42-Obrolan

182 9 7
                                    

Satu tahun berlalu, saat ini Atta tengah tiduran di atas sofa, dengan paha Rea yang sengaja dijadikan bantalan oleh bocah berusia 11 tahun itu.

Mereka tengah menghabiskan waktu berdua, membicarakan berbagai macam hal, dengan Rea yang setia mengusap lembut rambut hitam lebat milik Atta.

"Mi," panggilnya, sambil mendongkakkan kepalanya, guna melihat wajah cantik milik Maminya.

"Iya sayang, kenapa?" tanya Rea lembut. Tak lupa senyum tipis Rea sunggingkan, menambah kesan keibuan untuknya.

"Euuummm" Atta mengamati langit-langit ruang tamu, dengan tangan yang segaja dia letakkan diatas dagunya sendiri. Selayaknya sedang memikirnya sesuatu yang menguras fikiran.

Karena gemas dengan tingkah putranya, Rea menjawil pelan pipi gembil Atta. "Kenapa sih Ta? Ada yang mau Atta tanyain ke Mami? Kok mikirnya gitu banget?" celetuk Rea heran.

"Mi?" pangil Atta sekali lagi.

Raut keraguan terlihay jelas di muka anaknya, "Atta kenapa? Ada yang mau Atta tanyain? Tanya aja ke Mami" ujar Rea ikut penasaran, ditatapnya wajah putranya yang semakin bertambah usia.

"Mami, Atta mau nanya. Mami sayang Papi apa nggak?"

"Sayang" dengan lembut Rea menjawab pertanyaan Atta penuh keyakinan.

"Kalau Mami disuruh milih antara Atta atau Papi, Mami bakal milih siapa?" tanya Atta polos, namun pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya mampu membuat seseorang berfikir keras.

Rea mengusap lembut pipi anaknya, "Mami bakal milih Atta," jawab Rea tanpa berfikir lama.

"Kenapa?"

"Karena, Papi orang asing dalam sebuah ikatan.  Sedangkan Atta, Atta darah daging Mami. Bayi yang mati-matian Mami rawat dengan kasih sayang sampai segede sekarang."

"Euummm, kalau Papi, Papi sayang nggak sama Mami?" Atta bertanya lagi.

"Sayang dong"

"Kalau Papi nggak sayang sama Mami, nggak mungkin ada Atta didunia ini. Atta tau?"

Perlahan bocah itu menggelengkan kepalanya.

"Atta hadir ya karena buah dari Mami dan Papi yang saling menyayangi,"

Atta berfikir sejenak, "Eumm iya kah?" tanya Atta ragu.

"Kalau Papi sayang sama Mami, kenapa Atta lebih sering lihat Mami nangis dari pada ketawa gara-gara Papi?"

Rea terdiam seketika, dirinya merasa bingung harus memberi jawaban yang bagaimana kepada anak kesayangannya.

"Atta sering loh lihat Mami nangisin Papi malem-malem. Papi jahat banget ya Mi?"

Melihat tidak ada respon apapun dari Rea, Atta seketika bangkit. Saat menyadari, kedua mata Rea memerah siap menumpahkan cairan didalamnya.

Atta memeluk tubuh Rea seerat yang dia mampu, dirinya memang masih kecil tapi fikirannya sudah lebih duli dipaksa dewasa oleh keadaan.

"Mami nggak boleh nangis. Apalagi gara-gara Papi"

Atta melepas pelukannya, ditangkupnya kedua pipi Rea yang mulai basah. Bocah itu menatap dalam kedua manik mata Rea.

"Mami, dengerin Atta ya. Dulu waktu kaki Atta nggak sengaja nginjak pecahan gelas Mami bilang Atta harus dibawa ke Dokter kan buat nyabut kaca yang nempel dikulit Atta?"

Rea menganggukkan kepalanya berulang kali, dirinya mengingat moment itu dengan jelas.

Atta menjentikkan jari mungilnya, "Sama juga dengan itu. Kalau Papi cuma bisanya nyakitin perasaan Mami, Mami lepasi Papi ya? Relain Papi bahagia sama keluarga barunya. Mami bahagianya sama Atta aja" pemikiran Atta sungguh diluar jangkauan anak seusianya, disaat bocah usia 4 SD taunya cuma main Atta justru harus menanggung beban lebih berat dari itu.

"Sayang, kan Atta sendiri yang mau sama Papi, mau deket sama Papi, mau ada disamping Papi kaya Rafa?" balas Rea, menatap manik mata Atta dengan tatapan sendunya.

