apa aku sanggup Tuhan? Apa aku mampu menjalani hari-hariku ke depannya?" lirihnya menatap sendu figura yang berisi foto Atarangi dengannya satu tahun lalu, saat bocah itu baru saja memasuki sekolah dasar.

"Maaffin Mami Ta. Maaf jika keputusan yang Mami ambil bikin Atta terluka, tapi Mami yakin kebahagiaan akan menanti Atta kedepannya." Perlahan tetes demi tetes air mata Rea mulai berjatuhan. Dia mengusap pelan foto putranya.

******

Hari sudah malam, jam menunjukkan pukul 20:00 WIB. Dingin, bocah berusia 8 tahun merasa hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Bocah itu hanya mampu meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri. Tak lupa selimut tebal yang menutupi tubuhnya dari ujung kaki sampai sebatas bahu. Namun, tidak berpengaruh apapun pada tubuh ia.

Atarangi, peluh keringat menetes dari sela pori-pori kulitnya. Kedua mata yang terpejam sempurna, serta wajah yang terlihat begitu pucat.

Cklek....

Pintu kamar Atta di buka perlahan oleh Rea. Rea berjalan mendekat ke arah ranjang putranya. Dari kejauhan dapat dengan jelas dia lihat, tubuh Atta yang terbalut selimut tebal.

Saat sudah berada di depan ranjang putranya, kedua mata Rea membola sempurna. Wajah Atta terlihat begitu pucat, seperti tidak ada aliran darah sama sekali.

"Ya Allah Ta."

"Attarangi sayang," pekik Rea histeris, sesekali dia menepuk pelan pipi Atta untuk membangunkan putranya.

Panas, perasaan itu menjalar di kulit Rea, suhu tubuh Atta benar-benar tinggi. Dengan segera dia berjalan menuju lemari putranya untuk mengambilkan jaket juga kaos kaki untuk dipakaikannya di tubuh putranya.

Setelah itu dengan kekuatan yang dia punya, Rea mengendong tubuh Atta yang masih belum sadarkan diri. Wanita cantik tersebut berjalana terburu menuruni tangga untuk segera membawa Atta ke rumah sakit. Efek panik Rea benar-benar tidak merasakan beban apapun sewaktu mengangkat tubuh bocah dengan berat badan 25 KG itu.

Baginya kesehatan Atta nomer satu kali ini. Kericuhan yang Rea timbulkan tentu menarik perhatian Sutin.

"Nyonya Aden kenapa?" tanyanya ikut khawatir.

"Bi tolong minta ke Pak Mardi untuk siapin mobil. Kita ke rumah sakit sekarang!" perintah Rea dengan nada bergetar hebat.

Sutin yang paham tanpa banyak bertanya mulai menjalankan perintah Rea.

******

"Ta maaffin Mami sayang," ujar Rea dengan nafas tidak beraturan. Tidak terhitung sudah sebanyak apa air mata yang jatuh di pipinya.

Melihat salah satu punggung tangan Atta yang di infus, juga Atta yang berbaring dengan posisi miring agar luka di punggungnya tidak semakin parah, membuat hati Rea sedikit tercubit.

"Lagi dan lagi aku jadi ibu yang gagal," batin Rea dengan punggung yang bergetar hebat.

Diraihnya salah satu tangan Atta untuk dia kecup beberapa kali. Rea sangat merasa berdosa untuk kesekian kalinya.

"Atarangi Maaf sayang."

"Maafin Mami Nak."

"Atta lekas sembuh ya,"

Sutin Rea suruh untuk pulang, besok pagi wanita paruh baya itu Rea suruh untuk datang ke rumah sakit lagi, dengan membawa baju juga perlengkapan yang Atta butuhkan sewaktu putranya dirawat.

Waktu terus berjalan, beberapa saat kemudian kedua mata Atta mengerjap beberapa kali untuk menetralisir, cahaya yang menerobos masuk ke retinanya.

"Sssssttttt," ringis Atta dengan mata yang kembali dia pejamkan. Rasa sakit yang luar biasanya tengah bocah itu rasakan di kepala yang memberat, serta punggung Atta yang terasa perih.

Mendengar suara dari mulut Atta, Rea ikut terbangun. Dia semalaman terjaga takut jika Atta terbangun dan membutuhkan dirinya.

"Atta udah bangun?" tanya Rea, membantu Atta buat duduk.

Lelehan air mata kembali tidak dapat dirinya tahan, dia merasa seperti monster, untuk putranya sendiri.

"Mami kenapa nangis?" tanya Atta khawatir, rasa pening di kepala dan perih di punggung benar-benar Atta abaikan. Bocah itu dengan perlahan mengulurkan kedua tangannya untuk menghapus air mata Rea.

Bukannya menjawab pertanyaan bocah polos di depannya, Isak tangis Rea justru terdengar semakin keras. Sakit perasaannya sangat sakit sekarang. Dirinya sendiri tidak tau apa dia bisa melanjutkan hari esok?

"Mami masih marah ya sama Atta? Mami jangan nangis. Atta minta maaf Mi. Atta janji Atta bakal belajar lebih giat lagi buat Mami." pinta Atta dengan mata yang memerah.

"Atta maafin Mami ya, Mami minta maaf sayang."

"Maaf Mami bikin Atta luka, bikin Atta sakit."

"Nggak papa, Atta nggak marah kok sama Mami. Atta yang salah Mi. Atta belum bisa penuhin permintaan Mami. Maaffin Atta ya Mi." dengan penuh sesal Atta mengucapkan hak itu. Lagi dan lagi dia gagal membahagiakan Rea.

"Boleh Mami peluk Atta?" tanya Rea dengan suara tersendat. Dia merasa dia ibu yang gagal. Ibu yang hina. Monster yang tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri.

Atta masuk ke dalam rengkuhan hangat Rea. Mereka berdua saling berpelukan. "Atta sayang sama Mami." ujar Atta lirih.

Atta suka dalam posisi seperti ini. Pelukan Rea selalu terasa hangat untuknya. Atta tidak perduli dengan semua kesalahan Rea, baginya bisa memeluk tubuh malaikatnya sudah lebih dari cukup. Kemarin Atta sempat takut dia tidak bisa merasakan ini lagi karena kemarahan Rea. Karena bikin wanita yang sangat disayanginya kecewa.

Rea menciumi puncak kepala Atta beberapa kali. Mereka berpelukan hampir 20 menit. Sebelum akhirnya pelukan itu Rea lepaskan.

Dipandanginya wajah putranya, di usapnya dengan lembut kening, mata, alis, pipi, hidung, dagu dan bibir Atta.

Kemudian Rea mendekatkan wajahnya. Secara bergantian dia menciumi setiap sudut wajah manis Atta tanpa ada yang dia lewatkan.

Hawa panas dari suhu tubuh bocah itu dapat dengan jelas Rea rasakan. Bagian terakhir Rea menempelkan bibirnya di bibir Atta. Dia memejamkan matanya menikmati momen itu. Air matanya masih setia berjatuhan.

Selang beberapa lama, Rea menatap intens kedua mata Atta, dia mengatakan sesuatu yang bikin hati Atta hancur sekaligus takut dalam waktu yang bersamaan.

"Atarangi, Kamu ikut Papi kamu ya. Jangan tinggal sama Mami lagi."

******

13/02/23





Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang