Part 39 : Dia akan pergi (2)

171 7 0
                                    

Hai!
Maaf ya lama update. Author kemarin-kemarin lagi sibuk uas tapi sekarang udah kelar.

Tahu kok kalau part ini singkat banget, tapi tenang. Author udah nyiapin part ke 40 yang akan dipublish soon banget.

Hope u guys enjoy this part<33

◇◇◇

Terkadang, Kirana merasa bahwa dirinya adalah perempuan bodoh karena rela melakukan segalanya demi seorang lelaki. Namun, ia tidak mengerti dengan pola pikirnya.

Saat ia jauh dari Rayhan, ia seringkali merasa pikirannya lebih terbuka. Tak jarang gadis itu mencari di internet tentang apa yang dirasakannya. Dia ingin menegaskan pada dirinya bahwa ia mengalami stockholm syndrome seperti yang dibacanya dari situs-situs itu, tapi ketika ia mencoba fokus saat berhadapan dengan Rayhan maka semuanya hilang. Yang ia tahu, dia merasa aman ketika bersama lelaki itu. Dia hanya perlu bertindak baik agar Rayhan tidak melukainya lagi. Kirana tidak peduli lagi disebut apa perasaannya.

Kemarin, usai keduanya berbicara berdua di rooftop gedung tua, Rayhan membawa Kirana ke rumahnya. Lelaki itu membiarkan kekasihnya mengobrol dengan sang Ibu juga Bi Diah. Sementara dirinya, mengerjakan sesuatu di kamar.

Sefia, Ibu Rayhan meraih tangan Kirana seraya menatap mata gadis itu penuh kelembutan. "Kalau suatu saat kamu lelah menunggu, kamu boleh pergi, Ran." Kirana hendak menjawab tapi batal ketika melihat wanita di hadapannya masih ingin berbicara. "Tante gak bermaksud mengusir kamu. Tante suka sama kamu dan Tante gak bohong kalau Tante suka saat kamu bersama Rayhan."

"Tante cuma mau bilang, seandainya kamu menemukan seseorang yang lebih baik, maka jangan ragu untuk pergi dari Rayhan." Lanjutnya.

"Kenapa?" Tanya Kirana pelan.

Sefia menggeleng, "janji?" Gadis di hadapannya tak merespon, "Ran..."

"Janji." Kata Kirana meski terdengar ragu. "Boleh Ran tahu alasannya, Tan?"

Sefia tak menjawab, melainkan melirik Diah yang sudah ia anggap sebagai saudarinya dan Kirana ikut menoleh ke arah yang sama.

Diah tersenyum, "demi kebaikan kamu, Ran."

"Dalam melakukan sesuatu pasti memiliki konsekuensi kan, Ran?" Ujar Sefia dan Kirana perlahan mengerti apa maksud kedua wanita itu.

•••

Satu demi satu anak tangga, Kirana pijaki hingga ia mencapai lantai dua, tempat dimana Rayhan berada. Gadis itu memandangi suasana di lantai itu. Dia pasti akan merindukan suasananya juga kenangannya saat berada di sini.

Remaja itu melanjutkan langkahnya hingga berhenti di depan sebuah pintu, lalu mengetuknya. Tak lama, pintu itu terbuka dan Kirana segera masuk setelah sang pemilik kamar melangkah mundur memberi ruang untuknya masuk.

"Kakak udah packing?" Tanya Kirana sembari mengambil posisi duduk di sofa kecil di seberang ranjang Rayhan.

"Belum."

"Mau aku bantu?"

Rayhan menggeleng, "nanti aja. Terlalu cepat kalau sekarang." Ia menutup buku serta laptopnya di meja belajar.

"Udah ngobrol sama Mama sama Bi Diah?" Lelaki itu bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya, kemudian duduk di kursi.

"Udah," jawabnya, "aku jadi kangen Sehan juga deh, Kak. Sejak sibuk persiapan ujian, kami udah lama gak contact-an."