Atta menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Kemaren iya Mami, sekarang udah enggak. Sekarang Atta udah nggak mau itu. Yang Atta mau Mami sehat, Mami bahagia. Mata cantik Mami nggak boleh ngeluarin air mata lagi Mi" ujar Atta pelan, perkataan itu mampu meremas hati Rea. Bocah tanpa dosa yang dulu sering dia siksa saat nilai Atta kurang memuaskan.

"Maafin Mami Ta" ujar Rea singkat, sekarang gantian Rea yang menarik tubuh gembul Atta kedalam pelukannya.

"Mami nggak salah," sahut Atta membantah ucapan Maminya.

"Atta nggak boleh tinggalin Mami ya?" pinta Rea penuh harap.

"Iya Atta nggak bakal ninggalin Mami"

"Atta," pangil Rea

"Atta suka nggak lihat Mami disakitin orang lain?"

"Enggak Mami, Atta bakallan pukul orang-orang yang nyakitin Mami," jawabnya tanpa ada ketakutan sedikitpun.

"Atta, berarti Atta juga nggak boleh nyakitin orang lain. Apa lagi cewek. Kalau Atta nyakitin perasaan mereka berarti Atta sama aja nyakitin perasaan Mami" pesan Rea kepada putranya.

"Maaf Mami" Atta menundukkan kepalanya, bocah itu merasa bersalah karena pernah menyakiti perasaan seseorang.

"Atta pernah nyakitin perasaan orang lain?"

"Pernah Mi, dia teman sekolah Atta" jujur Atta dengan nada bergetar.

"Atta minta maaf ya sama orang itu?" suruh Rea, yang diangguki oleh putranya.

"Tapi Mami diakan udah beda sekolah sama Atta, dia murid sekolah lama Atta,"

"Besok kita temuin dia disekolah lama kamu ya Ta?" tawar Rea, yang dibalas anggukan antusias Atta.

"Mau Mami. Atta mau minta maaf sama Shena."

"Nama gadis itu Shena?" tanya Rea masih setia mengusap rambut putranya. Sepertinya topik pembahasan kali ini lebih menarik dari biasanya.

"Iya, Atta punya banyak salah sama Shena Mi. Atta sering jahattin dia. Nggak jarang Atta bikin Shena nangis gara-gara Atta," cicitnya mulai berani mengutarakan perlakuan buruknya.

"Jangan diulangi lagi ya Ta. Atau Mami bakal marah besar sama Atta!" titah Rea penuh ketegasan. Dia memang tidak tau detail seburuk apa perlakuan bocah itu. Namun, dari pengakuan yang keluar dari mulut putranya dirinya sudah bisa menduga, jiga yang Atta perbuat bukanlah hal yanh sepele.

"Maaf Mami. Atta janji ndak akan jahatin Shena lagi. Atta tau Atta salah."

******

Keesokan harinya, sesuai seperti apa yang dirinya rencanakan, sehabis pulang sekolah Rea menjemput Atta. Jika ditanya kenapa bukan Mardi? Jawabannya Rea juga ingin meminta maaf atas perlakuan putranya.

Semalem secara detail Atta menjelaskan apa saja yang pernah dirinya lakukan. Rea hanya mampu terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Dirinya tidak mengira jika kekerasan yang dirinya sering lakukan ke putranya, Atta lakukan juga ke orang lain. Terlebih kepada seorang gadis piatu.

Jika saja dirinya bisa berdamai dengan semuanya. Jika saja dirinya tidak mengharuskan Atta jadi yang pertama mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Yah sepenuhnya memang salah Rea. Dia telah gagal menjadi Ibu. Karena dia pula, Atta menjadi sosok monster untuk orang lain.

Hampir 2 jam Atta menunggu Shena di gerbang sekolah. Namun, sosok yang dirinya tunggu tidak kunjung menampakkan diri.

"Sekolah kamu udah sepi Ta, ini Shenanya ke mana?" tanya Rea sambil memfokuskan pandangannya ke arah pintu gerbang. Berharap jika sosok gadis yang mereka tunggu akan segera menampakkan diri.

"Kalau udah pulang ndak mungkin Mi. Atta tau Shena. Dia anaknya biasa pulang paling belakangan soalnya."

Hampir 3 jam mereka menunggu. Namun, tidak juga membuahkan hasil.

"Kita pulang dulu ya Ta. Besok kita ke sini lagi." Ajak Rea, dan kembali melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah lama putranya.

Dan malangnya setiap kali mereka mencoba mencari Shena, gadis itu tidak pernah menampakkan diri.

*****

26,/03/23

Memories of Little Atta [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang