Ekstra chapter.

1.5K 39 4
                                    


Pagi harinya, Gea sudah berada di rumah Atta. Setelah hampir 1 minggu bocah itu benar-benar tidak mengizinkan Gea menemuinya. Kepergian Rea menimbulkan luka yang menganga lebar, yang mungkin tidak akan di temukan obat untuk menyembuhkan rasa sakit serta kehilangan di hatinya.

"Ta," panggil Gea, sambil berjalan mendekati Atta yang memang duduk di ranjang membelakanginya.

Sadar jika ada yang memanggilnya, Atta menghapus kasar air matanya sendiri, sebelum dia memutuskan untuk membalikkan badannya.

Atta dapat melihat sahabatnya yang berdiri di samping ranjang. "Hai," sapa dia untuk pertama kalinya setelah kejadian itu. Sebisa mungkin Atta menyunggingkan senyum tipisnya.

"Kamu kalau mau nangis, nagis aja Ta. Nggak papa kok," ujar Gea lembut, di ulurkannya salah satu tangan ia untuk mengusap lengan bocah laki-laki rapuh di depannya.

Dan benar saja, untuk kesekian kalinya air mata Atta jatuh. Sebisa mungkin dirinya menahan tapi emosinya sesusah itu untuk di kendalikan.

Gea berjalan mendekat, dan dibawanya tubuh Atta ke dalam pelukannya. Masih dengan isak tangis yang memenuhi kamar milik Rea, yang memang sejak semalem Atta tiduri.

"Mami Atta udah bener-bener pergi Ge."

"Udah nggak bisa Atta peluk lagi." rintih Atta meluapkan semua rasa sakit dia.

"Kenapa ini semua harus terjadi sama Atta? Dan kenapa Allah harus ngambil satu-satunya alasan yang bikin Atta bertahan sejauh ini?"

"Atta harus apa setelah ini Ge? Atta masih berharap kalau ini semua cuma mimpi buruk. Atta pengen cepet-cepet bangun."

Berulang kali Gea mengusap pelan punggung sahabatnya, yang masih bergetar hebat.

"Kamu nggak perlu khawatir. Apapun yang terjadi aku nggak akan ningalin kamu Ta." dengan penuh ketegasan Gea mengatakan hal tersebut. Bocah berumur 13 tahun itu ikut merasakan sakit, melihat kondisi sahabatnya sekacau ini. Beberapa detik kemudian pelukan keduanya terlepas.

"Atta nggak mau pergi dari rumah ini Ge."

"Atta masih mau deket sama Mami."

"Maksud kamu?" Gea sepertinya masih belum bisa menangkap ke mana arah pembicaraan Atta.

Bocah dengan mata sembab tersebut, menatap langit-langit kamar Rea, dengan tatapan hampa. Kepalanya terasa sangat penuh saat ini.   Ingin rasanya Atta bersikap egois, sayangnya dia tidak punya pilihan lain.

"Papi nyuruh Atta tinggal sama keluarganya."

Gea terdiam beberapa saat. Otak mungilnya sibuk menyusun jawaban, yang dirasa bisa Atta terima. Gea tidak ingin dirinya salah bicara, yang justru semakin menyakiti bocah itu.

"Nggak papa ya Ta kamu ikut Papi kamu dulu, aku malah lega kalau kamu ikut Om Dave. Ini kan yang dari lama kamu mau? Bisa deket sama Papi kamu sendiri."

"Tapi di rumah ini penuh sama kenangan Mami Ge. Atta nggak bisa ningalin itu semua begitu aja."

"Kamu masih bisa sering-sering main ke sini Ta. Kalau kamu tetep di rumah ini, yang ada kamunya yang makin sakit, gara-gara keinget mulu sama Tante Rea."

Gea berjalan menuju figura berisi foto Rea, yang terletak di atas nakas. Diraihnya benda tersebut. Dan di ulurkan ke arah sahabatnya. "Bawa ini, buat ngobatin rasa kangen kamu sama Tante Rea." Atta menerimanya dengan perasaan berkecamuk.

******

Atta memasuki bangunan rumah itu dengan perasaan tidak nyaman. Terakhir dia ke tempat itu setelah dirinya keluar dari rumah sakit beberapa tahun lalu, saat Rea meminta dia untuk ikut bersama Papinya. Dan sekarang semuanya berubah menjadi kenyataan.

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang