Atta menatap gundukan tanah di samping halaman rumahnya dengan tatapan nanar. Bocah kelas 2 SD itu masih mengenakan seragam sekolahnya yang sudah berlumuran darah.
Sesekali dia menaburkan bungan mawar di atas gundukan tanah, yang baru saja menimbun bangkai Mola.
"Ta, masuk ke rumah yuk. Bentar lagi hujan. Tuh banyak petir juga." ajak Rea, yang ikut berjongkok di samping putranya.
"Ta," Rea kembali memanggil nama Atta. Di usapnya pelan rambut bocah itu yang sudah sedikit memanjang, bahkan nyaris menutupi mata dia.
"Papi jahat."
"Kan Papi kamu nggak sengaja sayang." dengan hati-hati dia mencoba memberikan Atta pengertian, Rea memang sudah mendengarkan penjelasan dari Mardi, mengenai apa yang terjadi.
"Mau sengaja apa Ndak, intinya Papi jahat. Papi bunuh Mola," dari nada bicaranya terlihat jelas, jika Atta masih menyimpan dendam dengan Dave.
"Atta masuk duluk yuk, mandi, makan terus istirahat. Tuh langitnya udah gelap," ajak Rea meraih salah satu tangan Atta. Cuaca siang hari ini, memang mendung, dan sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, membasahi bumi.
*******
Di ruang makan Atta menekuk kepalanya, bocah dengan kaos merah itu terlihat tidak sesemangat biasanya. "Nih, makan dulu. Manyunnya lanjut nanti," ujar Rea sambil meletakkan sepiring nasi goreng sosis di depan Atta.
"Atta ndak laper Mi," sungutnya lesu.
Krrruuyuukkkk...
Rea mati-matian menahan senyum dia, sudut bibirnya sedikit tertarik, "Tuh cacing di perut kamu aja udah pada demo," goda Rea menatap Atta dengan tatapan mengejeknya.
"Atta ndak mau makan Mi. Ini Atta lagi sedih loh. Di hibur kek. Kenapa di ledekin sih," gerutu Atta sebal. Sudut bibirnya membentuk lengkungan ke bawah. Tanda jika perasaanya sedang memburuk.
"Makannya makan dulu, mau sedih juga butuh tenaga ekstra kali boss. Biar full power sedihnya,"
"Mami kok ngeselin sih,"
"At..."
Belum juga Atta menyelesaikan perkataannya Rea, sudah dulu menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut dia.
"Marah-marahnya di tunda dulu. Sekarang kamu makan."
"Hem," responnya, sambil mengunyah makanan di dalam perut dia.
Atta kembali membuka mulutnya, dia menghadap ke arah Rea, "Aaaaa, suapin lagi Mi," pinta Atta, saat sadar jik perutnya memang selaper itu.
"Makan sendiri lah, Mami sibuk,"
"Issshhhh, Mami kok ngeselin sih. Tadi nyuruh makan, sekarang giliran Atta udah mau makan, Mami malah ndak mau nyuapin. Mau Mami tuh sebenarnya apa? Ndak suka Atta di permainin kaya gini. Atta juga punya hati." cerocosnya melebar kemana-mana.
Kedua mata Rea bergulir malas, putranya tengah ada dalam mode alay ternyata sekarang.
Di tengah acara perdebatan ibu dan anak itu, tiba-tiba Mardi datang membawa sebuah kucing yang hampir mirip dengan kucing Atta yang tertabrak tadi siang.
"Ini Nyonya, ada titipan dari Tuan Dave." ujarnya sambil mengulurkan kedua tangannya.
Rea tersenyum lembut, dia menerima hewan berbulu itu. "Nih Ta, kamu punya kucing lagi sekarang. Jadi udahan ngambek-ngambeknya."
"Kucing barunya kasih nama Molly aja Ta, lucu," celetuk Rea memberikan ide.
Atta melirik hewan dalam pelukan Rea tanpa minat. "Atta ndak mau Mi. Mami balikin aja ke Papi." setelah mengatakan hal itu, Atta bangkit dari tempat duduknya. Dan pergi meninggalkan meja makan.
Rea menatap kepergian Atta sambil menghela nafas kasar. Dia tau jika putranya sudah membuat keputusan maka akan sulit untuk di ubah.
"Bawa hewan ini pergi Pak. Terserah mau di bawa ke mana, atau mau di balikin ke Mas Dave," katanya sembari mengulurkan hewan berkaki empat itu.
Mardi menerimanya dengan muka bingung, sebelum akhirnya dia menuruti apa yang Rea perintahkan.