"Dia pulang sore, malah beberapa kali malam."

"Kok bisa? Les ya?"

"Hm, kadang ekskul juga."

Kirana mengangguk-anggukkan kepalanya. "By the way, kamu masih suka chat-an sama Kak Rio gak?"

"Kadang-kadang. Kenapa?"

"Gak apa-apa, cuma mau mastiin aja soalnya dia bilang, kalian masih sempet chatting-an beberapa hari yang lalu."

"Iya, dia nanyain soal gitu."

"Hasil SNMPTN kamu gimana?" Tanya Rayhan.

"Gak lulus." Kirana menggelengkan kepalanya, "nanti mau coba SBM sih. Semoga aja lulus."

Rayhan menganggukkan kepala, "aku yakin kamu pasti lulus." Katanya menguatkan, "jadi, ambil di tempat aku?"

"Rencana iya."

"Banyak belajar. Jangan terlalu sering nonton drama, Ran. Di soal ujian nanti gak ada pertanyaan mengenai alur drama yang kamu tonton."

"Iya, Kak."

Sebenarnya, ada hal yang ingin Kirana diskusikan dengan Rayhan, tapi ia merasa ini bukan saat yang tepat. Entahlah, dia hanya merasa bahwa topik yang akan dimulainya cukup berat. Jadi, ia memilih membicarakan hal lain.

•••

Satu hari itu, ia habiskan bersama keluarga Rayhan. Ia baru pulang saat waktu menjelang magrib dan itu pun, ia terpaksa membuat janji dengan Sehan bahwa ia akan rajin berkunjung.

Motor yang dikendarai Rayhan berhenti di dekat gerobak bakso pinggir jalan. Hal itu tentu membuat Kirana heran. Sepanjang ia mengenal Rayhan, lelaki itu mengajaknya makan di luar kurang dari tiga kali dan itu selalu makan di kafe atau restoran. Sore ini, ia tidak tahu apa yang tengah merasuki lelaki itu. Tidak, Kirana tidak protes mengenai tempat makannya. Gadis itu hanya heran.

"Makan di sini gak apa-apa?" Tanya Rayhan yang membuat kerutan di dahi Kirana semakin dalam.

"Y-ya." Sejak kapan Rayhan butuh pendapatnya?

Kirana mengikuti langkah Rayhan duduk di kursi di bawah tenda. Pandangannya tak beralih dari wajah lelaki itu. Bukan karena ia kembali jatuh cinta atau terpesona, melainkan karena ia merasa lelaki di depannya ini bukanlah sosok yang ia kenal.

Sembari menunggu bakso yang mereka pesan datang, Rayhan menatap lekat wajah Kirana. Tangannya terulur mengusap pipi itu, "percayalah, Ran.." ucap lelaki itu yang terdengar seperti bisikan di telinga Kirana sehingga membuat tubuh gadis itu menegang. "Kamu akan menjadi alasan di balik kebahagiaan orang lain."

"Juga kesialan." Tambah Rayhan yang sontak membuat bola mata gadis itu membesar, terkejut bercampur ketakutan.

"Kamu bercanda." Elak Kirana, "itu takdir."

Rayhan mengedikkan bahu, "hanya mengingatkan."

"Kamu lebih kek ngancem tau gak?"

"Tergantung cara orang yang mendengar mengintepretasikan." Kirana menyipitkan mata, "kita hidup di dunia ini memang punya sebab akibat kan, Ran? Am I wrong?"

Mungkin, Kirana hanya terlalu berpikir keras. Jadi, ia mengangguk sekilas sebagai respon bahwa apa yang dikatakan Rayhan benar.

"Jangan banyak mikir!" Rayhan menarik tangannya dari pipi Kirana dan berpindah ke atas, mengacak rambut Kirana hingga gadis itu berdecak sebal.

The Endless MomentWhere stories live. Discover now