Apa yang dikatakan oleh sang Ayah memang benar. Istirahat semalaman tidak mengubah apapun, melainkan malah membiarkan rasa sakit merajalela di sekujur tubuhnya. Ia lemah. Dia tidak bisa membayangkan jika harus sekolah dengan kondisi seperti ini.
Kirana memejamkan mata saat ponsel miliknya bergetar dan sebuah notifikasi muncul di layarnya.
Kiranaaa
Kiraa
Naaaa....
Rannnn...
Lo kenapa sampe ga masuk sekolah?
Gue duduk sendirian jadinya T_T
Kangen tau, gada yang rusuh disamping gue.
Kirana menggeleng-gelengkan kepala saat membacanya. Ia dapat membayangkan Vinka berteriak dan bertingkah berlebihan.
Sakit, Vin.
Sakit apa?
Siapa yang nyakitin lo entar gue ajak Rayhan buat ngabisin dia, bilang siapa?
Kirana mengembuskan nafas, enggan sekali dia mendengar nama itu apalagi bertemu secara langsung.
Vin, entar kirimin materi belajar hari ini ya?
Iya
Wait, Ran. Lo ada masalah ya sama Rayhan?
"Please deh, Vin. Lo masih nggak paham juga kalau gue nggak mau bahas soal dia." Celoteh Kirana pada dirinya sendiri.
Iya.
Jangan bahas dia deh, Vin. Males.
Yaudah, gue makan dulu ya sama Rio. Entar kita sambung.
Kak Rio? Ngapain dia ke sekolah?
Gue yang suruh hehe, soalnya lo nggak masuk. Kebetulan dia lagi kosong kuliah.
Betah banget sih si Rio sama lo.
Cinta namanya, ngueeheeehe.
Cinta? Apa Rio pernah nyakitin Vinka? Apa mereka pernah berantem? Ah, Kirana udah! Hidup mereka nggak sama kayak lo.
Daripada memikirkan sesuatu yang membuatnya semakin pusing, Kirana menutup ponselnya dan menghidupkan televisi. Tanpa sadar matanya mulai menutup. Iya, gadis itu tertidur sampai sang Ibu membangunkannya.
"Kira, Ibu pergi ke pasar dulu ya?" Ujar Ibu Kirana lembut.
"Hmmm... Siang banget."
"Iya, Ibu mau cari makanan kesukaan Mbak kamu sekalian mau pesen oleh-oleh buat dia." Kata Ibunya memberitahu. "Kamu mau titip apa?"
Kirana menggeleng, "nggak ada, Bu. Mau tidur aja, agak pusing soalnya."
"Yaudah, nanti Ibu beliin susu aja ya buat kamu," balas Ibunya, "di lemari ada obat pusing, kalau agak meriang disitu ada obat demam. Diminum nanti, Ran."
Kirana menganggukkan kepala, "iya, Kira mau tidur dulu, Bu. Pintunya ditutup aja."
"Disini? Di sofa?"
"Iya, nggak tau nggak enak aja badan di kamar."
"Tidur gih, nanti kalau Mbakmu sampe atau Ayah sampe langsung Ibu suruh ambil kunci di tempat biasa aja." Ucap Ibu Kirana yang tampak khawatir dengan kondisi putrinya ini, "Ibu pergi dulu ya. Istirahat yang cukup, Ra!"
"Iyaa."
Setelah terdengar suara pagar, ia kembali menutup mata dengan televisi yang masih menyala.
◇◇◇
Tok... Tokk... Tokkk...
Suara ketukan pintu terdengar yang semakin lama semakin tak beraturan dan semakin kuat, membuat Kirana kembali terjaga. Gadis itu mungkin baru tertidur sekitar setengah jam.
"Ayah ya? Kunci pintu kan di tempat biasa. Masa sih lupa." Gumam Kirana. Ia bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu.
"Ran.... Rann.... Buka pintunya." Seru seseorang dari luar dan Kirana mengenal suara laki-laki itu. Seketika, tubuhnya membeku. "Aku tahu kamu di dalam, Ran."