Rea berjalan menaiki tangga, sudah pasti tujuannya untuk menemui Atta yang masih ngambek.
Dibukanya sebuah pintu di depan dia, lantas Rea mulai melangkah mendekati Atta yang tengah terduduk di depan meja belajarnya.
"Mau sampai kapan kamu marah sama Papi kamu Ta?" tanya Rea duduk di ranjang empuk di kamar itu. Dia menelisik, mengamati gerak-gerik Atta.
"Sampai rasa kesel di hati Atta ilang," sahutnya enteng.
"Sekarang masih kesel?"
"Banget lah Mi. Dikira Papi ngirim kucing baru terus masalah selesai gitu aja kali ya, Atta sama Mola juga ndak 1 atau 2 hari Mi. Tapi udah hampir 1 tahun. Wajar dong Atta ngerasa kehilangan Mola."
"Terus Atta maunya sekarang gimana, biar udahan marahannya? Mola kalau disuruh hidup lagi juga udah nggak bisa," Rea menantikan jawaban yang keluar dari bibir Atta.
Terlihat Atta yang mengangkat kedua bahunya. Bola mata dia bergulir malas, juga bibirnya yang sengaja dia manyunkan beberapa senti.
"Atta ndak tau Mi. Intinya Atta kesel. Dan Atta juga ndak tau harus apa bir ngilangin rasa kesel Atta."
"Atta. Sayang, Atta tau kan nggak baik marah lama-lama."
"Apa lagi dalam agama kita, ndak boleh marahan lebih dari tiga hari."
Atta menganggukkan kepalanya singkat, dia tentu tidaklah asing dengan kalimat itu.
"Atta mau masuk neraka gara-gata marahnya kelamaan?"
"Ya ndak mau lah Mi. Gosong ntar Attanya gara-gara di bakar sama malaikat." sahut Atta bergidik ngeris, saat bayangan menyeramkan itu terlintas di otaknya.
"Kamu mau kan maafin Papi kamu?"
Atta menatap langit kamarnya, seolah tengah memikirkan sesuatu. Sebelum akhirnya Rea kembali bersuara. "Allah aja maha pemaaf, masa mahluknya yang satu ini ndak mau maafin orang yang punya salah sama dia sih," sindir Rea menatap putranya dengan tatapan meledek.
"Atta kan manusia Mi. Bukan Allah. Jadi wajar dong kalau Atta masih butuh waktu. Atta bakal maafin Papi kok. Tapi ya nanti dulu, ndak sekarang."
"Nantinya kapan heh?"
"Ya nanti intinya. Sekarang dada Atta aja masih kesel. Masa harus pura-pura maafin orang sih. Nunggu keselnya ilang dulu lah Mi."
"Coba sekarang Atta yang gentian nanya ke Mami,"
"Mau nanya apaan?" dengan kening berkerut, Rea menantikan kalimat yang akan keluar dari mulut putranya.
"Mami tau Atta sayang sama Mola?"
"Tau." sahut Rea tanpa berfikir panjang. Karena memang begitu kenyataannya.
"Mami sendiri sayang ndak sama Atta?"
"Sayanglah Ta, kalau nggak kamu udah Mami buang ke tempat sampah, biar dipungut pemulung."
Atta menganggukkan kepalanya paham, kemudian dia melanjutkan perkataannya. "Kalau Atta di tabrak orang sampe mati, Mami apa bisa dengan mudah maafin orang itu?"
PLAKKK!
"Isshhh,...Mami! Kok tangan Atta dipukul sih! Kan sakit!" seru Atta menatap Rea tidak terima.
"Ya kamu ada-ada aja kalau ngomong. Kalau hal itu terjadi sama kamu. Mami bakal kejar orang yang udah nyakitin anak Mami sampai ke ujung dunia."
"Tuh, begitu juga Atta. Atta sayang sama Mola dan Mola di bunuh, ya Atta wajar lah Mi marah."
"Masalahnya kalian berdua beda sayang. Kamu manusia, dan Mola kucing. Mana bisa di samain." bantah Rea menatap Atta kelewat gemas. Bisa-bisanya Atta berfikiran sejauh itu. Kan bahaya kalau ada malaikat lewat dan meng Aamiinkan ucapan dia.
******
10/03/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Little Atta [SELESAI]
General Fiction#Belum Revisi. #Prekuel Of Atarangi. Memori Atta kecil. "Mami, Papi punya Atta juga'kan? Kenapa sama Rafa terus? Sama Attanya kapan?" -Atarangi- seperti namanya yang berarti langit pagi! Dia merindukan setitik cahaya, setelah sekian lama terkurung d...