Part 40

165 9 0
                                    

Di saat menuju perpisahan, banyak yang melakukan hal bodoh guna menghentikan perpisahan. Padahal, yang terjadi adalah tak ada penghentian, melainkan penundaan. Penundaan akan rasa sakit yang coba ditutupi dengan berbagai alasan.

Awalnya, gadis delapan belas tahun itu hanya ingin menemukan lelaki dalam mimpinya. Namun, takdir malah menuntunnya menemukan lelaki gila yang sialnya membuatnya kehilangan akal. Kirana tahu bahwa bersama Rayhan akan membawa luka, tapi dia tidak mampu pergi. Entah tidak ataukah hanya belum.

Gadis itu masih berada di sekitar Rayhan, lelaki yang esok akan pergi. Kirana tak berharap banyak. Ia hanya ingin lelaki itu pulang dan melangkah bersamanya.

Hari ini, Kirana memutuskan untuk menginap. Ia tidak tega menolak permintaan Sehan yang ingin mereka tidur bersama. Adik Rayhan itu sedikit memaksanya untuk menghabiskan waktu bersama sebelum Kirana sibuk akan dunia perkuliahan.

"Nanti biar Ibu yang bicara sama Ayah." Ucap Anita, Ibu Kirana. "Kamu gak perlu khawatir dimarahin. Ibu ngerti kok, Ran."

"Iya gak marah tapi, kemarin aja Ayah ngambek sama Ran gara-gara pulang magrib apalagi gak pulang."

Anita mengusap kepala putrinya, "Ibu jaminannya." Yakinnya, lalu mencibir remaja di depannya yang terlihat merajuk. "Jangan sok jual mahal deh Ran, nanti kamu nangis karena kurang waktu ngeliat Ayangmu. Nah, ini Ibu bantu."

"Ibu apa sih. Ayang-ayang-" gerutunya seraya memelototi sang Ibu, "kepalanya peyang."

"Alah, sok gak mau ngaku." Goda Anita, "Sehan, adiknya udah ngejelasin sama Ibu. Ibu bahkan udah bicara sama Mama nya. Katanya dia bakal pastiin kalau kamu gak sekamar sama Rayhan."

"Ya ngapain juga sekamar. Ibu kira dia suami aku apa."

"Yaaa, siapa tahu." Bisik Anita.

"Amit-amit" Kirana mengetuk-ngetuk kepalanya.

"Ibu percaya sama anak-anak Ibu. Ayah sama Ibu udah didik kalian sebaik mungkin, jadi kalau ada kesalahan di masa depan, ini bukan salah kami lagi.  Kalian udah besar. Mampu mengatasi permasalahan kalian sendiri dan mampu berpikir mana yang benar dan salah. Ibu gak mau membatasi pergaulan kamu, selagi itu masih normal." Nasihat Anita sembari mengusap wajah putrinya. "Lagian, kamu belum pernah ciuman kan sama dia?"

"Ibu!" Pekik Kirana, "belum lah. Enak aja. Masih suci ini." Ia menunjuk bibirnya dengan jari telunjuk.

Beberapa saat kemudian, gadis itu terdiam dan wajahnya mulai memerah sehingga ia menjauhkan wajah dari sang Ibu.

Cium di pipi, kening segala macam bukan ciuman kan ya? Kan bukan bibir  Batinnya. Kami belum pernah kan?

Anita tersenyum geli melihat tingkah putri bungsunya itu. Tak ada rasa keraguan sedikitpun pada ucapan Kirana. Ia percaya jika Rayhan adalah lelaki baik yang menjaga putrinya dengan baik.

•••

Rencana menginap itu belum diketahui oleh Rayhan. Oleh karena itu, Kirana juga pergi sendiri menuju rumah Rayhan. Ia sengaja datang sedikit sore karena menunggu sang Ayah pulang guna meminta izin. Sebagai ganti, Ayahnya memberi izin dengan syarat dia sendiri yang mengantarkan Kirana ke sana.

Motor yang dikendarai Ayah Kirana berhenti di depan rumah putih tingkat dua. Tak lama, sesosok wanita paruh baya yang Kirana kenali keluar dari dalam rumah dan membuka pagar. Kirana mengenalkan Diah pada Ayahnya dan sang Ayah menitipkan Kirana kepadanya.

Kirana baru saja akan menyusul Diah masuk ke dalam saat tak lama suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Ia berbalik dan melihat Rayhan yang turun dari motor sedang membuka pagar. Gadis itu memperhatikan Rayhan yang membawa masuk motor ke halaman rumah. Ia hendak mendekat, tapi nada suara Rayhan membuatnya bungkam.

The Endless MomentWhere stories live. Discover now