Kirana belum siap bertemu Rayhan. Kenapa lelaki itu datang secepat ini?
"Rannn... Buka! aku janji nggak bakal nyakitin kamu lagi, Ran."
"Kirana, aku janji. Tolong buka pintunya." Ucap laki-laki itu dengan suara yang terdengar tulus dan penuh penyesalan.
Perlahan, Kirana bisa menggerakkan kakinya dan berjalan ke arah pintu. Ia mengintip melalui kaca jendela, saat itu pula Rayhan juga melihat melalui kaca jendela. Mata mereka bertemu dan gadis itu dengan cepat bersembunyi dibalik pintu.
"Kirana, please. Maafin aku."
Air mata jatuh dengan sendirinya di wajah Kirana dengan tubuhnya yang telah luruh di lantai. Ia masih bisa membayangkan seolah-olah Rayhan di depan matanya dan bersikap seperti kemarin terhadap dirinya. Ketakutan itu masih membayangi dirinya dan entah sampai kapan akan bertahan.
"Pergi, Kak." Ucap Kirana lirih.
"Nggak, Ran. Sebelum kamu maafin, aku nggak akan pergi." Balas Rayhan yang ikut terduduk dan bersandar pada pintu rumah Kirana.
"Apa Kakak beneran pergi kalau aku udah maafin?"
"Iya."
Dengan berat Kirana mengatakan, "aku maafin, Kakak. Aku maafin kamu Rayhan. Sekarang Kakak boleh pergi."
"Buka pintu ini, tatap aku, Ran. Nggak ada orang yang bener-bener maafin kalau nggak berani menatap langsung."
"Yang penting aku udah maafin, Kakak. Sekarang pergi!!! Pergi!!!!" Seru Kirana.
"Kalau gitu kamu belum maafin aku."
"Pergi!!! Lo tuli ya?" Hardik Kirana, "gue bilang pergi ya pergi. Lo ngerti gak sih?!"
"Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku nggak akan pernah pergi."
"Gue nggak mau berhubungan sama lo, apapun tentang lo. Intinya, gue nggak mau ketemu sama lo lagi." Tegas Kirana.
"Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Ran. Tolong, kasih aku kesempatan."
"Gue nggak peduli mau lo mati atau nggak. Gue benci sama lo Rayhan! Gue benci!!" Kirana bangkit dan lari masuk ke dalam kamar. Ia membanting pintu dengan keras hingga terdengar di telinga Rayhan.
Sementara Rayhan masih duduk terpaku mendengar ucapan Kirana yang sudah benar-benar membencinya. Gadis itu mengatakan tidak peduli entah dirinya hidup ataukah mati.
Kirana, satu-satunya gadis yang mampu mengubah pola pikir Rayhan tentang dunianya. Satu-satunya gadis yang membuat dirinya meninggalkan sisi gelapnya perlahan. Hal itu ia lakukan hanya untuk membuat gadis manis itu bertahan di sisinya.
Tapi, tetap saja dirinya tidak mampu menahan hasrat dunia gelapnya. Ia tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.
Ia tidak peduli jika harus diasingkan keluarganya sendiri karena ia sudah terbiasa, tapi tidak dengan Kirana. Ia tidak bisa berpisah dari gadis itu. Pesona miliknya telah membius seluruh jiwa Rayhan.
Jika ia sudah tidak diinginkan lagi, untuk apa ia hidup. Apa ia bisa menemukan perempuan seperti Kirana di luar sana? Tidak, tidak ada lagi yang seperti Kirana dan Rayhan hanya menginginkan Kirana.
Gue nggak peduli mau lo mati atau nggak. Gue benci sama lo Rayhan!
Tapi, dia membencimu, Rayhan.
Percayalah! Rayhan lebih membenci dirinya sendiri.
YOU ARE READING
The Endless Moment
FantasyMimpi itu membuat Kirana terlalu ambisius untuk mencari seseorang yang mungkin akan menjadi takdirnya. Tapi, siapakah lelaki yang ada di dalam mimpinya itu?